Apakah kebijakan yang sudah diterapkan pada 2000 – 2004 masih relevan saat ini?
Proteksi sangat kita butuhkan dalam perdagangan internasional yang tidak adil. WTO itu hanya adil buat negara-negara yang maju, buat kita tidak adil. Memang free trade sesuai buat yang kuat, tapi tidak buat kita. Saya tidak tahu bagaimana dulu kita menyetujui free trade atau memang tidak bisa untuk tidak setuju karena kita belum mempunyai kedaulatan.
Kita harus proteksi tapi sekaligus promosi. Kalau kita hanya proteksi, semakin lama proteksinya semakin tinggi dan tidak bisa kita pertahankan. Karena itu sambil memproteksi, kita juga harus promosi melalui peningkatan produktivitas dan kualitas.
Jika nanti perdagangan internasional sudah adil, kita preteli proteksi itu secara sedikit demi sedikit. Kalau masih belum adil, tidak perlu kita pura-pura mampu bersaing dengan orang yang lebih mampu dari kita. Jadi jangan naif.
Dengan ditandatanganinya Letter of Intend (LoI), negara kita dibuat telanjang. LoI itu dibuat supaya semuanya bisa masuk ke sini. Dan memang tiba-tiba Indonesia menjadi importir pangan terbesar di dunia.
Selama 2000—2004 kita terapkan kebijakan proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita. Kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan, melaksanakan, dan merevisi bila dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di atas 4%. Hal ini diakui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagaimana kita bisa menerapkan kebijakan tersebut jika petani sebagai salah satu stakeholder agribisnis belum memiliki lembaga?
Lembaga petani sebenarnya sudah ada, dalam bentuk kelompok-kelompok yang telah lama dibina. Kemudian asosiasi petani juga sudah semakin kuat, kita punya HKTI, KTNA, petani sawit, petani tebu, petani tembakau, dan petani cengkeh, itu sudah well-organized.
Sekarang pekerjaan pemerintah itu mengidentifikasi yang perlu dikembangkan atau fasilitas yang diberikan supaya mereka itu bisa bekerjasama. Para pengusaha sudah menyadari hanya kalau petani menjadi makmur, maka dunia usaha bisa berkembang. Itu dengan pahit baru disadari setelah reformasi yang baru lalu itu. Jadi sudah lebih baik. Cuma masih ada tetap keinginan-keinginan birokrasi dan mungkin juga politikus menggunakan paradigma lama dalam keadaan yang baru ini.
Fasilitas apa yang perlu diberikan pemerintah kepada petani?
Misalnya kredit. Kredit penting, tapi kredit hanya untuk memperlancar usaha. Ada faktor-faktor lain yang jauh lebih penting. Buktinya, selama 2000—2004 kredit tidak ada tapi tetap bisa bertumbuh, tapi kalau ada kredit akan lebih hebat lagi.
Menurut hemat saya, kita jangan kembali pada cara lama, mau kasih subsidi yang terlalu besar. Masalah mendasar, tingkat suku bunga nasional itu terlalu tinggi, 18%. Jika tingkat suku bunga nasional 5—6%, tentu untuk pertanian bisa 7—8%, seperti di Malaysia dan Thailand. Kita belum mampu membuat tingkat bunga itu kompetitif dengan negara-negara lain.
Apa petani kita sudah tidak butuh subsidi?
Subsidi masih dibutuhkan petani kita, tapi harus kita pikirkan bagaimana subsidi yang efisien dan efektif, jangan terjadi penyelewengan. Dikaitkan dengan keberatan WTO tentang subsidi, tidak usah terlalu takut karena itu bagian dari kedaulatan kita. Jadi, sebagai negara yang berdaulat, kita harus bisa melakukan apapun di republik ini untuk meningkatkan ketahanan pangan, menanggulangi kemiskinan, dan juga membangun pedesaan.
Bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan?
Dalam rangka inilah saya ada sedikit pikiran mengenai revitalisasi pertanian. Jadi kita mengapresiasi ide revitalisasi karena ada kesadaran baru mengenai pentingnya pertanian. Lebih tepat jika revitalisasi sistem dan usaha agribisnis karena masalah pertanian itu sebagian besar ada di luar pertanian. Misalnya, infrastruktur, perbankan, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Bila semua ini tidak diperbaiki, maka pertanian dan ketahanan pangan akan jalan di tempat.
Dalam waktu dekat mewujudkan kedaulatan pangan, sebaiknya tugaskan Menko Perekonomian untuk secara sadar bekerjasama dengan menteri terkait dan merumuskan target. Kalau itu tidak mungkin, maka Presiden harus secara aktif take over itu ketahanan pangan, kalau perlu kasih kepada Wakil Presiden untuk mengurusnya. Bila memungkinkan, buat Menko Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Jika tidak memungkinkan juga, satu dari lima menteri, yaitu pertanian, kehutanan, kelautan, perindustrian, dan perdagangan diminta menjadi koordinator. Jadikan dia sebagai menteri senior yang bisa mengundang menteri lainnya.
Sekarang ini semua sibuk. Semua capek tapi hasilnya tidak ada. Kalau istilah saya, sudah kerja keras, tidak kerjasama, dan tidak kerja smart. Kita perlu kerja keras untuk mendapatkan hasil. Tapi kerja keras saja tidak cukup. Kita membutuhkan kerjasama. Kerjasama tapi tidak keras juga tidak ada gunanya, harus kerja keras dan kerjasama. Walau sudah kerja keras dan kerjasama, bila tidak kerja smart maka tidak berhasil. Kalau sudah kerja smart tapi tidak kerja keras dan kerjasama juga tidak ada gunanya. Harus kerja keras, kerja sama, dan kerja smart. Itulah ramuan dalam mewujudkan kedaulatan pangan kita.
Untung Jaya