Senin, 14 April 2008

Tambak Mangkrak? Dipolikulturkan Saja

Matahari mulai condong ke ufuk barat, namun di sudut sebuah tambak yang terletak di kawasan Sungaibuntu, Karawang, beberapa pekerja masih asyik membersihkan lumpur.

Ya, tiga hari yang lalu (2/4) tambak milik Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang (BPBP Lapu) itu baru saja dipanen. Bukan cuma udang yang didapat dari hasil menguras kolam tersebut, tapi juga udang, nila, dan rumput laut. Dari tambak seluas 1.600 m2 diperoleh 386 kg udang windu, 2.000 kg rumput laut basah, 37 kg bandeng, dan 207 kg nila. Usaha budidaya tambak polikultur yang berlangsung selama enam bulan ini menghasilkan uang sebesar Rp26 juta, dengan keuntungan Rp11,5 juta atau Rp1,9 juta per bulan.

Berharap Bisa Bangkit

Keuntungan Rp1,9 juta per bulan memang bisa dibilang tidak terlalu menggairahkan bagi pelaku usaha besar. Namun tidak demikian untuk petambak udang kecil yang banyak meninggalkan usahanya atau beralih ke budidaya bandeng yang marjin keuntungannya sangat tipis. Tak kurang dari 67.000 hektar (ha) tambak akhirnya mangkrak (idle).

“Polikultur adalah salah satu solusi menghidupkan tambak-tambak kita yang idle,” ujar Iskandar Ismanadji, Direktur Produksi Dirjen Perikanan Budidaya, DKP. Menurut Iskandar, sejumlah provinsi telah menjalankan program ini, yakni Jabar, Jateng, Jatim, dan Sulsel. Sedangkan kolam percontohan ada di Pasuruan (Jatim) dan Karawang (Jabar). Harapannya, 50% dari tambak-tambak terlantar tersebut bisa bangkit kembali, meskipun ia mengakui itu tidaklah mudah.

Jabar misalnya, mulai serius menggarap polikultur pada 2006, yaitu di Kab. Bekasi. Tahun silam  program ini memasuki Kab. Subang dan Karawang. Dan tahun ini, polikultur mulai merambah Indramayu dan Cirebon. Menurut Darsono, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jabar, saat ini terdapat sekitar 390 ha tambak polikultur di Jabar, masing-masing 300 ha di Bekasi, 80 ha di Subang, dan 10 ha di Karawang.

“Program kami sekarang ini memperbanyak budidaya rumput laut agar bisa ditebar ke tambak-tambak lain,” ujar Darsono. Salah satunya di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang (BPBP Lapu) yang memiliki 14 ha tambak percobaan di kawasan Sungaibuntu, Karawang.

Aneka Polikultur

Sejak pertengahan 2007, BPBP Lapu, mengisi  tambak-tambak percobaannya dengan  beberapa komoditas yang bisa disandingkan dengan udang. “Selain bandeng dan rumput laut, kami tengah mencoba dengan nila, patin, udang galah, dan kerang,” terang Dede Sunendar, Kepala BPBP Lapu, seraya menunjuk beberapa petak tambaknya.  

Lalu apa yang menjadi kunci dalam budidaya polikultur? Menurut alumnus Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta ini, kualitas air merupakan salah satunya. Sebelum masuk ke dalam petakan tambak, air laut diendapkan terlebih dahulu di kolam yang ditumbuhi tanaman bakau. “Gunanya, untuk mengendapkan partikel lumpur,” ujar Dede. Setelah itu, air masuk ke dalam tandon dan saluran utama yang berisi rumput laut serta bandeng.

Dengan cara demikian, kualitas air menjadi lebih baik dan biota yang dipelihara, terutama udang lebih sehat. “Kami sudah mengecek udang ke laboratorium, dan alhamdullilah negatif white spot,” imbuhnya dengan nada gembira. Dari hasil tersebut, kini ia berinisiatif memisahkan 3.000 ekor udang yang dipanen untuk dijadikan calon induk. “Maunya sih bisa jadi induk udang windu yang SPF (specific pathogen free),” harapnya.

Inovasi terbaru dari pria yang pernah berdinas di Dili, Timtim, selama 14 tahun ini adalah menggunakan metode terapung (floating) dengan memanfaatkan botol air mineral bekas. Hasilnya, “Rumput laut yang jadi lebih bersih,” kata Dede, menutup pembicaraan sore itu.

Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain