Berarti kita hanya bisa mengimpor sapi beserta produknya dari Australia dan Selandia Baru saja, bukankah dengan begitu akan terjadi monopoli?
Jika itu mau disebut sebagai monopoli, maka namanya monopoli karena seleksi alam. Sebenarnya kita bukan ingin membatasi negara pengekspor daging ke negara kita, tapi hanya masalah situasi. Jangankan impor daging, impor jagung pipilan dari Argentina saja pernah kita larang pada 2003 karena saat itu di sana sedang mewabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
Pemerintah harus mempertahankan status Indonesia yang termasuk dalam negara bebas dari penyakit hewan besar utama dan tetap selektif dalam mendatangkan sapi dari negeri yang bebas dari penyakit berbahaya. Dan pemerintah tidak perlu merevisi Peraturan Mentan (Permentan) No. 754/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Daging dari Luar Negeri. Indonesia harus mempertahankan statusnya di bidang peternakan besar tersebut.
Bagaimana dengan adanya rencana impor ternak sistem zonasi?
Kita tidak antiimpor ternak sistem zonasi, tapi hal tersebut harus dilakukan secara cerdas dan demi kepentingan Indonesia. Misalnya untuk unggas kita setuju sistem zonasi. Hal itu disebabkan negara-negara produsen grand parent stocks (GPS) sudah terjangkit flu burung (AI).
Sedangkan negara-negara yang bebas AI tidak memproduksi GPS. Dan Indonesia sendiri sampai sekarang juga belum bebas AI. Sehingga jika kita tidak setuju sistem zonasi dalam hal ini, maka semua usaha peternakan ayam kita akan gulung tikar karena ketiadaan pasokan GPS.
Beda halnya dengan impor daging sapi dan kerbau terkait dengan PMK. Indonesia telah dinyatakan bebas PMK sejak 1985 setelah berupaya lebih dari seratus tahun. Sementara masih ada negara lain yang oleh OIE juga dinyatakan bebas PMK, mengapa kita harus mengimpor dari negara yang belum bebas PMK? Jika dikaitkan dengan kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan pada beberapa komoditas pada pemerintahan lalu, maka ini adalah kebijakan proteksi secara alami.
Bagaimana dengan keinginan menyediakan daging murah bagi konsumen?
Memang bagus kalau bisa menyediakan daging murah bagi konsumen. Namun yang lebih penting lagi, pangan yang disediakan juga harus aman, selanjutnya kita sebut keamanan pangan. PMK disebabkan oleh virus yang bersifat air-born (menular melalui udara) dan penyebarannya sangat luas hingga 60 km.
Sekalipun tidak mematikan, akibat serangan virus ini menimbulkan borok pada mulut dan kuku sapi yang menyebabkan harganya anjlok, sehingga merugikan peternak. Dan penyakit ini bersifat zoonosis atau menular kepada manusia yang menyebabkan luka-luka pada rongga mulut.
Jadi untuk mendapatkan daging murah, tidak harus dengan mengimpor dari negara yang belum bebas PMK. Karena begitu daging atau sapi yang terkena PMK masuk, maka semua usaha peternakan sapi, kerbau, domba, dan kambing di tanah air terancam. Jangan terlalu longgar memberikan aturan impor terhadap negara yang diduga masih dijangkit PMK.
Negara lain tidak pernah memberikan kelonggaran kepada kita, kenapa kita memberi kemudahan kepada mereka? Misalnya Jepang, yang sampai kini tidak mau menerima ekspor pucuk tebu kita untuk pakan ternak mereka. Alasannya, mereka belum yakin benar Indonesia bebas PMK, sedangkan Jepang sendiri belum bebas PMK.
Jangan kita korbankan kepentingan yang lebih besar dengan kepentingan sesaat. Saya yakin harga daging murah itu hanya sementara. Belakangan harga daging produksi dalam negeri turun dan harga daging impor naik sehingga mencapai suatu harga keseimbangan. Jelas, jika kebijakan ini yang kita ambil akan kontraproduktif bagi perkembangan peternakan di Indonesia.
Langkah apa yang perlu diambil untuk pengembangan peternakan kita?
Kondisi saat ini sebenarnya menguntungkan pemerintah untuk merealisasikan rencana swasembada daging pada 2010. Dengan harga yang relatif mahal, pemerintah mudah mengajak peternak dan pengusaha untuk mengembangkan peternakan sapi dan kerbau di tanah air. Harga daging yang relatif mahal menjadi insentif bagi peternak dan pengusaha untuk mengembangkan ternaknya. Ini yang disebut kebijakan promosi, memberikan insentif sekaligus meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan peternak.
Jika selama ini kita sudah punya berbagai program pengembangan ternak, seperti inseminasi buatan (IB) dan embrio transfer, kini saatnya kita buat program pembibitan ternak besar nasional. Program ini secara komprehensif dan fokus pada pembibitan ternak besar untuk mengembangkan populasi ternak sehingga tercapai swasembada daging.
Pertama, menyeleksi atau mengimpor pejantan yang baik untuk mendapat semen yang berkualitas. Kedua, melatih inseminator supaya tingkat keberhasilan IB lebih tinggi. Untuk setiap keberhasilan IB, maka inseminator memperoleh insentif agar mereka bekerja lebih semangat dan hasilnya lebih baik. Dan ketiga, membangun kemitraan perusahaan besar dengan peternak. Perusahaan menyediakan semen dan peternak menyediakan betina yang baik. Anak sapi yang dihasilkan memperoleh jaminan dibeli oleh perusahaan.
Jika program proteksi dan promosi ini dilakukan dari sekarang secara baik, kita akan memperoleh hasil nyata sekitar tiga tahun kemudian. Dan saya yakin pada 2010 kita mampu swasembada daging.
Untung Jaya