Senin, 28 April 2008

Capit Merah Konsumsi Ala Marhendro Santoso

Tren usaha budidaya lobster air tawar (LAT), sejauh ini lebih banyak di pembenihan. Namun Marhendro Santoso berani menekuni usaha pembesaran.

Segmen pembenihan pada usaha budidaya LAT memang masih dianggap lebih menguntungkan. Pertimbangannya, waktu pemeliharaan yang relatif singkat, minim modal, dan harga jual terjangkau sehingga lebih mudah dipasarkan. Namun sejalan makin banyaknya pembudidaya yang menghasilkan benih, prospek pasar si capit merah ini tak lagi secerah dulu.

Hal itu disampaikan Marhendro Santoso kepada AGRINA. Hendro, demikian sapaan akrabnya, menyatakan, pasar benih lobster kian sulit. Kalau pun bisa, “Harus dalam partai besar karena pasar yang ada hanya Jakarta dan Surabaya,” jelasnya. Itulah sebabnya ia kemudian menjajaki pasar lobster konsumsi. Sasarannya, restoran lokal dan luar kota yang semakin sering menanyakan stok lobster konsumsi di farm-nya yang terletak di Jalan AW Sumarmo No. 51, Purbalingga, Jateng.  

Bermodal Akuarium Bekas

Sebelum beralih ke usaha budidaya LAT, ayah empat anak ini telah menggeluti usaha pembesaran lele, gurami, dan koi. Baru pada Februari 2005, ia memutuskan sepenuhnya terjun ke usaha budidaya LAT. Modal awal hanya tiga ekor induk jantan dan empat ekor induk betina yang dibawa seorang tenaga pemasaran ikan hias dari Jakarta.  Untuk modal lain relatif tidak ada, ia hanya memanfaatkan akuarium dan kolam bekas yang ada di belakang rumah.

Semua pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan lobster ditangani sendiri agar dapat menguasai seluk beluk pemeliharaan si red claw itu dan menghemat biaya. Berkat ketekunannya, dalam satu siklus ia hanya menghabiskan 10 kg pakan seharga Rp60.000. Sedangkan jumlah panennya 20 set induk yang dijual seharga Rp500 ribu per set. Hitung punya hitung, tak kurang dari Rp10 juta bisa ia kantongi dalam satu siklus yang berlangsung selama enam bulan.

“Saat itu saya belum tahu harga pasaran lobster. Rencananya mau saya jual Rp10.000 per ekor. Kebetulan ada pembeli datang sendiri ke kolam bawa daftar harga, ya saya ikuti saja,” jelas Hendro. Berawal dari itu, makin banyak orang yang datang ke tempatnya untuk mencari indukan, benih, maupun lobster konsumsi. Setelah setahun berjalan, usahanya semakin berkembang, ia pun berani mendatangkan induk dari Jakarta. Kini, akuarium induknya berjumlah 107 buah, kolam pendederan dan pembesaran pun bertambah hingga 65 petak dengan luas farm lebih dari 0,5 ha.

Dengan dibantu dua orang karyawannya, kini pria yang berprofesi sebagai dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, ini mampu menghasilkan sekitar 30 kg lobster konsumsi per bulan, ukuran 10 ekor per kg. Selain itu, ia juga memproduksi benih rata-rata 5.000 ekor per bulan. Sejumlah kiat mengantarkannya dapat berkembang seperti sekarang ini.  

Menurut Hendro, yang terpenting adalah tertib administrasi. Kedua, induk diseleksi dengan ketat supaya tidak terjadi kawin sedarah (inbreeding). Ketiga, menyediakan  konsultasi gratis untuk konsumen. Dan terakhir, promosi melalui media massa. Dalam pemeliharaan, diupayakan agar sisi kolam terpagar rapat agar terhindar dari serangan hama, misalnya lingsang. Selain itu, “Penempatan shelter dalam kolam budidaya wajib hukumnya untuk menghindari kanibalisme,” jelasnya.

 

Perlu Perluasan Pasar

Hal senada diungkapkan Robert Yu, seorang importir LAT di kawasan Jakarta. Menurutnya, “Untuk mengurangi kanibalisme, kolam sebaiknya dikasih tempat ngumpet dan pakan yang cukup.” Tempat sembunyi alias shelter LAT bisa berupa potongan paralon atau bata berongga dari tanah liat.

Sedangkan pakan utama LAT, menurut Robert, adalah pellet. Pakan tambahannya boleh berupa sayuran segar. Berdasarkan pengalamannya, biaya produksi satu kilo LAT konsumsi hanya sekitar Rp50.000. Meskipun demikian, ia menyarankan agar para pemula mulai dari segmen pembenihan sambil mempelajari teknik pemeliharaan maupun pemasaran LAT. “Nantinya pasti akan ke pembesaran. Bagaimana jadinya kalau nggak ada yang memelihara untuk ukuran konsumsi? End user-nya harus konsumsi,” tandas Robert.

Sayangnya, pasar LAT konsumsi lokal belum begitu besar lantaran harganya yang masih terlalu tinggi. “Harga daging sapi saja hanya Rp50.000 per kg. Bandingkan dengan LAT konsumsi yang mencapai Rp100 ribu di tingkat petani,” cetus Robert. Namun ia yakin, pasar LAT konsumsi masih bisa berkembang asalkan harganya bisa lebih kompetitif. Selain itu, ia pun menekankan perlunya ber promosi untuk mengenalkan LAT pada masyarakat, misalnya tersedia di tempat yang ramai dikunjungi orang, seperti pasar swalayan.

Agung Nugroho (Kontributor), Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain