Jadi pemerintah dan DPR sudah menyetujui impor beras. Apa maknanya ini?
Maknanya, pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa swasembada pangan yang sudah dicapai pada 2004 tidak bisa dipertahankan lagi. Maka pemerintah dan DPR mengizinkan adanya impor. Itu suatu pengakuan, walaupun tidak pernah diumumkan ke publik, atas kegagalan mempertahankan swasembada beras yang telah diusahakan dengan jerih payah sejak 2000.
Harapan kita, izin impor ini bukanlah hal yang permanen tapi hanya situasional sebagai respon atas kegagalan meningkatkan produksi padi dalam negeri pada 2005. Lantas tidak ada gunanya lagi mempersoalkan impor atau tidak. Itu sudah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, energi kita sebagai bangsa sekarang harus diarahkan untuk berusaha agar impor itu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang.
Apa mungkin Indonesia bisa tidak mengimpor beras?
Impor tidak akan terjadi jika bangsa ini mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi mengikuti tren yang terjadi sejak 2000—2004. Penduduk kita bertambah setiap tahunnya 1,5% dari 220 juta jiwa sehingga produksi padi kita minimal harus meningkat untuk memenuhi kebutuhan tambahan penduduk itu.
Pendekatan lain, pengurangan konsumsi per kapita. Konsumsi per kapita bisa dikurangi apabila harga beras di dalam negeri dibiarkan naik. Sebenarnya konsumsi beras kita terlalu tinggi, menurut data BPS 139 kg/kapita/tahun, angka yang sama di Jepang 30 tahun lalu yang kini hanya sekitar 50 kg/kapita/tahun. Hal itu karena harga beras di Jepang tinggi sekali, sekitar US$ 3/kg. Jadi, naiknya harga beras akan menaikkan produksi dan mengurangi konsumsi. Dengan mudah bisa swasembada, bahkan bisa mengekspor sisanya.
Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu?
Raskin harus terus dilanjutkan. Ide pemerintah untuk mengurangi raskin karena ada masalah dalam distribusi sangat disayangkan. Seharusnya biarkan harga beras naik dan konsumen yang miskin ditolong melalui raskin. Dengan begitu konsumen miskin tertolong dan petani juga tertolong.
Hendaknya pemerintah dari pusat sampai kabupaten mempelajari kenapa produksi padi kita yang sejak 2000—2004 secara konsisten produksi dan produktivitasnya naik, pada tahun 2005 lalu produksi menjadi turun? Apa penyebab penurunan itu? Di daerah mana penurunan itu terjadi? Pada musim apa terjadi? Apakah penurunan itu karena berkurangnya areal? Atau karena kurangnya produktivitas? Kalau pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab, maka akan dengan mudah diidentifikasi usaha-usaha untuk menaikkan produksi dan produktivitas.
Menurut pengalaman, usaha-usaha konkret apa yang bisa dilakukan?
Menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Kebijakan proteksi melalui tarif dan larangan impor. Kebijakan promosi di antaranya penggunaan pupuk berimbang dan benih unggul, pengendalian hama terpadu, perbaikan irigasi pedesaan, subsidi pupuk, serta subsidi bunga kredit. (Kebijakan proteksi dan promosi pada beras secara lengkap dapat dilihat pada AGRINA No. 12, Impor Beras, Perlukah?)
Dan semua ini dilakukan melalui kerjasama antara petani dan organisasinya, dunia usaha dan asoasinya, serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di pusat, provinsi, dan kabupaten melakukan koordinasi yang lebih baik antar-instansi pemerintah dengan dunia usaha seperti pupuk, pestisida, benih, dan bank, serta organisasi petani dan petani. Pemerintah khususnya Departemen Pertanian berperan sebagai fasilitator atas kerjasama tersebut. Di samping itu, dukungan yang kuat dari DPR sangat penting.
Yang tidak kalah pentingnya, ada pejabat yang dari hari ke hari menangani masalah beras. Pejabat itu adalah Dirjen Tanaman Pangan. Sayangnya, sudah sekitar 7 bulan ini pejabat yang mengurusi komoditas strategis tersebut hanya pejabat sementara. Perlu segera ditunjuk Dirjen Tanaman Pangan yang definitif.
Bagaimana dengan peran Bulog?
Bulog dewasa ini bukan lagi Lembaga Pemerintah Non Departemen setingkat menteri. Perum Bulog hanyalah salah satu BUMN di bawah Meneg BUMN. Oleh karena itu Perum Bulog bukanlah pembuat kebijakan, melainkan pelaksana kebijakan. Masalah muncul karena yang seharusnya membuat kebijakan dan memberikan tugas kepada Perum Bulog belum melakukan fungsinya dengan baik sehingga kelihatannya Bulog mengambil alih peranan itu.
Bulog mendapatkan tugas dari pemerintah melalui DKP. Karena itu DKP harus diperkuat dan mampu memberi penugasan yang tepat kepada Bulog serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan tugas itu. Untuk itu Perum Bulog harus disediakan dana yang cukup melalui APBN sebatas penugasan tersebut, yaitu menjaga stabilitas harga beras. Di luar penugasan pemerintah, Perum Bulog beroperasi sebagai perusahaan dan mengusahakan dananya sendiri. Bulog harus diaudit secara profesional dalam pelaksanaan tugasnya dan dalam penggunaan uang negara untuk melaksanakan tugasnya.
Salah satu penyebab Bulog ngotot untuk mengimpor beras karena kekhawatiran akan stoknya berada di bawah 1 juta ton. Keadaan ini terjadi karena tahun lalu harga pasar beras dan padi di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Bulog tidak mampu membeli untuk menambah stoknya. Tapi pada 2006 akan lebih mudah karena HPP sudah dinaikkan sekitar 30% dari angka sebelumnya. Jadi, Bulog akan lebih mudah membeli dari dalam negeri dan kita harapkan keinginan untuk mengimpor itu akan berkurang.
Untung Jaya