Mungkin tidak hanya ISEI yang menganggap demikian tapi masih banyak lagi. Apakah memang demikian adanya?
Pertanyaan itu dilontarkan karena persepsi yang salah mengenai pertanian dan perekonomian Indonesia. Karena itu persepsi ini harus di-clear-kan. Kalau persepsi yang salah itu ada di benak anggota ISEI yang notabene adalah pemikir, pejabat, dan pengusaha, maka bisa berakibat tidak baik bagi pembangunan pertanian khususnya dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Saya balik bertanya, apakah yang dimaksud dengan terbelakang itu? Terbelakang dibandingkan dengan siapa atau apa? Memang pertanian kita bisa dibandingkan pertanian di Malaysia, Thailand, Australia, atau negara lain. Bisa juga dibandingkan sektor-sektor lain di dalam negeri. Sebab terbelakang itu adalah konsep yang relatif.
Bagaimana jika dibandingkan pertanian di negara lain?
Di bidang tertentu memang terbelakang, tapi dalam bidang tertentu tidak terbelakang. Misalnya, dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Australia, kelapa sawit kita nomor satu dari segi produksi. Karet, sekarang Indonesia nomor dua sesudah Thailand. Kakao, kita nomor tiga di dunia bahkan berpotensi menjadi nomor dua dalam waktu sangat dekat. Pala dan cengkeh, nomor satu. Teh, kita masuk dalam sepuluh besar, serta minyak asiri dan pulp kita termasuk lima besar dunia.
Memang kita ketinggalan dalam bidang hortikultura, seperti sayuran, bunga, dan buah dibandingkan Thailand. Dibandingkan Australia, kita kalah pada bidang peternakan tapi mereka tidak bisa menang tropical agriculture-nya. Jadi, dalam produksi dan perdagangan hasil pertanian, khususnya yang berbasis tropis kita termasuk big and world player.
Bagaimana pula bila dibandingkan sektor lain di dalam negeri?
Adakah sektor di Indonesia yang bisa menjadi world player seperti pertanian dalam kancah perdagangan internasional dan menjadi big player? Apakah sektor jasa, keuangan, transportasi, listrik, air, industri nonpertanian kita dipertimbangkan dalam dunia internasional? Belum. Sektor-sektor itu hanya kelihatannya bagus tapi dalam realitanya belum bagus. Misalnya, perbankan hanya gedungnya yang kelihatan hebat-hebat tapi di dalamnya bobrok. Hidupnya dari support atau talangan pemerintah. Sangat berbahaya jika anggota ISEI yang banyak menjadi pengurus bank, menilai sektor pertanian terbelakang tapi tidak melihat dirinya.
Mengapa pertanian kita bisa demikian maju dibandingkan sektor lain?
Pertama karena alam kita. Pertanian Indonesia yang maju terutama pertanian berbasis tropis. Kedua, sumberdaya manusia (SDM) elite atau orang-orang pintar banyak terdapat di sektor pertanian. Ketiga, adopsi teknologi relatif baik. Keempat, menyadari untuk memulai dengan yang dimiliki. Jadi kita tidak membangun pertanian seperti di AS, Eropa, atau Jepang, tapi yang sesuai kebutuhan petani.
Jika memang pertanian lebih maju, mengapa petani masih miskin?
Pertanian kita menjadi terbelakang karena sektor-sektor lain, seperti infrastruktur, tansportasi, pendidikan, perbankan, listrik, dan air tidak berkembang, tidak perform. Akhirnya tidak bisa menimbulkan sinergi dengan sektor pertanian, bahkan menjadi beban bagi sektor pertanian. Jadi pertanian sulit maju dalam lingkungan tidak maju dan tidak mendukung.
Petaninya miskin karena laju pertambahan penduduk sangat cepat. Walaupun produksi bertambah tapi pembaginya juga bertambah, maka nilai per kapitanya menjadi rendah. Jadi pertambahan penduduk adalah sumber utama dari penyebab kemiskinan di sektor pertanian bahkan di sektor ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, karena sektor di luar pertanian tidak berkembang, tenaga kerja pertanian tidak bisa pindah keluar pertanian.
Jika pertanian lebih maju, bagaimana mempercepat lajunya agar dapat berperan sebagai lokomotif untuk menarik sektor lain?
Pertama, perlu ada paradigma baru pembangunan pertanian yang dikaitkan dengan revitalisasi pertanian. Pemerintah tidak cukup hanya merevitalisasi pertanian, sebab pertanian sudah lebih vital daripada sektor lain. Kita butuh revitalisasi sistem dan usaha agribisnis, yang pertanian salah satu komponen utamanya.
Jika revitalisasi sistem dan usaha agribisnis yang dilakukan, peranan yang penting dari segi pemerintah bukan lagi Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Kehutanan, tapi mereka bersama-sama dengan departemen lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Koperasi dan UKM, BKPM, dan lainnya. Perlunya keterkaitan tersebut karena sekitar 80% kegiatan usaha dan sistem agribisnis itu berada di luar pertanian. Jika dibiarkan Deptan jalan sendiri, yang dikerjakannya hanya 20% dari sistem agribisnis.
Kedua, butuh koordinasi karena pendekatannya intersektoral. Koordinasi dapat dilakukan Menko Perekonomian, tapi apakah Menko Perekonomian cukup tenaga, waktu, dan mampu? Dia sudah sibuk mengenai soal-soal moneter, fiskal, dan internasional. Maka perlu ada Menko Ketahanan Pangan dan Agribisnis yang mengambil sebagian peranan Menko Perekonomian itu.
Alternatif lain, bila tidak setingkat Menko adalah Menteri Senior. Menteri Senior diangkat dari salah satu menteri terkait. Menteri Senior harus mampu mengkoordinasi semua departemen yang terkait dalam sistem agribisnis atas nama Presiden.
Untung Jaya