Jika demikian, bagaimana kita menarik kesimpulan surplus atau defisit beras?
Tergantung cara kita mengisi parameter-parameter yang membentuk produksi dan konsumsi itu. Biasanya parameter yang digunakan tergantung kepentingan orang-orang tentang perlu atau tidaknya impor.
Hal ini sudah klasik, sehingga harus ada usaha nasional yang lebih serius mengenai perbaikan data perberasan khususnya dan pangan umumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) harus dibantu untuk memungkinkan melaksanakan pekerjaan ini.
Kita masih tertolong untuk mengetahui keadaan perberasan sebenarnya melalui data harga yang dikumpulkan oleh BPS dari seluruh Indonesia. Adanya kenaikan harga secara berturut-turut dalam jangka waktu yang cukup lama, misalnya lebih dari satu bulan, mengindikasikan adanya kelangkaan. Jika penurunan harga juga dalam waktu yang lama mengindikasikan terjadinya surplus beras pada tingkat nasional atau regional.
Berarti belakangan ini terjadi kelangkaan sehingga perlu impor?
Memang beberapa bulan terakhir ini, harga beras terus naik walaupun secara lambat yang mengindikasikan adanya kelangkaan. Memang harus diakui, kenaikan harga beras belakangan ini juga dipicu oleh kenaikan harga BBM yang luar biasa pada akhir tahun lalu. Namun kenaikan harga beras setahun belakangan ini lebih tinggi dari kenaikan inflasi, itu juga indikasi kelangkaan.
Pengalaman sejak lama, tren harga beras dari September hingga Januari tahun depan akan naik terus karena produksi sedikit. Oleh karena itu harus diantisipasi agar tidak terjadi kenaikan harga yang terlalu tinggi. Jika harga beras naik terus bisa menimbulkan dampak sosial politis yang tidak diinginkan, maka harus dicegah. Antisipasinya secara terpaksa mengimpor beras.
Profesor setuju dengan impor beras?
Bangsa ini harus teguh dalam prinsip tapi luwes dalam pelaksanaan, demikian juga halnya dengan perberasan. Prinsip dalam perberasan, kita harus bisa menyediakan sendiri makanan pokok kita. Dengan kata lain, kita tidak mau mengimpor beras. Justru harus memproteksi perberasan nasional dari perdagangan beras internasional yang tidak adil. Harga beras internasional itu adalah harga dumping, harga yang disubsidi produksi dan ekspornya.
Kendati teguh dalam prinsip, kita harus luwes dalam pelaksanaan. Kelambatan peningkatan produksi beras pada 2005—2006 menyebabkan harga makin tinggi sebagai indikasi kelangkaan. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka barangkali pemerintah dengan terpaksa mengimpor beras. Imporlah sampai batas-batas tidak merugikan petani kita.
Dan dijaga agar jumlah yang ditetapkan pemerintah sama dengan jumlah yang masuk. Sebab menurut data BPS sejak 2004—2006 jumlah impor selalu lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Ini sebagai tanda kebocoran atau “separuh nyolong”.
Sebaiknya bangsa ini punya perasaan malu jika makanan pokoknya saja harus diimpor dari luar negeri. Dan malu juga karena tidak bisa melaksanakan prinsip. Sayangnya, kini ada kecenderungan terlalu luwes.
Tahun lalu sudah mengimpor, maka tahun sekarang tidak merasa bersalah untuk mengimpor beras lagi. Jumlah impor beras 2006 ini, sebanyak 320.000 ton, sudah hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Jadi bagaimana kita menyikapi impor beras yang terjadi terus?
Sebaiknya pemerintah bisa lebih rendah hati untuk mengakui keadaan yang terjadi, bahwa pertambahan produksi beras belum berhasil mengikuti pertambahan konsumsi yang diindikasikan dengan terjadinya kenaikkan harga beras.
Alangkah baiknya jika pemerintah berani mengatakan, “Maaf, tahun ini produksi beras belum seperti yang kita harapkan, tapi kita bertekad tahun depan untuk memperbaikinya sehingga tidak akan mengimpor lagi.” Kenyataannya, sekarang ini tidak ada yang mengakui kegagalan itu maka seolah-olah tidak ada persoalan sehingga setiap tahun berulang hal yang sama.
Dengan pengakuan itu akan datang tekad baru untuk bekerja lebih keras lagi, bekerjasama lagi, dan bekerja lebih cerdas lagi untuk meningkatkan produksi beras. Dengan kerendahan hati pemerintah itu, semua orang akan membantu memberi sumbangan pikiran dan tenaga, seperti DPR, birokrasi, pengamat, dan lainnya.
Langkah selanjutnya bersama-sama menetapkan kebijakan, program, dan anggaran untuk meningkatkan produksi tahun depan. Pemerintahan lalu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk ke Indonesia. Jika tidak ada beras impor, harga akan naik sehingga petani bergairah meningkatkan produksi.
Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Promosi yang dilakukan prinsipnya mensinergikan yang ada seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, perbaikan irigasi pedesaan, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, serta cegah gagal panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan banjir.
Selain itu, mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian serta memperkuat organisasi petani dan penyuluhan. Kebijakan promosi ini berdampak positif kepada petani sehingga mereka juga bersemangat untuk menyukseskannya.
Untung Jaya