Siapa bilang bisnis pembibitan hanya dilirik swasta lokal? Buktinya sudah ada investor luar negeri yang berani menanamkan modalnya.
Sampai sekarang baru segelintir pengusaha yang berani terjun ke pembibitan sapi potong (breeding) karena bisnis ini butuh “napas panjang”. Namun harumnya bau rupiah dari usaha pembibitan kini sudah dicium pemodal dari Australia yang menggandeng pengusaha lokal.
Adalah Dicky A. Adiwoso dari PT Agro Giri Perkasa (AGP) yang bergandengan tangan dengan Consolidated Pastoral Company (CPP), perusahaan milik almarhum Kerry Packer dari Australia. Sejak 2005, kedua pihak mendirikan PT Juang Jaya Abdi Alam (JJAA) berlokasi di Lampung.
Dicky membenarkan, usaha ini membutuhkan investasi besar dan mungkin hanya dimaui orang-orang yang mencintai dunia peternakan khususnya sapi. “Tapi kalau mengingat angka benefit yang akan diperoleh nantinya, tentu ini sebuah investasi jangka panjang yang sangat menjanjikan,” tutur pria yang cukup lama berkecimpung dalam bisnis sapi potong tersebut kepada AGRINA. Meski enggan menyebut kapan titik impasnya, ia menegaskan, “Sejauh yang telah kami jalani, hitungan bisnisnya itu bisa masuk. Artinya, mampu mendatangkan benefit cukup baik.”
Sembilan Juta Dollar
Dalam kerjasama bisnis itu, pihak CPP menanamkan investasi senilai AUD$9 juta untuk perkandangan dan lahan. Nilai tersebut di luar biaya pengadaan sapi dara dari Australia. Pebisnis penggemukan sapi potong yang juga berlokasi di Lampung ini menambahkan, pola bagi hasil yang diterapkan 60 (AGP) :40 (CPP).
JJAA mulai beroperasi dengan mendatangkan sapi-sapi dara umur 1,5 tahun dari Australia sejak 2005—2008. Jumlahnya berturut-turut 1.500 ekor, 4.000 ekor, dan 6.000 ekor. Dicky yang juga Direktur Utama JJAA memaparkan, pihaknya mengimpor bibit komersial (commercial breed) standar Australia. Produksi jenis ini di negara asalnya kadang surplus, dan biasanya kelebihan itu dialihkan menjadi sapi-sapi bakalan setelah disterilkan dulu. JJAA memanfaatkan peluang dengan menyerap bibit-bibit baik bunting atau potensial bunting surplus tersebut untuk dipelihara dan dikelola di Lampung.
Sapi yang belum bunting kemudian dikawinkan secara alami hingga bunting dan siap disebarkan ke para peternak oleh pemerintah. “Jadi nggak bener bibit yang kita impor itu bibit afkir, itu kualitas commercial breed Australia. Terbukti tingkat keberhasilan buntingnya 86%,” tegas Dicky mengenai sinyalemen buruknya kualitas bibit sapi potong yang dibeli pemerintah dari pihaknya.
JJJA memiliki lahan sekitar 40 hektar (ha), tetapi yang digunakan baru 4 ha untuk mampu menampung populasi sapi dara 10.000 ekor dan mempekerjakan 10 tenaga kerja. Hasil produksinya, dari populasi 4.000 ekor dara menghasilkan anakan 2.500 ekor. Sedangkan yang dari 6.000 ekor dara keluar 4.000 ekor. Anakan dijual pada umur 4—5 bulan.
Dalam melayani order dari pemerintah, Dicky mengeluhkan adanya kendala cukup mengganggu. Misalnya, induk sapi melahirkan pada April, lalu dipelihara selama 4 bulan. Seharusnya pemerintah membelinya bulan Juli tetapi realisasinya baru Desember. Ini jelas membuat biaya pemeliharaan membengkak dan mengganggu program perencanaan breeding. Apalagi harga induk dari Australia akan semakin mahal.
Ketika ditanya soal Program Kecukupan Daging 2010, Dicky mengatakan, hal terpenting dan paling mendesak dilakukan, yaitu penambahan jumlah populasi bibit sapi potong. “Yang paling memungkinkan dikerjakan saat ini adalah sebagaimana yang kami lakukan, mengimpor commercial breed dan menyeleksi yang memiliki performa reproduksi baik,” ucapnya mengakhiri pembicaraan.
Yan Suhendar