Jumat, 29 Desember 2006

Proteksi dan Promosi Pertanian Kita

Mengapa harus juga dilakukan proteksi, bukankah dengan promosi saja bisa meningkatkan produktivitas, produksi, dan daya saing komoditas pertanian kita?

Promosi saja tidak cukup. Di samping menerapkan kebijakan promosi juga harus melakukan proteksi untuk komoditas pertanian kita. Tidak mungkin meningkatkan produktivitas, produksi, dan daya saing komoditas pertanian  dengan promosi saja dalam rezim World Trade Organization (WTO) yang masih tidak adil.

Memang dengan kebijakan promosi bisa meningkatkan produktivitas, produksi, dan daya saing tapi jika tiba-tiba datang produk sejenis dari luar yang disubsidi secara luar biasa, maka sia-sialah usaha kita.

Karena itu kita harus melakukan proteksi sambil melakukan promosi.  Sering saya ditanya berapa lama proteksinya? Saya bilang proteksinya selama perdagangan internasional tidak adil. Kalau perdagangan internasional sudah adil, maka kita duluan yang masuk ke perdagangan bebas. Kita setuju dengan perdagangan bebas tapi tidak setuju dengan perdagangan tidak adil.

 

Apa argumen diambilnya kebijakan proteksi dan promosi?

Kebijakan proteksi dan promosi tidak datang begitu saja. Itu ada proses dan argumentasinya. Kebijakan proteksi dan promosi adalah kebijakan yang dirumuskan untuk bisa keluar dari krisis ekonomi dan moneter, bahkan krisis pangan yang dialami Indonesia pada akhir abad lalu dan permulaan abad ini.

Masih jelas dalam ingatan kita, pada 1997—1999 terjadi krisis moneter di Asia yang dimulai dari Thailand kemudian menyebar ke beberapa negara terus ke Indonesia. Namun karena kita lebih rapuh dibandingkan negara lain, maka akibatnya lebih parah buat kita. Krisis moneter diikuti dengan krisis ekonomi dilanjutkan dengan krisis pangan. Sebenarnya krisis yang paling dahsyat saat itu adalah krisis pangan. Harga pangan meningkat  3—4 kali lipat.

Jika saja saat itu Indonesia hanya mengalami krisis moneter kita masih mampu bertahan, tapi kita mengalami krisis pangan yang menyebabkan pemerintah lalu harus berganti sebelum waktunya. Begitulah kondisi kita saat itu, dengan pertanyaan besar bagaimana caranya menanggulangi krisis pangan? Sebab krisis pangan diikuti dengan pengangguran dan bertambahnya orang miskin dalam jumlah yang besar.

Dalam keadaan krisis itu semuanya panik, minta bantuan ke sana ke mari. Dan bantuan yang kita terima adalah dari IMF. Apapun yang diminta IMF disetujui karena kita memang dalam keadaan yang sangat susah. Banyak yang diminta oleh IMF tetapi intinya adalah liberalisasi perekonomian, termasuk liberasi pertanian kita.

 

Bagaimana akibatnya ketika liberalisasi yang diminta IMF itu diterapkan pada pertanian Indonesia?

Liberalisasi yang diminta oleh IMF membuat Indonesia negara yang paling terbuka dalam WTO. Indonesia adalah negara yang menerapkan tarif impor produk pertanian paling kecil dan tidak memiliki dukungan untuk membantu para petani, sebab sedikit subsidi saja bagi pertanian sudah menjadi ribut. Apalagi kita sendiri tidak memiliki dana untuk subsidi.

 

Apa yang terjadi dengan menerapkan tuntutan IMF tersebut?

Yang terjadi adalah impor pangan jauh meningkat. Pada 1999, kita mengimpor 5,6 juta ton beras. Importasi beras yang demikian luar biasa jumlahnya itu kita tanggapi sebagai hal biasa.

Tidak terpikirkan oleh kita cara membayarnya kelak. Selain itu, impor beras sangat menguras devisa dan menghilangkan kesempatan kerja bagi petani kita.

Kebijakan impor jangka pendek bisa bisa diterima tapi untuk jangka panjang akan menyebabkan kesulitan ekonomi yang luar biasa bagi kita. Bukan hanya kesulitan ekonomi tapi ketahanan pangan menjadi berbahaya. Selain beras, saat itu kita mengimpor sekitar 1,5 juta ton gula, jagung 2 juta ton, kedelai 1,5 juta ton, dan gandum 4 juta ton.

Sekalipun liberalisasi yang diajukan itu baik, tapi dari kacamata pertanian dapat menghancurkan pertanian kita. Semuanya serba impor sehingga pekerjaan di bidang pertanian menjadi hilang.

Ini mengakibatkan petani di mana-mana berdemonstrasi menuntut pemerintah menutup kran impor. Namun hal itu tidak menjadi pertimbangan bagi para ekonom, pengambil kebijakan perdagangan internasional,  dan IMF.

Mereka tidak pernah didemo oleh para petani, tapi yang didemo saya dan Departemen Pertanian. Petani padi dan tebu berdemo setiap hari karena mereka kewalahan dengan adanya impor beras dan gula.

Jadi aspek politik dari komoditas ini tidak ada di dalam benak para ekonom. Kalau masalah ini masalah ekonomi saja memang mudah. Bagi ekonom memberikan saran dari sudut pandangnya dengan menganggap  yang lain ceteris paribus (hal-hal lain dianggap konstan). Tapi ini masalah ekonomi, sosial, politik dan lainnya, campur aduk di dalamnya.

Kala itu ada tiga hal yang terjadi, yaitu krisis moneter, ekonomi, dan pangan, para petani marah, serta liberalisasi yang ekstrem pada pertanian. Itulah dasar yang membuat kita datang dengan ide kebijakan proteksi dan promosi.

Sayangnya, hingga akhir masa jabatan, saya baru menyelesaikan untuk beras dan gula. Sementara sudah direncanakan juga kebijakan proteksi dan promosi untuk jagung dan kedelai.

Untung Jaya

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain