Selama ini pengusaha lebih memilih bisnis penggemukan sapi ketimbang pembibitan sapi. Alasannya, putaran uang jauh lebih cepat berjalan di sektor penggemukan. Namun, kalau semua pebisnis hanya tertarik pada penggemukan, akhirnya mereka akan menghadapi kendala kelangkaan pasokan sapi bakalan yang hendak digemukkan.
Hal tersebut cukup merisaukan Dr. Ir. I Wayan Alit Artha W., M.Si, peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Karena itu, ia mendorong Nengah Suarsana, SH, Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Somya Pertiwi juga anggotanya untuk melakukan aktivitas pembibitan. “Betul, usaha breeding lama. Tapi itu kalau hanya berhenti sampai di sana. Kalau saya hitung-hitung, bukan hanya dapat untung, tapi malah bisa cukup banyak,” ungkap Wayan Alit mantap.
Menguntungkan?
Untung tidaknya usaha pembibitan sapi, menurut Wayan Alit, tergantung sistemnya. “Kalau pakan harus dari rumput yang disabit, punya 3—4 ekor sudah kewalahan. Tapi kalau dengan sistem begini (plus pengolahan limbah, Red.) 10—15 ekor nggak ada masalah. Kumpulkan saja limbah pertanian,” ucap representatif PT Lembah Hijau Multifarm wilayah Bali ini.
Biaya pakan dapat ditekan dengan memanfaatkan limbah pertanian di sekitar P4S Somya Pertiwi yang termasuk kawasan Tabanan. Kelompok yang berjumlah 30 orang ini juga melakukan usaha budidaya padi lokal organik. Dari sawahnya yang seluas 2 ha, Nengah Suarsana, memperoleh sekam. Sekam ini bersama bubuk sabut kelapa (coco peat) yang juga mudah didapat, difermentasikan menjadi pakan sapi. Perbandingannya 50% : 50%.
Dengan jatah pakan 2% dari bobot badan, sapi butuh pakan 6—7 kg/hari. Harga pakan sederhana ini hanya Rp500,00—Rp600,00/kg. Padahal kalau sapi diberi jatah pakan komplet buatan pabrik, harganya berkisar Rp1.100,00—Rp1.200,00/kg.
Lebih jauh ia menerangkan, usaha pembibitan bisa dibilang tidak menempatkan pertumbuhan bobot badan harian (average daily gain-ADG) yang tinggi sebagai prioritas utama. Namun bisnis pembibitan bertujuan menghasilkan anak sapi satu ekor per tahun. Anak sapi ini dipelihara sampai 5—6 bulan kemudian dijual. Saat AGRINA berkunjung ke Tabanan bulan lalu, pasaran bibit sapi sebesar itu mencapai Rp2,4 juta/ekor.
Yang juga penting, pembibit sapi harus mau mengolah kotoran sapinya menjadi kompos. Seekor sapi betina menghasilkan 30—40 kg kotoran basah. Bila kita hitung minimal saja, 20—25 kg basah, kalau diolah menghasilkan 4 kg kompos/hari. Bila harga jualnya Rp400,00/kg, pembibit memperoleh tambahan Rp1.600,00/hari/ekor. Ini bisa untuk menyokong pengeluaran pakan.
Skala 50—100 ekor
Berdasarkan hitungan Wayan Alit, kalau pembibit ingin menjual anak sapi seminggu sekali, ia perlu memelihara 50 ekor sapi betina. Untuk modal awal dibutuhkan sapi siap kawin yang pasarannya mencapai Rp3,5 juta—Rp4 juta/ekor. Sapi ini kemudian dikawinkan dan akan bunting selama 9 bulan. Saat umur 2—3 bulan, anak sapi disapih dari induk dan dipindahkan ke pembesaran bibit. Sementara itu sang induk siap dikawinkan kembali.
Kalau pun anak sapi itu akan dijual, nilainya Rp1,8 juta—Rp2 juta/tahun atau Rp100.000,00—Rp150.000,00/bulan. Apabila pembibit memilik 50 ekor betina, maka pendapatannya per bulan Rp5 juta. “Itu baru dari anak sapi. Belum lagi pemasukan dari komposnya. Apabila seekor menghasilkan 4 kg, akan didapat 200 kg dikalikan Rp400,00,” jelas Wayan Alit. Dari kompos, pembibit memperoleh Rp2,4 juta/bulan. Jadi, pendapatannya per bulan mencapai Rp7,4 juta.
Peni Sari Palupi