Untuk bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), Indonesia butuh waktu 100 tahun. Nilai kerugiannya mencapai Rp11 triliun.
Sejumlah negara lain yang juga menderita kerugian besar akibat menyebaran PMK ialah Inggris mencapai Rp1.350 triliun, Brasil pada 2001 mencapai Rp2,7 triliun, dan Argentina Rp5,4 triliun (2005). Sedangkan Amerika Serikat harus menanggung kerugian sebanyak US$5 miliar per hari akibat penyakit yang menyerang sapi tersebut. Demikian ungkap Sofjan Sudardjat, Dirjen Peternakan Periode 2000—2004 dalam acara konferensi pers di Jakarta (23/7).
Isu PMK kembali mengemuka di kalangan pelaku agribisnis dan pemerhati peternakan setelah Deptan berniat membuka kran impor daging sapi asal Brasil. Padahal, negara Samba itu belum bebas PMK. “Jangan asal murah, tapi mengorbankan kehidupan peternak,” ungkap Yudi Guntara M. Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).
Yudi, yang juga pengusaha penggemukan sapi potong di Bandung itu khawatir, kalau regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah itu berpotensi merembet pada dampak sosial ekonomi. Apalagi Indonesia hingga kini masih bersih dari PMK.
Memang, impor daging adalah pilihan yang wajar. Sebab, sampai kini para peternak lokal hanya mampu menyuplai 30% kebutuhan daging nasional. Namun demikian, tandas Yudi, aspek kesehatan harus tetap diperhatikan. Mengenai urgensi pasokan daging sapi, lanjut dia, belum terlalu signifikan karena daging sapi bisa diganti daging ayam atau ikan.
Teguh Boediyana, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Feedlot Indonesia (Apfindo), menambahkan, para peternak dan juga ahli kesehatan hewan tetap menentang rencana impor daging dari Brasil. Sebab, negara tersebut belum sepenuhnya bebas PMK. “Brasil tidak termasuk dalam daftar negara yang dinyatakan OIE bebas PMK,” tandasnya.
Pemerintah, lanjut Teguh, sebaiknya berpikir untuk jangka panjang, bukan jangka pendek. Impor daging sapi dari Brasil berisiko menghancurkan peternakan sapi nasional, termasuk peternakan rakyat. "Nilai kerugian ekonomisnya besar," ujarnya.
Lebih lanjutnya mengenai liputan ini baca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 84 yang terbit pada Rabu, 6 Agustus 2008.