Dalam dua dekade terakhir, khususnya lima tahun terakhir perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang sangat cepat. Pada 1979 luas areal perkebunan sawit di Indonesia hanya 260.939 ha meningkat menjadi 5.291.075 ha pada 2004. Berarti telah terjadi peningkatan areal sebesar 20,28 kali lipat dalam waktu 25 tahun. Dalam periode yang sama, produksi minyak sawit telah meningkat sebanyak 16,08 kali lipat dari 641.240 ton menjadi 10.308.075 ton.
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini sejak akhir abad lalu ternyata tidak mengurangi kecepatan pertumbuhan areal pertanaman kelapa sawit ini. Jika pada 1996 areal perkebunan sawit Indonesia masih seluas 2.249.514 ha, ternyata telah mencapai luasan 5.291.075 ha pada 2004. Hal ini berarti bahwa prestasi perluasan areal selama 20 tahun sebelum krisis telah dicapai dalam waktu yang jauh lebih singkat yakni sekitar 6 tahun.
Perkembangan lain yang perlu dicatat adalah wilayah pertanaman. Pada 1979 areal pertanaman hanya di dua provinsi, yakni Sumatera Utara dan Aceh maka pada 2004 telah menyebar hampir ke seluruh provinsi di nusantara dengan Provinsi Riau menjadi daerah perkebunan kelapa sawit baru yang paling luas dengan areal sekitar 1,5 juta ha. Oleh karena itu, dapat diprediksi Indonesia akan segera menjadi produsen terbesar sawit dunia.
Bila dilihat dari sisi produktivitas justru terjadi penurunan?
Benar, perkembangan yang sangat cepat di bidang luas areal malah diikuti dengan penurunan produktivitas minyak sawit per hektar. Barangkali dampak krisis ekonomi dan kebijakan pajak ekspor tambahan pada masa permulaan krisis ekonomi lalu mengakibatkan turunnya produktivitas per hektar yang sangat nyata. Masa sebelum krisis ekonomi 1996—1997, produktivitas rata-rata minyak sawit sebesar 2,27 ton/ha dan turun menjadi 1,66 ton/ha pada 1998—1999. Namun efek El Nino juga harus dipertimbangkan sebagai penyebab penurunan produktivitas pada periode ini.
Jadi peningkatan produktivitas di kebun dan di pengolahan hasil merupakan tantangan utama agribisnis sawit Indonesia masa kini dan yang akan datang.
Apakah kita sudah siap menjadi nomor satu?
Selama ini kita selalu nomor dua baik dari segi produksi maupun dari segi ekspor. Saat ini kita sudah kuat di bidang on farm, dapat dikatakan berimbang dengan Malaysia. Tapi bidang down stream (industri hilir), Indonesia ketinggalan jauh sekali dibandingkan Malaysia sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar saat ini. Jadi tugas kita pada masa yang akan datang untuk memperkuat down stream supaya mendapatkan nilai tambah lebih besar.
Selama ini kita hanya mengikuti Malaysia. Malaysia yang kerja keras kita mengambil manfaat saja dari situ. Begitu menjadi nomor satu, tidak bisa lagi menjadi pengikut, tapi harus memimpin. Misalnya, kampanye minyak sawit untuk mendapatkan pasar, karena di pasar internasional minyak sawit mendapat tantangan dari minyak kedelai.
Apa persiapan yang perlu dilakukan Indonesia?
Begitu menjadi produsen dan eksportir utama, maka kita harus ambil alih semua kerja keras Malaysia selama ini. Bila tidak kita lakukan maka nggak bisa maju. Untuk ini perlu persiapan-persiapan di dalam negeri.
Pertama, adanya kebijakan nasional yang komprehensif dan konsisten satu sama lain di bidang sistem agribisnis sawit nasional. Selama ini kita hanya punya kebijakan di bidang on farm. Sedangkan industri hilirnya tidak ada kebijakan yang jelas. Sekalipun ada, kebijakannya sering tidak terkait dengan kepentingan on farm bahkan seringkali merugikan on farm. Misalnya, pajak ekspor sawit.
Kebijakan komprehensif merupakan suatu keharusan. Cegah kebijakan sepotong-potong, apalagi yang kontradiktif satu sama lain. Untuk perumusan kebijakan ini banyak instansi yang harus terlibat, yakni Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Minyak, dan lainnya. Kebijakan ini sepadan dengan kebijakan perberasan atau pergulaan nasional yang kita sudah punya. Ini penting bagi kita karena saat ini ekspor sawit sudah sekitar US$3 miliar
Kedua, untuk merumuskan, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi kebijakan nasional yang komprehensif, Kebijakan Perkelapasawitan Nasional, perlu dibentuk dewan sawit nasional. Dewan ini merupakan kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, dan petani, seperti dewan gula yang sudah menunjukkan hasilnya yang nyata. Dewan ini nantinya akan merumuskan kebijakan, melakukan kampanye internasional untuk pasar, mengembangkan sumber daya manusia, dan mensponsori kegiatan-kegiatan inovatif. Untuk ini dewan harus mampu memobilisasi dana yang bersumber dari pemerintah dan dunia usaha menirukan sumber dana pada gula. Hal ini sudah dimungkinkan dengan adanya UU Perkebunan yang baru.
Jadi, mulai kini lakukan persiapan sebaik-baiknya sehingga begitu menjadi nomor satu tidak terjadi stagnasi, tapi terus melaju lebih cepat lagi.
Untung Jaya