Pertumbuhan cepat menjadi alasannya untuk dipelihara dan dipotong sewaktu masih muda sebagai pedaging yang empuk.
Bagi sebagian peternak, itik jantan bukanlah target utama pemeliharaan. Si jantan jelas tidak menghasilkan telur, dan kebutuhan untuk mengawini betina dalam populasi pun cukup seekor bagi 5—10 ekor betina. Tak pelak keberadaannya seolah hanya sampah. Namun, sebenarnya pejantan ini menawarkan keunggulan ekonomis.
Harga anak itik umur sehari (day-old duck/DOD) jantan lebih murah ketimbang yang betina, dan lama pemeliharaannya sebagai pedaging cukup singkat menjadi daya tarik bagi pebisnis. Apalagi resto penjaja menu bebek di berbagai kota kini menjamur sehingga pembesaran itik jantan berprospek bagus.
Seperti dilakukan Eddy Soekwanto di Dayeuh Kolot, Kab. Bandung, Jabar. “Saya memang khusus memelihara jantan yang kebanyakan ditelantarkan. Istilahnya, kita kumpulkan sampah–sampah, daur ulang lalu jual,” ujarnya. Meski baru setahun menekuni pembesaran itik jantan, ia menilai bisnis tersebut cukup menjanjikan. Alasannya, minat masyarakat terhadap daging bebek meningkat beberapa tahun terakhir, tetapi pasokannya terbilang seret. Selama ini, lanjut dia, pasokan bebek untuk resto lebih banyak diisi itik petelur afkir dan pejantan yang dipelihara seadanya. Sedangkan itik jantan yang serius dibesarkan untuk pedaging terbilang jarang.
Cepat dan Menguntungkan
Eddy yang juga pemilik PT Farming Jaya ini biasa mengisi kandangnya sebanyak 3.000 ekor per siklus selama 2—2,5 bulan. Sistemnya cukup sederhana. Ia membeli itik jantan umur satu bulan dari petani di Indramayu, Cianjur, dan sekitar Bandung Barat. Bobotnya 500—600 gram per ekor dengan harga Rp3.500.
Lebih lanjutnya mengenai liputan ini baca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 87 yang terbit pada Rabu, 17 September 2008.