Apakah hal itu terkait kebijakan revitalisasi perkebunan?
Ya. Revitalisasi berasal dari akar kata “vital” yang memiliki makna “sangat penting”. Salah satu kata bentukannya adalah “vitalitas” yang bermakna “daya hidup”. Dengan demikian, makna pertama dari “revitalisasi” berarti menempatkan kembali perkebunan sebagai sektor pembangunan yang penting, yang seolah sedang terabaikan. Makna kedua berarti ingin mengembalikan kinerja perkebunan ke tingkat semula atau lebih tinggi, yang saat ini mengalami keterpurukan atau setidaknya menurun.
Kalau revitalisasi perkebunan kita maknai “menjadikannya penting kembali” menurut hemat saya kurang tepat. Bukankah dari dulu sampai sekarang dan ke depan, subsektor perkebunan selalu dipandang penting oleh semua pihak, termasuk pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya sumberdaya yang dialokasikan pemerintah selama ini untuk membangun perkebunan, tercermin dalam berbagai skim pembiayaan dan berbagai pola pengembangan. Terakhir, pemerintah dan DPR telah mengundangkan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan sebagai puncak pengakuan secara legal bahwa perkebunan sangat penting di republik ini.
Jika revitalisasi kita maknai mengembalikan “daya hidup” atau kinerja perkebunan yang terpuruk ke tingkat semula atau lebih tinggi, menurut saya juga tidak tepat benar. Sampai 2004, sebagian besar komoditas penting mengalami peningkatan signifikan. Saat krisis melanda perekonomian nasional pada 1998—1999, subsektor perkebunan tumbuh 0,98%. Pada kurun waktu 2000—2003 tumbuh 5,02%, lebih tinggi daripada periode sebelum krisis sebesar 4,30%. Peningkatan produksi sawit dan karet masing-masing 14,12% dan 16,43%. Tebu yang sebelum krisis tumbuh negatif (-2,14%), telah tumbuh menjadi 7,43%. Peningkatan luas areal dan produksi tersebut juga dibarengi kemampuan daya tampung tenaga kerja.
Jadi revitalisasi perkebunan tidak perlu?
Bukan merevitalisasi karena terjadi keterpurukan, tetapi upaya lebih meningkatkan kinerja atau vitalitas subsektor perkebunan sekaligus mempertahankannya, menjamin kemanfaatannya bagi petani di semua daerah. Mungkin dalam beberapa aspek memang diperlukan revitalisasi, misalnya dalam aspek kebijakan permodalan, promosi, dan insentif.
Dalam banyak kasus, peningkatan produktivitas karena penerapan teknologi pemupukan dan varietas unggul misalnya, dapat menyebabkan kelebihan pasokan. Di sisi lain, industri olahannya relatif belum berkembang karena masih banyak pengusaha kita yang lebih senang melakukan ekspor produk bahan mentah seperti kopi, kakao, jambu mete atau olahan primer misalnya karet, minyak kasar sawit, dan kelapa. Banyak keluhan bahwa hal itu terjadi karena tidak adanya kebijakan insentif atau kebijakan yang ada justru disinsentif seperti pajak ekspor dan PPN.
Persoalan apa yang mendasar pada pembangunan perkebunan kita?
Gejala yang tampak antara lain, pendapatan petani rendah, produktivitas rendah, dan nilai tambah yang rendah, kemudian berakibat daya saing yang rendah adalah resultan dari kerja sistem tersebut. Oleh karena itu penerapan secara benar dan konsisten pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan, berkerakyatan, berdaya saing, dan lebih terdesentralistis adalah merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan vitalitas perkebunan kita ke depan.
Diperlukan waktu dan kerja keras untuk mengomunikasikan dan membuat berbagai pihak mengerti dan meyakini keandalan pendekatan ini. Mengingat membangun perkebunan adalah suatu program berjangka panjang, maka sebaiknya apapun konsep dan pendekatan yang akan digunakan, konsistensi penerapannya sangat menentukan keberhasilannya. Di sinilah titik krusial sebenarnya, karena pengalaman selama ini mengajarkan bahwa kita terlalu sering bongkar-pasang konsepsi dan pendekatan pembangunan yang dijalankan.
Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan?
Pertama, pelajari dengan cermat UU No. 18 tahun 2004, lalu segera menjabarkannya ke dalam PP dan petunjuk teknis serta kebijakan operasionalnya, agar ada kesamaan pijakan (platform) dalam mengembangkan perkebunan ke depan. Selanjutnya identifikasi dan petakan subsistem-subsistem serta aspek-aspek apa saja akan dibenahi sesuai urutan prioritasnya. Lalu lakukan sosialisasi, komunikasi, dan promosi secara intensif dan ekstensif ke semua pemangku kepentingan.
Kedua, masalah perkebunan tidak cukup hanya diselesaikan pada tingkat on farm. Tidak banyak yang bisa dilakukan di on farm jika di bagian off farm tidak bergerak maju. Sebaik apapun produktivitas dan mutu produk petani, tidak akan mendapatkan nilai tambah yang memadai jika aksesibilitasnya terbatas dan tidak ada industri pengolahan yang menampung atau industri yang ada hanya industri primer.
Ketiga, susun rencana strategis makro serta road map dan program yang selaras antarsemua subsistem, mulai dari penunjang, hulu, hilir, dan pemasarannya sehingga tidak terjadi masing-masing jalan sendiri. Keempat, implementasikan kebijakan dan program tersebut secara konsisten dalam kurun waktu yang cukup (misalnya 10 tahun), tentu dengan evaluasi dan penajaman setiap tahun. Terakhir, pejabat Dirjen Perkebunan perlu diisi, jangan sukar dicari terus.
Untung Jaya