Dengan pemberian tempat berlindung (shelter) dari bilah bambu, udang hidup nyaman sehingga produksi udang galah konsumsi dapat ditingkatkan.
Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tergolong komoditas perikanan air tawar bernilai ekonomis tinggi. Harga udang konsumsi di tingkat petani saat ini berkisar Rp40.000– Rp50.000 per kg, jauh lebih tinggi dibandingkan gurami misalnya yang rata-rata Rp25.000 per kg. Permintaan udang galah segar juga relatif stabil, baik untuk konsumsi rumahtangga maupun rumah makan penyedia hidangan berbahan utama ikan.
Sayangnya, tingkat produktivitas budidaya udang air tawar yang dijuluki giant freshwater prawn ini masih relatif rendah. Udang galah umumnya dipelihara dengan padat tebar 10 ekor per m2. Setelah dipelihara selama enam bulan dalam kolam seluas 1.000 m2, diperoleh panen udang rata-rata 150 kg dengan size 30 ekor per kg. Artinya, produktivitas udang yang lengan kirinya mirip galah ini berkisar 1,5 ton per ha.
Berawal dari Daun Kelapa
Hal inilah yang mengganggu pikiran seorang Fauzan Ali, peneliti LIPI Cibinong, Bogor, yang meneliti udang galah sejak 1989. Menurutnya, produksi udang galah selalu mentok meskipun petani menambah padat tebar hingga 30 ekor per m2. Padahal, petani telah memperbaiki konstruksi kolam, memupuk, dan memberi pakan buatan. Alhasil, “Peningkatan padat tebar pada usaha budidaya udang galah tidak selalu memberikan peningkatan produksi seperti yang diharapkan,” ujar Fauzan.
Masih menurut Fauzan, penyebab mandeknya produksi antara lain, udang galah tergolong hewan air yang lebih banyak hidup di kolom air bagian bawah, punya sifat teritorial, dan kanibal. Luasan kolam air yang terbatas menyebabkan sesama udang bersaing keras memperebutkan wilayah teritorialnya. Pemenangnya tentu udang yang kuat atau besar, sedangkan si lemah akan tersingkir atau mati akibat kanibalisme.
Hal itulah yang menyebabkan tingkat kematian udang galah menjadi tinggi dan produktivitas tidak pernah beranjak naik. Di tengah kegundahannya mencari solusi, Fauzan yang membina petani udang galah di empat kecamatan di wilayah Bogor, sempat memperhatikan penggunaan daun kelapa kering oleh para petani setempat. Fungsinya sebagai tempat bertengger dan berlindung udang-udang kecil.
Praktik itu menimbulkan ide untuk membuat pelindung (shelter) udang yang lebih permanen. Doktor lulusan Kagoshima University tahun 2000 ini kemudian membuat pelindung udang dari bilah-bilah bambu yang diikat satu sama lain yang disebutnya apartemen. “Disebut apartemen karena bentuknya menyerupai kerangka sebuah rumah susun tanpa dinding, lantai, dan atap,” jelasnya.
Dalam satu perangkat apartemen, terdapat sekat atau bilik yang merupakan tempat tinggal tambahan yang nyaman bagi udang. Akibatnya, terjadi peningkatan ruang yang bisa ditempati udang. Selain itu, apartemen juga berfungsi sebagai tempat berlindung saat udang berganti kulit (moulting). Dengan dua keuntungan tersebut, padat tebar bisa ditingkatkan dan kanibalisme dapat ditekan.
Dua Kali Lipat
Budidaya udang galah dengan apartemen ini kemudian diujicoba di Laboratorium LIPI sebelum disosialisasikan kepada petani binaan. Untuk pentokolan, ukuran sekat bambu yang digunakan adalah 5 cm x 5 cm x 5 cm, sedangkan pembesaran, dan produksi calon induk 20 cm x 20 cm x 20 cm. Ukuran kolamnya 2 m x 12 m dengan kecepatan arus yang dibantu kincir 9 cm per detik. Dasar kolam diisi tanah setinggi 10 cm dan pasir setinggi 2 cm, serta pupuk kandang.
Di tingkat petani, budidaya udang galah dimulai dari perbaikan konstruksi kolam dan pembuatan selokan di tengah dan kobakan di dekat saluran pembuangan untuk memudahkan panen. Tahap selanjutnya adalah pengolahan tanah, pemupukan, dan pengisian air sedalam satu meter. Apartemen bertingkat lima dengan sekat ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm kemudian dimasukkan ke dalam kolam dan mengisi 75% dari luas kolam.
Dua minggu setelah pemupukan, benur udang galah ukuran satu cm ditebar sebanyak 30 ekor per m2 atau 15.000 ekor per kolam seluas 500 m2. Udang diberi pakan pellet tenggelam secukupnya pada awal pemeliharaan. Setelah 5–7 minggu, udang disampling dan pemberian pakan ditentukan dari hasil sampling. Dalam waktu 24 minggu (6 bulan), jumlah udang yang dapat dipanen kurang lebih 350 kg atau dua kali lipat lebih banyak ketimbang budidaya tanpa apartemen.
Enny Purbani T.
Boks.
Analisis Usaha Pembesaran Udang Galah (Satu Siklus = 6 Bulan) |
Biaya: Pembuatan 10 buah apartemen (bambu, tali, ongkos tukang) Rp11.000.000, bisa dipakai dua siklus Rp 5.500.000 Sewa lahan 500 m2/siklus Rp 500.000 Benih udang galah 30 ekor x 500 m = 15.000 ekor x Rp50 Rp 750.000 Pakan 600 kg x Rp6.000 Rp 3.600.000 Pupuk kompos 500 kg x Rp1.000 Rp 500.000 Pengolahan kolam Rp 100.000 Peralatan (ember, seser, dsb) Rp 50.000 ----------------- Jumlah Rp11.000.000 Pendapatan: Panen 350 kg x Rp50.000 Rp17.500.000
Keuntungan : Biaya – Pendapatan (Rp17.500.000 - Rp11.000.000) Rp 6.500.000 |