Selasa, 19 Agustus 2008

Sistem Galunggung Perlu Dilestarikan

Perkawinan ikan sistem Galunggung merupakan wujud kearifan teknologi perdesaan tepat guna dengan memadukan kondisi lingkungan dan sifat-sifat ikan yang dibudidayakan.

Bagi Anda peminat akuakultur, tentu pernah menemukan istilah sistem Galunggung, baik di literatur lokal maupun asing. Istilah tersebut demikian populer karena merupakan salah satu teknologi perkawinan ikan secara alami yang terdapat di Kab. Tasikmalaya, Jabar, tempat Gunung Galunggung berada. Di seputar kawasan itulah para pembudidaya ikan secara turun-temurun memijahkan ikan dalam petakan-petakan kecil. Karena benih ikan dipanen menggunakan alat berbentuk kantong, masyarakat setempat menyebutnya sistem kantong.

Industri Benih Ikan

Pembenihan ikan sistem Galunggung hakekatnya adalah mengefektifkan penggunaan lahan sempit tapi dapat menghasilkan ratusan ribu, bahkan jutaan ekor benih ikan.  Dengan wadah sederhana, sistem ini menjadi dasar munculnya teknologi pemijahan ikan modern disebut kawin suntik.

Pembenihan sistem Galunggung juga memberikan multiefek, seperti halnya hatchery multi species (HMS) karena tidak hanya mengawinkan satu jenis ikan, yaitu nilem. Sistem ini juga bisa dimanfaatkan untuk memijahkan ikan mas, karper cina, juga lele. Sistem Galunggung memiliki kesamaan dengan sistem Magek di Kec. Kamang Magek, Kab. Agam, Sumbar.  

Petak pembenihan itu berpematang tumpukan batu kali yang tertata apik dan beralaskan pasir berlapis di dasar petak penetasan. Untuk lahan seluas 15 m2 (3 m2 sebagai petak pemijahan dan 12 m2 sebagai petak penetasan telur), setiap lima hari dari 75 ekor induk nilem dihasilkan 1,2 juta benih.

Bila kedalaman air rata-rata 25 cm, berarti tiap liter air dapat menghasilkan 400 ekor benih. Hanya menggunakan kaidah-kaidah lingkungan, dengan kepadatan tinggi, induk ikan mampu mengeluarkan telur maksimal.

Tingginya produksi dimungkinkan karena adanya saluran khusus di lapisan terbawah petak penetasan. Melalui saluran ini, air dikeluarkan setelah mengoksigenasi telur dengan cara meresap lewat pori-pori pasir sehingga mempertinggi derajat penetasan. Sepintas saluran tersebut  tidak terlihat karena rapi tersembunyi di lapisan pasir.

Bila dikaitkan dengan teknologi masa kini, metode ini bisa disetarakan dengan teknologi penetasan menggunakan corong (zuger jars) ataupun tray di hatchery. Kejelian para pembudidaya mengaerasi telur mendapat acungan jempol ahli akuakultur Reading University, Inggris, Dr. A.G. Scott dan Dr. G.F. Warner, saat mereka berkunjung ke kawasan tersebut.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 85 yang terbit pada Rabu, 20 Agustus 2008.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain