Pada 1973 lagu "Old Dogs, Children, and Watermelon Wine” menjadi hit nomor satu dalam pilihan lagu-lagu jenis country di Amerika. Awal 1970 sampai 1980-an lagu itu sungguh merasuk sukma para pendengarnya, terutama di negara-negara bagian sebelah barat dan selatan AS. Anak-anak, remaja, laki-perempuan setengah baya, sampai orang tua mendendangkan lagu ciptaan Tom T. Hall itu yang memantik ingatan akan kampung halaman, kepolosan, dan musim panas. Mungkin sama membuat miris seperti orang Indonesia di rantau mendengar Rayuan Pulau Kelapa atau Indonesia Tanah Pusaka.
Buah, bunga, pohon, daun, menjadi lambang, pembangkit kenangan, kebanggaan, nostalgia. Senat Oklahoma umpamanya, mengundangkan watermelon sebagai sayuran resmi negara bagian AS itu. Kendati agak rancu, apakah watermelon atau semangka itu buah atau sayuran. Atau tidak peduli semangka itu hanya bisa dinikmati satu musim. Daun pohon mapple dijadikan kekhasan Kanada dan dilukiskan pada bendera nasionalnya, kendati keindahan daun itu cuma bisa dinikmati saat musim panas atau menjelang musim gugur. Tapi manisnya mapple syrup dikenal di seluruh dunia.
Banyak negara di dunia membanggakan floranya walaupun ia hanya hidup semusim. Nusantara kita punya sejumlah besar tanaman segala musim dan juga semusim. Kita malah membanggakan negeri kita menjadi penghasil buah dan produk tanaman tropis nomor satu di dunia. Tapi sampai sekarang itu masih sebatas khalayan belaka. Karena sekalipun kita punya ahli dan lembaga atau badan penelitian yang menghasilkan pemikiran dan temuan yang gemilang, toh buah buahan impor semusim yang menjadi tuan di rumah kita. Tengoklah suguhan buah-buahan dari keluarga keluarga Indonesia untuk tetamunya: apel, jeruk, dan anggur impor, yang dianggap lebih terhormat. Padahal dulu Presiden Soekarno suka menyuguhkan buah duku, sawo, salak kepada tamunya, baik orang kita maupun orang asing. Ini berlaku di semua istana kepresidenan, dari Jakarta, Bogor, Cipanas sampai Tampaksiring.
AGRINA edisi kali ini bicara tentang buah semusim, khususnya tentang melon dan watermelon atau semangka. Kedua jenis buah itu bukan pribumi Indonesia, tapi bisa tumbuh dengan bagus di sini. Tanah kelahiran semangka di Afrika juga berudara tropis. Seperti juga di Gurun Kalahari yang gersang, semangka bisa tumbuh dan memberi hasil menggiurkan di pantai Ambal yang kawasannya berupa pasir belaka. Pantai di selatan Karanganyar itu adalah tempat uji coba kendaraan taktis dan kesenjataan militer. Saat sekarang, ketika negara tidak bisa menyediakan cukup anggaran untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista), kawasan yang sangat luas itu menjadi kebun semangka yang populer. Di Indonesia banyak terrain kosong seperti di Ambal ini.
Semangka populer karena rasanya manis tapi tidak menimbulkan diabetes, malah dipercaya menambah libido. Dan bersama melon menjadi buah rakyat, karena volumenya besar, hingga bisa dipotong-potong, jadi secara ekonomi lebih murah. Contohnya seperti dikemukakan JK Soetanto dari Boga Tani Farm, 80% produksi melon dan semangka nasional diserap pasar tradisional, dan hanya 20% di pasar modern. Pasarnya merekah, karena masyarakat sudah makin sadar untuk hidup bugar dan sehat. Masyarakat Indonesia itu jumlahnya ratusan juta. Ia pun masih bisa bersanding di pasar dengan manggis dan rambutan sehingga tidak ada persaingan. Paling-paling dikalahkan sedikit pada musim durian dan mangga. Walaupun bukan “barang mewah” melon dan semangka juga tidak kalah gengsi dengan buah impor.
Karena lebih berdayatahan, agribisnis semangka makin merambah ke daerah-daerah baru. Sedangkan melon mungkin lebih susah. Semangka, kata orang Bayer, Final Prajnanta, merupakan salah satu buah hortikultura yang sangat jarang rugi, hampir selalu untung. Bisa diusahakan dalam skala luas. Tingkat penyerapan semangka lebih banyak ketimbang melon, apalagi musim kemarau. Melon dan watermelon, keduanya memberi faedah untuk manusia, keduanya juga bisa membawa untung bagi pebisnisnya. AGRINA mengisahkan kendala dan keberhasilan di kedua buah penawar dahaga dan pelega perasaan tersebut.
Daud Sinjal