Senin, 9 Juni 2008

Merintis Lumbung Jagung di Karawang

Orang mengenal Karawang sebagai salah satu sentra padi utama. Kini daerah lumbung beras nasional ini akan berkiprah menjadi penyedia jagung.

Selama ini petani di Karawang, Jabar, umumnya menerapkan pola tanam: padi—padi—palawija. Jenis palawija yang dibudidayakan, yaitu mentimun, kacang panjang, atau kangkung. Sehubungan dengan menggiurkannya harga jagung, petani di sana terlihat tidak tergoda untuk mengganti komoditas palawijanya. Padahal jagung potensial memberikan keuntungan lebih besar bagi petani.

Demikian diungkapkan Haryono, B.Sc, Ketua Himpunan Masyarakat Peduli Petani (HMPP) Kabupaten Karawang. Untuk mengubah pola tanam itu, HMPP yang  beranggotakan pelaku usaha sarana produksi dan petani, melakukan gerakan penanaman jagung hibrida sekaligus peresmian HMPP di Desa Parakanmulya, Tirtamulya, Karawang (3/6).

Acara gerakan tanam jagung hibrida tersebut ditandai dengan penanaman perdana oleh Fadel Muhammad, Ketua Dewan Jagung Nasional sekaligus Gubernur Gorotalo yang telah berhasil mengembangkan jagung sebagai komoditas unggulan. Sedangkan peresmian HMPP yang telah berdiri pada Februari silam, dilakukan Dadang S Muchtar, Bupati Karawang.

Menguntungkan

Menurut Haryono, petani di wilayahnya siap mengembangkan jagung, selain padi, jika harganya menguntungkan. Saat ini, lanjutnya, harga jagung memang sangat menguntungkan, jauh lebih besar pendapatannya dibandingkan menanam kangkung, kacang panjang atau ketimun sebagai selingan selain padi.

Haryono menambahkan, bertanam jagung lebih mudah karena bisa dilakukan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Hama dan penyakit relatif sedikit dibandingkan padi. Sedangkan jumlah biaya produksi, imbuhnya, juga tidak beda jauh dengan menanam padi yang berkisar Rp4 juta-Rp4,5 juta per hektar (ha).

Sementara kalau dibandingkan bertanam mentimun atau kacang panjang membutuhkan modal produksi Rp15 juta—Rp20 juta per ha dengan hasil 20—25 ton per ha. Jika harga jual stabil tentu masih menguntungkan, tetapi kalau harga jatuh di bawah Rp1.000—Rp1.500, petani rugi.

Lebih lanjutnya mengenai liputan ini baca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 80 yang terbit pada Rabu, 11 Juni 2008.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain