Rabu, 16 Agustus 2006

Indonesia Mampu Swasembada Jagung

Apa mungkin kita swasembada jagung?

Saya yakin kita bisa swasembada jagung dan tidak perlu menunggu dalam waktu lama lagi. Salah satu alasannya, makin mahalnya biaya transportasi karena harga energi yang sangat melambung belakangan ini dan tampaknya belum ada kemungkinan untuk turun, maka mengimpor jagung dari daerah yang jauh seperti AS dan Amerika Latin menjadi terlalu mahal.

Karena itu, produksi dalam negeri harus ditingkatkan untuk memberi keuntungan yang lebih menarik buat para petani. Bahkan Indonesia potensial menjadi eksportir jagung untuk negara-negara Asia Tenggara. Kita juga akan kesulitan mengekspor terlalu jauh karena biaya transportasinya mahal.

 

Kenyataannya jagung telah ditanam oleh petani kita sejak dulu tapi kenapa sampai sekarang tetap impor?

Tahun 1970-an kita pernah menjadi eksportir jagung, tapi mulai 1980-an kita menjadi importir jagung. Salah satu penyebab utamanya ialah apresiasi rupiah yang terjadi secara artifisial mengakibatkan mengimpor menjadi lebih murah daripada memproduksi sendiri. Tapi nilai rupiah yang secara artifisial kuat itu sudah dikoreksi sejak terjadi krisis ekonomi dan keuangan. Maka persentase impor jagung kita semakin lama semakin kecil dibandingkan kebutuhan dalam negeri.

 

Apa yang menjadi hambatan mempercepat produksi sampai sama dengan kebutuhan dalam negeri?

Kita masih banyak masalah. Masalah utama yang sangat mendasar adalah belum tersedianya statistik dalam bidang sistem agribisnis jagung yang komprehensif, mencakup on farm, down stream, dan up stream. Tidak ada data detail yang memilah-milah statistik  jagung untuk keperluan pakan ternak, makanan manusia, dan keperluan industri lain.

Kemudian untuk makanan manusia juga tidak ada pemisahan antara baby corn, sweet corn, dan jagung pipilan. Karena tidak dipilah seperti itu, maka sering terjadi silang pendapat mengenai cukup atau tidak produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Selain itu, dibutuhkan juga data akurat yang dicatat dengan benar dan satuan-satuannya konsisten. Dan data ini harus dibuat selalu up to date supaya kita bisa mengetahui perkembangan yang terakhir. Keadaan data yang tersedia saat ini belum seperti yang diharapkan sehingga sulit untuk merumuskan kebijakan, program, dan rencana aksi yang relevan dengan keadaan untuk setiap saat.

Kelemahan dalam data ini membuat perusahaan swasta juga mengalami kesulitan untuk merumuskan strategi operasi mereka secara efektif dan efisien. Dan dari kacamata petani,  data yang kurang baik tadi juga menyebabkan mereka sangat sulit mengambil keputusan untuk menanam atau tidak menanam pada waktu-waktu tertentu.

 “Pekerjaan rumah” yang pertama dari bangsa ini kalau mau swasembada apalagi eksportir jagung ialah perbaiki data sistem agribisnis jagung. Kesulitan kita dalam hal data ini sebenarnya tidak hanya pada jagung termasuk juga komoditas-komoditas lain kecuali padi, tebu, dan kelapa sawit.

 

Apakah ada hal yang membuat kita optimis untuk berswasembada jagung?

Ada. Suatu hal yang sangat menggembirakan, kita sudah punya Dewan Jagung Nasional. Kebetulan DJN ini dipimpin oleh seorang gubernur (Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad) dengan latar belakang bisnis yang baik. Dewan ini harus membantu pemerintah merumuskan kebijakan nasional yang komprehensif tentang pengembangan sistem agribisnis jagung.

Kebijakan dan program itu harus bersifat nasional artinya mencakup seluruh nusantara dan mencakup seluruh subsistem agribisnis jagung dan melibatkan semua stakeholder mulai dari petani, pengusaha, pemerintah, media, penelitian, hingga pendidikan. Selanjutnya, merumuskan rencana detail yang menjangkau wilayah-wilayah produksi. Dan tak kalah pentingnya melobi sumber pendanaan untuk pengembangan agribisnis jagung melalaui APBN, APBD, dan juga dari lembaga keuangan dan pembiayaan.

 

Bagaimana strateginya untuk mewujudkan keinginan tersebut?

Strategi utamanya adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung hibrida. Sekarang hanya sekitar 30% area produksi yang menggunakan benih hibrida, secara lambat laun harus ditingkatkan sampai mendekati 100%. Tentunya para produsen benih perlu diberi kemudahan-kemudahan dalam memproduksi benih unggul.

Selanjutnya, introduksi benih unggul menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan dalam produksi jagung. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di wilayah-wilayah produksi pada waktu dan jumlah yang tepat. 

Lagi-lagi di sini peranan DJN untuk mengorkestra semua komponen. Sebenarnya semua komponen agribisnis jagung saat ini di Indonesia sudah komplet. Namun yang menjadi masalah, mereka belum terkait dan bersinergi dengan baik. Apabila DJN bisa mensinergikan mereka, maka akan timbul insentif berproduksi buat para petani karena keuntungan yang diperoleh lebih besar.  Jadi, jangan terpesona dengan “megaprogram” yang butuh biaya besar. Misalnya, corn estate.

Lebih baik mengembangkan wilayah jagung yang selama ini sudah merupakan sentra jagung.

Model seperti itu sudah berhasil diterapkan pada padi sehingga mencapai swasembada pada 2004 (AGRINA Vol. 1 No. 12, “Impor Beras, Perlukah?”). Selain padi, juga pada tebu yang tidak lama lagi akan swasembada (AGRINA Vol. 1 No. 14, “Hati-hati Preteli Kebijakan Gula”).

Untung Jaya  

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain