Rabu, 30 Agustus 2006

Kemelut Harga Beras

Bila sudah ada polanya, mengapa terjadi kemelut harga?  
 

Perbedaan harga antarmusim mendorong insentif buat penggilingan padi dan pedagang serta menggerakkan ekonomi pedesaan dan perdagangan antarpulau/wilayah. Aktivitas tersebut melibatkan tidak kurang 12 juta orang, hampir seluruhnya UKM. Aktivitas mereka didorong pula oleh pengadaan dalam negeri yang dilakukan Bulog saat musim panen sehingga menambah persaingan di pasar gabah/beras yang mendongkrak harga gabah.

Selain itu, akhir tahun lalu pemerintah mengeluarkan Inpres baru (No.13/2005) yang berlaku Januari 2006 membuat harga pokok produksi (HPP) naik cukup tinggi hampir 30%. Semula diperkirakan harga beras, terutama kualitas medium, akan stabil di sekitar Rp3.400,00—Rp3.500,00/kg, ternyata meleset. Manakala pemerintah - menteri atau pimpinan negara - mengeluarkan berbagai pernyataan tentang kekurangan stok pangan nasional, seperti defisit beras dalam negeri dan impor beras tetap dilarang, telah berpengaruh buruk terhadap stabilitas harga beras. Saya tidak bermaksud menyalahkan yang sedang terjadi, namun mencari alternatif solusinya.

 

Belakangan ini bagaimana kondisinya?

Hasil kunjungan ke berbagai tempat di wilayah produsen beras Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur pada akhir 2005 hingga awal 2006 memperlihatkan bahwa harga beras masih tinggi, cenderung naik. Harga memang tinggi pada musim paceklik yang akan berakhir Januari ini. Dan harga beras akan turun pada musim panen raya yang diperkirakan awal Februari mendatang.

Pada akhir musim paceklik, stok beras tidak banyak di tangan masyarakat. Petani yang panen langsung menjualnya karena harga baik. Demikian juga pedagang dan penggilingan padi tidak berani menyimpan stok besar, langsung dijual untuk memetik margin pada harga tinggi. Mereka berisiko menyimpan stok yang berlebih di akhir musim paceklik. Harga tinggi itu tidaklah bertahan lama.

 

Bila demikian mengapa harga terus naik, kadang-kadang lebih dari sekali sehari?

Salah satu jawabannya pasar beras panik, pengaruh psikologis atas pernyataan petinggi negara. Saat pemerintah menyatakan ingin membeli beras dalam negeri di musim paceklik seperti ini, dibaca oleh pasar sebagai gambaran gawatnya stok beras pemerintah. Pernyataan terjadi defisit beras nasional juga mendorong harga naik.

Pemerintah pun sedang merancang operasi pasar (OP) untuk meredam harga beras di pasar, apabila melewati harga eceran tertinggi (HET). Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja merusak mekanisme pasar tetapi juga biayanya mahal. Di samping itu,  kebijakan ini kurang adil karena masyarakat umum yang disubsidi. Kelompok miskin tetap saja tidak mampu mengakses beras OP karena harganya masih tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya OP tidak perlu dilakukan.

 

Jadi apa yang diperlukan saat ini?

Pilihan terbaik adalah percepat menyalurkan beras untuk keluarga miskin (Raskin). Raskin periode 2005 terhenti sejak Desember, dan belum ada kejelasan penyalurannya untuk Januari 2006. Orang miskin tidak bisa menyesuaikan diri dengan administrasi APBN pemerintah yang harus selesai awal Desember. Mereka amat memerlukan Raskin pada musim paceklik seperti sekarang.

Proporsi Raskin setiap bulan berkisar antara 10—15% dari kebutuhan beras di masing-masing wilayah produsen, itu cukup penting buat melindungi kelompok miskin sebagai targetnya dan meredam harga beras. Jadi, sebaiknya Raskin disalurkan sekarang juga, digabungkan dengan alokasi Februari. Pada bulan-bulan panen raya, Raskin dihentikan. Pada musim paceklik volumenya diperbesar dan cakupan orang miskin diperbanyak.

Sentimen publik terhadap impor beras luar biasa, bukan sekadar kalkulasi ekonomi belaka. Publik tidak menginginkan impor beras. Harga di pasar internasional tidak menggambarkan biaya produksi, terdistorsi dengan berbagai subsidi yang dilakukan oleh negara-negara eksportir. Sebaiknya stok penyangga dan operasional Bulog dibuat optimal, cukup 700.000—750.000 ton, tidak perlu 1 juta ton. Dengan stok awal rendah, maka daya serap beras/gabah dalam negeri oleh Bulog di musim panen raya akan tinggi. Itu berpengaruh positif untuk melindungi petani dari kejatuhan harga gabah/beras.

Masyarakat banyak masih menganggap Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND), padahal telah berubah menjadi Perum sejak pertengahan 2003. Bulog harus menutupi ongkos operasional dari sumbernya sendiri. Bulog tidak lagi mendapatkan subsidi kredit untuk pengadaan gabah/beras dalam negeri. Sebaiknya, tugas publik yang diemban Bulog dibiayai dari APBN, sehingga lebih transparan dan masyarakat dapat menuntut kinerja, serta efektivitas biaya program publik dapat ditingkatkan.

 

Bila dalam kemelut harga seperti sekarang, apa yang paling mendesak dilakukan?

Pernyataan pemerintah sebaiknya yang dapat menyejukkan pasar. Pemerintah perlu menghindari pernyataan yang terkait dengan kekurangan stok, kekurangan produksi maupun pengadaan di musim paceklik. Pernyataan itu lebih baik tidak keluar dari jajaran pemerintahan. Memang untuk menstabilkan harga,  pemerintah perlu menyatakan sikap. Misalnya, apabila harga beras terus naik, digertak dengan menyatakan pasar beras akan dibuka, sekadar mempengaruhi pasar.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain