Setelah setahun berlalu, apa hasil RPPK?
Justru berbagai pertanyaan mengusik saya. Bagaimana nasib revitalisasi tersebut? Seperti apa program implementasinya dan bagaimana prosesnya? Bagaimana akuntabilitas pelaksanaannya? Dapatkah ditunjukkan secara jelas mana yang merupakan program rutin dan implementasi revitalisasi? Apa yang sedang dan telah dilakukan sebagai implementasi gagasan baru tersebut? Apakah acara tersebut memang sungguh-sunggguh didorong keinginan mempercepat pembangunan di sektor pertanian sebagai salah satu sokoguru ekonomi nasional, atau hanya pernyataan politis?
Petani mungkin sulit merasakan perbedaan paradigma Sistem dan Usaha Agribisnis dangan paradigma (kalau ada) yang dianut dalam rangka revitalisasi. Bukankah kelangkaan pupuk masih saja terjadi dan harga gabah tetap anjlok saat panen raya? Bukankah prasarana dan infrastruktur sesudah revitalisasi sama saja, bahkan di sana-sini lebih buruk, misalnya irigasi dan jalan produksi di pedesaan? Masih banyak pertanyaan lain yang ada di benak petani.
Mengapa justru berbagai pertanyaan yang timbul?
Peranan sektor pertanian dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja masih sangat besar, serta terbukti lebih tahan menghadapi pukulan krisis multidimensi sejak 1997. Ironisnya, penduduk miskin terbesar justru berada dalam sektor pertanian. Jika kita menengok jauh ke belakang, zaman sebelum Perang Dunia II dan fase awal perjalanan republik ini, kita merupakan eksportir utama beberapa komoditas seperti gula, lada, kopra, karet, teh, dan kopi.
Dalam berbagai keterbatasan, penataan ulang pembangunan sektor pertanian baru dimulai lagi pada 2000 melalui paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Hasilnya mulai terlihat pada 2003—2004 yang ditandai dengan pulihnya pertumbuhan sektor pertanian bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Ekspor produk perkebunan meningkat, impor beras berkurang secara drastis hingga tercapai swasembada beras pada 2004, meningkatnya produksi gula dan lain-lain. Meskipun kebijakan tersebut secara formal tidak diteruskan, dampak dan kebijakan itu masih berlangsung hingga 2005 dan kemungkinan hingga 2006 (walaupun sudah makin mengecil).
Terdapat indikasi kuat, paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis ditinggalkan, atau tidak dilaksanakan secara utuh, tetapi belum ada konsep atau paradigma lain untuk menggantikannya. Bila paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis diteruskan pun, tetap diperlukan kebijakan yang lebih kuat dan komprehensif serta waktu sekurang-kurangnya 10 tahun lagi bagi penerapannya secara konsisten. Dalam konteks ini secara konsepsional dan politik, pencanangan RPPK awal Mei 2005 lalu sangat penting dan revelan.
Bagaimana antara konsepsi dan implementasi RPPK?
RPPK dapat dipandang sebagai pencerminan politik pembangunan nasional yang akan menempatkan sektor pertanian sebagai ujung tombak. Secara filosofis, hal ini sangat baik dan patut didukung semua pihak. Tapi sejauh yang kita tangkap, saat pencanangan RPPK sebenarnya pemerintah belum punya konsep jelas dan program yang konkret. Dalam konteks politik, hal ini wajar-wajar saja dan jamak karena yang penting momentumnya, sedangkan wujudnya dapat diselesaikan kemudian.
Sejak dicanangkan, tidak banyak informasi yang kita peroleh tentang penerjemahan RPPK dalam konteks pembangunan nasional maupun pembangunan sektor pertanian, khususnya Deptan. Sebagai suatu paradigma, semestinya diperlukan sosialisasi intensif dan ekstensif secara terus menerus agar semua pihak memahami dan mengikutinya. Masyarakat berhak mendapat penjelasan dan informasi wujud program implementasinya agar dapat ikut mengawal pelaksanaannya. Akan tetapi sejak selesai pencanangan, gaungnya semakin sayup.
Saya khawatir, pemerintah khususnya Deptan, belum memiliki dokumen rinci penjabaran RPPK tersebut ke dalam program operasional. Jangan-jangan program pembangunan pertanian yang dijalankan sekarang hanya sekadar tambal sulam terhadap program kabinet sebelumnya. Hal ini sangat riskan karena akan melahirkan suatu program berbasis paradigma “gado-gado” sehingga membingungkan para pelaku di lapangan.
Apa akibatnya dan bagaimana kelanjutan dari RPPK?
Pertama, tidak adanya arahan yang jelas bagi aparat pelaksana, khususnya di daerah yang menjadi ujung tombak pembangunan pertanian. Kedua, hilangnya momentum dan waktu sekurang-kurangnya hingga 2007 karena program 2007 sudah dalam proses. Ketiga, menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Keempat, memperlambat pengentasan kemiskinan. Kelima, menghambat arus investasi ke sektor pertanian.
Program revitalisasi yang diharapkan dapat mengubah wajah pertanian kita dalam jangka waktu relatif singkat itu tampaknya belum menjadi landasan program pertanian, apalagi jadi arahan pembangunan nasional. Masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara konsep filosofis revitalisasi pembangunan pertanian dengan implementasi di lapangan. Perlu dikaji lebih jauh apakah pemerintah bersungguh-sungguh akan menjalankan program revitalisasi atau hanya sekadar untuk konsumsi politik.
Untung Jaya
(Miliki Artikel-Artikel lain di Edisi XXIX)