Bagaimana dengan Indonesia?
Konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia masih sangat rendah, baru 4,5 kg/kapita/tahun. Beberapa negara di Asean sudah di atas 10 kg/kap/tahun. Oleh karena itu dalam jangka menengah dan panjang jika pendapatan per kapita kita meningkat, permintaan akan ayam juga akan meningkat.
Jika permintaan akan ayam meningkat, maka permintaan untuk pakan ternak juga meningkat. Praktis, permintaan akan jagung sebagai bahan baku pakan ternak utama pun meningkat. Dan selama ini kekurangan pasokan jagung dari sumber domestik secara mudah kita penuhi dengan impor.
Apakah kita tidak mampu memenuhi kebutuhan akan jagung tersebut?
Ada potensi besar menghasilkan jagung untuk pakan ternak dalam negeri. Memang sulit tetapi kalau mau maju kesulitan itu harus diatasi.
Salah satu kesulitan pengembangan jagung di Indonesia adalah penanamnya petani kecil dan dianggap sebagai secondary crop. Bagi mereka jika menguntungkan ditanam. Dan sebaliknya kalau tidak menguntungkan, mereka dengan mudah beralih menanam komoditas lain.
Selain itu, petani-petani jagung kita tidak membentuk organisasi, sehingga sangat sulit memobilisasi mereka dalam jumlah yang besar. Dengan demikian sangat sulit bagi industri pakan ternak berharap banyak kepada petani dengan pola seperti itu. Kondisi petani jagung ini sangat berbeda dengan petani padi, tembakau, tebu, kelapa sawit, dan karet.
Pada masa mendatang peran jagung kian penting sehingga kita perlu membentuk sentra-sentra produksi dan membina organisasi petani jagung. Sebenarnya yang perlu dibina tidak hanya petani dan organisasinya tetapi juga penghubung petani dengan pengguna akhir juga.
Penghubung itu adalah pedagang pengumpul, pengusaha pengeringan, pengusaha pergudangan atau silo, dan pengusaha jasa transportasi.
Apakah selama ini belum ada usaha pengembangan jagung?
Selama ini sudah banyak usaha untuk pengembangan jagung, termasuk jagung hibrida, untuk pakan ternak. Usaha itu datang dari pemerintah, pengusaha, bahkan sampai berdiri Dewan Jagung Nasional (DJN) yang diketuai oleh seorang Gubernur, Ir. H. Fadel Muhammad. Tapi hasilnya belum memuaskan.
Hal itu menjadi tidak memuaskan karena pengguna jagung terbesar, yaitu pabrik pakan ternak berperilaku pasif, hanya menunggu pedagang penghubung datang ke pabriknya.
Kalau kita mau meningkatkan produksi jagung dalam negeri secara stabil dan bertumbuh, agribisnis perunggasan harus secara proaktif melakukan pembinaan terhadap sistem produksi dan distribusi jagung nasional.
Mulai dari petani, pedagang pengumpul, hingga pemilik silo di daerah yang menyangkut hal-hal agronomis, kualitas, pengeringan, pergudangan, dan transportasi. Di samping itu, juga perlu pembinaan teknis mengenai organisasi para petani, pengering, dan pedagang pengumpul.
Bagi industri perunggasan melakukan pembinaan bukanlah hal yang sulit. Selama ini mereka telah membina peternak melalui program kemitraan dan berhasil. Bila sebelumnya melakukan pembinaan ke hilir, sekarang dicoba membina ke hulu, yaitu petani jagung. Dan dimulai dalam skala kecil dulu, seiring berjalannya waktu berkembang sesuai dengan kapasitas pabrik.
Apakah cukup hanya melakukan pembinaan?
Agar petani mau menanam jagung yang paling penting adalah adanya kesepakatan mengenai harga pada masa panen. Dan harga kesepakatan itu dibuat sedemian rupa dengan mempertimbangkan harga internasional, biaya produksi petani, biaya distribusi dari petani sampai pabrik pakan ternak.
Hal itu bisa dihitung dan dinegosiasikan supaya petani, distributor, dan industri pakan ternak untung. Dan juga produsen benih, pupuk, pestisida, dan jasa perbankan juga mendapat keuntungan.
Hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Model seperti ini sudah dilakukan di Gorontalo. Gubernur Gorontalo berinisiatif menetapkan harga dasar jagung. Demikian juga pada tebu. Petani tebu dan pedagang gula telah melakukan kesepakatan harga sebelum musim giling tiba.
Karena yang sangat berkepentingan dengan ketersediaan jagung adalah agribisnis perunggasan, pabrik pakan ternak perlu mengambil inisiatif seperti yang dilakukan Gubernur Gorontalo. Untuk melaksanakan ini harus ada kerjasama dan pembagian wilayah antarpabrik pakan ternak.
Sehingga tidak terjadi petani yang dibina oleh satu perusahaan pakan ternak tapi yang membeli hasilnya pabrik pakan ternak lain. Harus ada etika di antara para pengusaha agar bisa bisnis ini berlangsung dalam jangka panjang.
Bukankah antarpabrik pakan itu saling berkompetisi?
Untuk membina petani ini tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pabrik pakan tapi harus dalam kelompok dan kekuatan besar. Seharusnya menghadapi tantangan dari luar seperti ini perlu kerjasama antarapabrik pakan, di sisi lain perlu kompetisi di antara mereka dalam hal produktivitas dan kualitas.
Di sinilah diperlukan peran pemerintah sebagai fasilitator. Inisiatif datang dari industri perunggasan tapi fasilitasi datang dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah tingkat kabupaten.
Harus ada semangat kerjasama dalam kompetisi antarpelaku agribisnis perunggasan supaya mampu menghadapi persaingan daging ayam dan bahan baku pakan impor.
Untung Jaya