Sejak didatangkan dari Taiwan 1969, Nila T69 merebut hati pembudidaya karena tumbuh cepat dan mudah dipelihara. Apalagi nila masih kerabat dekat mujair yang memiliki kesamaan morfologi dan budidayanya. Kepopuleran nila bahkan melebihi tambakan, gurami, sepat siam, dan nilem yang sebelumnya menjadi ciri khas produk perikanan budidaya air tawar di Indonesia. Pada 1990, Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BPAT) mendatangkan Nila Citralada dari Thailand dan Nila GIFT dari Filipina pada 1994. Di Sumbar dan Jambi dijumpai Nila Kagoshima atau Nila JICA sebagai buah kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang. Selanjutnya pada 2002—2003 Pemda Jabar mendatangkan Nila GET dari Filipina. Ini memperkaya keanekaragaman jenis ikan budidaya dan genetiknya. Pilih Nila Jantan Pada awal kedatangannya, pertumbuhan Nila T69, Citralada maupun GIFT relaif cepat. Bahkan Nila GIFT yang dipelihara di keramba jaring apung (KJA) dapat mencapai bobot 500 gram dalam waktu 3-4 bulan. Namun, selang beberapa tahun terjadi penurunan kualitas ikan yang dipelihara. Untuk memperoleh ukuran tertentu membutuhkan waktu pemeliharaan cukup lama dibandingkan sebelumnya. Keadaan ini mempersulit penyediaan ikan, terutama pasar ekspor yang memerlukan ukuran minimal 600 gram per ekor. Penyebab mundurnya pertumbuhan nila adalah perkembangbiakan alaminya yang tidak terkontrol (uncontrolled reproduction) yang mengakibatkan energi pertumbuhan menjadi tidak efisien dan menghasilkan ikan yang kurang bernilai dalam sistem reproduksi. Selain itu, seiring makin meningkatnya kebutuhan benih, banyak orang melakukan penangkaran. Benih dari penangkar dibesarkan untuk kemudian dikawinkan, selanjutnya benih berikutnya dibesarkan dan dikawinkan lagi oleh penangkar lain. Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 86 yang terbit pada Rabu, 3 September 2008.