Senin, 28 April 2008

Ketagihan Hibrida di Majalengka

“Sepertinya kita sudah ketergantungan dengan hibrida. Kalau nggak ada hibrida, kita sakau.”

Begitu yang terlontar dari bibir salah seorang anggota gabungan kelompok tani Karya Tani, Desa Sunia Baru, Banjaran, Kab. Majalengka, Jabar, saat ditanya pendapatnya tentang benih hibrida. Fahrudin, ketua gabungan kelompok tani (Gapoktan) membenarkan kegelisahan anggotanya. Pasalnya, pasokan benih hibrida di daerahnya selalu kurang.

Mengapa petani di Sunia Baru itu selalu menginginkan benih hibrida? Usut punya usut, ternyata tiap tanaman cabai hibrida menghasilkan 0,8—1 kg cabai keriting. Apalagi harga cabai dua bulan silam, menurut Fahrudin, pada kisaran Rp11.000 per kg.   

Rp77 juta

Varietas hibrida digadangkan sebagai unggulan. Beberapa varietas tetua diambil sifat baiknya lalu disatukan sehingga menghasilkan varietas hibrida yang tahan hama, daya tumbuh baik, dan potensi hasil lebih banyak. Di pasaran banyak varietas cabai hibrida. Sebut saja Lado dan Tanamo (cap panah merah) dari PT East West Seed Indonesia, TM 888 keluaran PT Seminis Indonesia (kini Monsanto), dan Buana 07 produksi PT Tanindo Subur Prima.        

Menurut Fahrudin, produksi benih nonhibrida biasanya hanya 0,5 kg per tanaman, sedangkan yang hibrida bisa dua kali lipatnya. Selain itu masa panen hibrida juga bisa lebih panjang. Tanam benih biasa, satu siklus hanya dipanen 8 kali.  Dengan hibrida, ”Saya bisa 15 kali panen selama 5 bulan, Kalau benih biasa, keluar bunga nggak mesti jadi buah. Tapi hibrida hampir setiap batang berbuah, produksinya tinggi,” celoteh bapak berusia setengah abad ini.

Luas lahan Fahrudin memang hanya 7.500 m˛ tetapi bila ditotal hasil panennya mencapai 7 ton. Bila dianggap harga cabai keriting Rp11.000 per kg, tiap kali panen ia dapat mengantongi Rp77 juta. Dari cabai pula ia mampu membiayai kuliah anaknya di Universitas Majalengka.

Melihat kesuksesan Fahrudin, enam kelompok tani dengan 300 anggotanya di bawah Gapoktan Karya Tani akhirnya tergoda beralih ke benih hibrida. Diakui Fahrudin, baru tiga tahun belakangan petani di desanya secara rutin menanam varietas hibrida. “Dikira cara budidayanya sulit, tapi sebenarnya nggak ada yang beda dan mudah. Setelah melihat dan mencoba, semuanya menggunakan hibrida. Untuk apa kita berkelompok kalau tidak ada untungnya?” ungkapnya.

Butuh Banyak Hibrida

Fahrudin yang mengupayakan jagung dan cabai itu mengungkap, untuk satu hektar dibutuhkan sedikitnya 1,5 ons atau setara 15 pak benih hibrida. Artinya, dengan luas areal mencapai 111 ha, Gapoktan Karya Tani memerlukan tak kurang 1600-an pak setiap musim tanam. Namun tiap kali memulai tanam, Fahrudin dan kawan–kawan selalu kesulitan mendapatkan benih idaman mereka tersebut. “Semua sekarang maunya hanya hibrida. Waktu nggak ada benih kemarin, saya dimarahi oleh petani lain,” katanya.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula benih hibrida.  Fahrudin berpendapat, varietas ini mempunyai beberapa kelemahan, seperti rentan serangan penyakit. Karena itu diperlukan pengawasan ketat, terutama dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman. Selan itu, harga benih yang terbilang mahal turut mempengaruhi minat petani awam. Yang jelas, setiap kali tanam, petani harus membeli benih baru karena bila turunannya ditanam produktivitasnya anjlok.

Meskipun demikian, Fahrudin menilai, petani berhak mendapatkan informasi teknologi. Apalagi secara matematis, penggunaan hibrida memberikan keuntungan berlipat bagi petani. ”Biaya beli benih sebenarnya tertutupi dari panen, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kami tak mau beralih dari hibrida,” tegasnya mantap.

Selamet Riyanto

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain