Isu apa yang dimaksud?
Paling sedikit ada tiga isu pokok. Pertama, Perum Bulog cenderung untuk mengimpor dibandingkan membeli padi dan beras dari dalam negeri untuk cadangannya. Kedua, Perum Bulog gagal menstabilkan harga pasar. Dulu gagal menopang harga pembelian pemerintah (HPP), belakangan ini gagal mencegah membubungnya harga di tingkat konsumen. Dan ketiga, amburadulnya distribusi raskin sampai ke keluarga-keluarga yang pantas mendapatkannya.
Namun perlu disadari, Bulog hanyalah salah satu stakeholder dalam suatu sistem yang besar. Dan tampaknya banyak pihak yang belum menyadari secara penuh makna dari perubahan status Bulog. Sejak dikeluarkannya PP No. 7 tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog, Bulog berubah dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) di bawah pengelolaan Kementerian Negara BUMN. Perubahan ini sangatlah fundamental karena mengubah status Bulog dari salah satu policy maker dan implementer dalam pangan dan perberasan, kini hanya sebagai implementer.
Jadi impor beras bukan kebijakan Bulog
Bulog hanya sebagai pelaksana. Dia melaksanakan impor jika diinstruksikan oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan (DKP) melalui departemen teknis yang berhubungan dengan impor bahan pangan ini. Memang dari dulu Bulog cenderung mengimpor untuk mengisi cadangan berasnya. Kecenderungan ini bisa dimengerti karena pekerjaannya lebih mudah, lebih cepat, dan barangkali lebih menguntungkan buat institusi ini.
Pada 2004, Bulog sama sekali tidak diizinkan untuk mengimpor. Bulog mematuhinya. Apalagi harga padi dan beras dalam negeri sejak 2003 selalu turun dan rendah. Hal ini terjadi karena produksi beras kita sejak 2000 meningkat terus. Turunnya harga sepanjang tahun 2000 sebagai indikator penting bahwa telah terjadi surplus beras yang berasal dari produksi sendiri dan impor.
Secara teknis pada 2004 Indonesia telah mencapai swasembada beras lagi. Namun 2005 sedikit berubah, angka ramalan pertama BPS memprediksikan produksi padi tidak lagi meningkat bahkan menurun. Di sisi lain debat tentang perlu tidaknya impor beras diikuti kenaikan harga beras sejak pertengahan 2005. Bahkan pada akhir 2005 – awal 2006 kenaikan harga ini semakin mengkhawatirkan dengan datangnya musim paceklik. Sebenarnya kenaikan harga beras itu lebih dipicu oleh kenaikan harga BBM dan penetapan baru HPP yang berlaku mulai 1 Januari 2006, Rp3.550,00/kg beras. Kenaikan harga ini menjadi justifikasi yang kuat buat Bulog untuk mengusulkan impor beras.
Bagaimana dengan kegagalan menstabilkan harga di tingkat petani dan konsumen?
Salah satu penyebab kegagalan itu adalah tidak adanya cadangan Bulog yang cukup untuk melakukan intervensi yang memadai. Barangkali juga ada soal kemampuan mengelola cadangan yang ada agar benar-benar dapat mempengaruhi pasar. Tapi yang lebih parah lagi, kita tidak mempunyai teori stabilisasi itu sendiri.
Pada 2004—2005 kasus harga padi di bawah HPP sangat sedikit. Hal itu menjadi salah satu sebab Bulog tidak mampu menambah stok dari dalam negeri karena ia tidak diizinkan membeli di atas HPP. Jadi, kekakuan pemerintah dalam penentuan harga menjadi salah satu hambatan Bulog untuk bisa bekerja secara efektif dan efisien. Jadi agar Bulog bisa efektif untuk stabilisasi harga, dibutuhkan kebijakan HPP yang lebih fleksibel, dan Bulog diizinkan untuk membeli di atas HPP jika stoknya kurang dan harus dibiayai APBN.
Dan kenapa distribusi raskin bisa amburadul?
Lagi-lagi Bulog hanya sebagai pelaksana. Dan karena dia menggunakan dana APBN, maka dia harus mengikuti aturan-aturan APBN. Semua bujet harus dilaporkan pada akhir November. Jadi raskin Desember digabungkan dengan November, sehingga Desember tidak ada penyaluran, demikian juga Januari. Akibatnya, permintaan beras oleh kelompok miskin itu meningkat. Ini juga salah satu alasan harga beras pada Januari itu naik.
Bagaimana jalan keluarnya?
Tidak semua masalah itu dapat ditimpakan pada Perum Bulog. Bulog harus beroperasi dalam kerangka kebijakan dan program DKP. Tapi kenyataannya dewan ini belum menunjukkan adanya suatu kebijakan nasional yang komprehensif tentang pangan, perberasan khususnya. Dengan demikian Bulog terpaksa beroperasi dalam kabut ketidakjelasan. Seharusnya Bulog proaktif membuat kejelasan ini. Barangkali Bulog masih terlalu sibuk dalam proses transisinya. Memang perlu diberi acungan jempol bahwa proses itu berjalan lancar, cepat, dan tanpa ada gejolak yang berarti.
Bila posisi Bulog sekarang ini tidak kunjung disadari, niscaya Bulog akan disalahkan terus. Sedangkan dia semata-mata pelaksana yang menjalankan kebijakan dari DKP. Pengalaman menunjukkan bahwa Bulog itu pernah bisa dilarang untuk impor beras dan mematuhi larangan itu karena justifikasi impor tidak ada. Intinya, Bulog mempunyai justifikasi untuk impor yang kuat apabila produksi menurun dan harga merangkak naik. Jika produksi beras 2005 dapat ditingkatkan minimal sepadan dengan pertambahan penduduk, maka harga tidak akan naik sehingga tidak ada justifikasi kuat untuk melaksanakan impor beras.
Untung Jaya