Selasa, 20 Juni 2006

Indonesia Mampu Atasi Kerawanan Pangan

Bagaimana sebenarnya kondisi pangan dunia?

Kofi Annan, Sekjen PBB, pertengahan tahun lalu menyatakan bahwa 25.000 orang mati setiap hari akibat kelaparan dan kemiskinan. Kelaparan bukan hanya monopoli negara-negara miskin dan berkembang. Di negara adidaya Amerika Serikat pun sekitar 38 juta orang menderita kelaparan. Maka kemiskinan dan kelaparan merupakan musuh bersama dunia yang harus dilawan.

Konferensi Tingkat Tinggi FAO di Roma tahun 1996 menyepakati mengurangi kelaparan dari 840 juta orang menjadi separuhnya pada 2015. Sampai kini hanya 25 juta orang yang dapat dibebaskan dari kelaparan, maka target 2015 diyakini tidak tercapai.

Dalam catatan FAO, penduduk Afrika, Asia Selatan, China, dan Amerika Latin termasuk kategori yang mengalami rawan pangan. Negara-negara tersebut umumnya mengalami lilitan hutang yang besar dari lembaga-lembaga donor. Maka sangat manusiawi jika ada kebijakan pengampunan utang bagi negara-negara miskin. Kebijakan internal negara-negara berkembang juga tidak diarahkan agar masyarakat bebas dari kemiskinan dan kelaparan.

 

Kebijakan apa yang dimaksud?

Kebijakan yang tidak mendorong kemajuan sektor pertanian. Sektor pertanian telah terbukti sangat efektif mengatasi kemiskinan dan kelaparan.  Umumnya di negara berkembang sektor pertanian tidak mendapat insentif ekonomi yang memadai. Input produksi yang mahal, pasar terfragmentasi, dan harga produk pertanian yang tidak merangsang peningkatan produktivitas. Sedangkan di negara-negara maju sarat proteksi berupa subsidi dan tarif impor yang tinggi.

Banyak pula negara berkembang yang terlalu cepat meliberalisasikan sektor pangannya mengikuti paradigma pasar bebas. Indonesia pun tidak lepas dari persoalan itu. Di masa krisis awal 1998, dengan intervensi kuat dari IMF, kita harus meliberalisasi sektor pangan. Tarif impor pangan dipatok maksimum 5%.   

 

Apa masalah utama penyebab kerawanan pangan?

Kerawanan pangan terjadi karena kurangnya ketersediaan pangan yang berhubungan dengan kapasitas produksi di daerah itu. Kekurangan ini, dalam situasi mendesak bisa ditutupi oleh impor. Tapi jangan terlalu mudah untuk mengimpor. Produksi nasional harus diupayakan untuk mengimbangi laju konsumsi. Ini tentunya memerlukan kebijakan yang memberikan insentif ekonomi yang cukup bagi petani.

 

Masalah lain, sulit didistribusikan dengan harga terjangkau sehingga pangan tidak akan merata diakses oleh keluarga. Aspek distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan dan asupan gizi bagi anggota keluarga. NTB misalnya, selalu mengalami surplus beras setiap tahunnya namun soal rawan pangan juga terjadi.

Faktor lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang ada sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi kebutuhan. Namun sebagian masyarakat kita masih kurang kalori dan protein karena daya beli yang rendah. Kita memahami bahwa daya beli berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 16,67% pada 2004. Ada indikasi tahun ini jumlahnya meningkat. Jika bangsa ini mau bebas dari kelaparan, kemiskinan harus diberantas.

Upaya mengatasi masalah dengan memberikan bantuan, bukan solusi jangka panjang. Proses pemberdayaan untuk memandirikan masyarakat agar mereka mampu mengatasi persoalannya harus menjadi paradigma di masa depan.

 

Apa yang perlu dilakukan ke depan?

 

Pertama, persepsi masyarakat bahwa pangan itu hanya beras perlu dikoreksi. Budaya lokal yang sejak dahulu kala mengonsumsi non-beras patut didorong karena justru akan mendiversifikasi pola makannya. Kedua, masalah kelancaran distribusi mesti diatasi. Masalah klasik adalah infrastruktur transportasi, seperti kejadian di Yahukimo (Papua). Tampaknya anggaran pemerintah 5 tahun ke depan perlu diarahkan membangun untuk  infrastruktur pedesaan. Ini akan sangat membantu akses pangan secara fisik, dan mencegah disparitas harga pangan yang lebar antar daerah.


Ketiga, masalah konsumsi yang berkaitan dengan kemiskinan. Akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat. Pembangunan pertanian dan pedesaan menurut pengalaman Indonesia sangat efektif untuk menyediakan lapangan kerja. Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan daya beli pangan dan non-pangan pedesaan. Sektor industri dan jasa di pedesaan pun secara gradual tercipta karena pasar sudah ada.

Keempat, pendidikan pedesaan khususnya bagi anak-anak perempuan. Menurut penelitian FAO, generasi “melek” aksara menjadi petani dan pekerja yang lebih produktif. Anak-anak perempuan akan menjadi ibu yang lebih baik dalam mengasuh anak-anaknya dan mengatur gizi keluarga. Dan kelima, koordinasi kebijakan dan implementasi sektoral dan vertikal. Masalah peningkatan ketahanan pangan bangsa menyangkut multisektor dan tingkat pemerintahan mulai dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu, Dewan Ketahanan Pangan mulai dari pusat, provinsi, sampai ke kabupaten/kota yang telah dibentuk pada pemerintahan yang lalu perlu direvitalisasi. Presiden dan/atau Wakil Presiden perlu memimpin kelembagaan ini secara langsung.

Untung Jaya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain