Perlu adanya kebijakan reformasi lahan untuk menarik para investor di bidang pangan.
Orang masih bisa menunda membeli mobil atau membangun rumah. Tapi, orang tidak bisa menunda perut yang keroncongan. Di sinilah masalahnya, di tengah membubungnya harga-harga pangan di tingkat dunia, harga pangan di Indonesia ikut terdongkrak. “Produsen belum menghasilkan yang baru, sementara konsumen tidak bisa menunggu. Di sinilah kritisnya,” kata Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., guru besar ekonomi pertanian IPB dan menteri pertanian periode 2000–2004.
Menurut Merritt Cluff, Senior Commodity Specialist dari Food and Agriculture Organization (FAO), pada 2007 dibandingkan 2005, harga-harga komoditas di tingkat dunia melonjak. Misalnya, gandum naik 90%, jagung 70%, minyak nabati 82%, susu bubuk 94%, dan beras 20%. “Banyak yang meramalkan, kenaikan harga-harga ini akan bertahan dalam waktu lama,’’ katanya dalam Rakornas Kadin bertema Ketahanan Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat di Hotel Shangri-La, Jakarta (29/3).
Harga Meroket
Tidak mengherankan, jika produk-produk yang terkait dengan perdagangan internasional, melonjak. Harga minyak goreng meroket. Ayam, yang bahan baku pakannya antara lain dari jagung dan kedelai, harganya ikut terdongkrak. Begitu juga beras yang persediaannya di pasar internasional semakin tipis. Ini memancing para ibu berdemo menuntut penurunan harga.
Menurut Bungaran, membubungnya harga-harga saat ini karena permintaan meningkat, sementara pasokan berkurang. Ketika terjadi krisis pangan 1960—1970-an, lanjut dia, petani, pengusaha, pemerintah, dan lembaga keuangan, mengerahkan semua daya untuk meningkatkan pasokan pangan dunia. Misalnya, Bank Dunia mendukung pembangunan irigasi. Indonesia, menerapkan program Bimas.
Pertengahan 1980-an kita berhasil, sehingga pasokan pangan berlebih. “Setelah berhasil, negara mundur, organisasi internasional mundur. Investasi di bidang pertanian berkurang. Inilah yang saya katakan completion. (Pangan) nggak perlu diperhatikan lagi,” kata Bungaran. Padahal, pertambahan penduduk tidak pernah berhenti, sehingga permintaan pangan terus meningkat. Sekarang, siklus 25 tahun terjadi lagi: krisis pangan.
Beras Khusus Rakyat
Kondisi ini, kata Bungaran, merupakan peluang buat produsen (pangan), tetapi penderitaan bagi konsumen. Karena itu, menurut Mohamad Sulaiman Hidayat, Ketua Kadin Indonesia, dalam jangka panjang, kita harus memperluas basis produksi massal untuk meningkatkan pasokan, sedangkan dalam jangka pendek, kita harus memberikan subsidi pangan bagi rakyat.
Sehubungan dengan itu, Aburizal Bakrie, Menko Kesra, mengatakan, pemerintah akan menyediakan beras untuk rakyat. Paling tidak ada 76,4 juta penduduk yang rentan kekurangan pangan, terutama beras. Tapi bukan berarti, jumlah orang miskin bertambah. Karena itu digunakan istilah “beras khusus untuk rakyat” bukan “raskin” (beras untuk rakyat miskin).
Dalam jangka panjang, menurut MS Hidayat, dunia usaha akan masuk kalau pemerintah memfasilitasi skala usaha besar di bidang pangan seperti rice estate (beras), corn estate (jagung), dan soybean estate (kedelai). “Indonesia berpotensi besar meningkatkan produksi pertanian. Tapi harus ada kebijakan reformasi lahan untuk memastikan berapa luas areal yang bisa dikembangkan. Tanpa kepastian pencadangan lahan, sulit meningkatkan investasi di sektor pertanian,’’ tutur Cluff.
Memang, lahan menjadi kendala. Menurut Aburizal Bakrie, tidak gampang mendapatkan lahan solid (satu hamparan) sampai 50.000 ha. Paling banter 10.000—20.000 ha. Di sinilah pentingnya reformasi lahan. Agaknya, untuk mengatasi krisis pangan, pemerintah dan rakyat perlu saling mendukung melakukan reformasi lahan.
Syatrya Utama