Jumat, 9 Juni 2006

HATI-HATI PRETELI KEBIJAKAN GULA

Kenapa produksi gula kita sampai pada titik sangat rendah?

Sejak masa kemerdekaan, industri gula nasional kita itu bergejolak dan trend-nya menurun terus. Apalagi sejak krisis ekonomi, kita terpaksa tunduk kepada IMF sehingga tarif dan subsidi dihilangkan. Sebelum krisis pun industri gula nasional semakin menurun produksinya. Penyebabnya, setelah nasionalisasi dari tangan penjajah, belum pernah mampu mendapatkan sistem manajemen yang cocok. Dan diperparah lagi dengan adanya Inpres pergulaan yang mengizinkan petani mengelola lahannya sendiri. Sedangkan sebelumnya berlaku sistem pabrik gula menyewa lahan pada petani. Selain itu, sejak Perang Dunia II, industri gula sangat diproteksi dan disubsidi di negara-negara lain, seperti Eropa dan Amerika. Oleh karena itu harga gula internasional turun terus. Akibatnya, kita dibanjiri gula impor. Wajar saja bila kita tercatat sebagai importir gula terbesar nomor dua dunia.

 

Bagaimana cara keluar dari kemelut gula nasional itu?

Kita rumuskan kebijakan pergulaan nasional yang komprehensif, yaitu harus mampu menanggulangi secara simultan perdagangan internasional yang bebas dan tidak adil serta memperbaiki produktivitas industri gula nasional. Kebijakan pokoknya, yaitu proteksi sekaligus promosi. Dan diproyeksikan kita akan swasembada gula pada 2007, peningkatan produksi yang harus dilakukan 100%, dari 1,5 juta ton menjadi 3 juta ton.

 

Apa proteksi yang dilakukan?

Pertama, tarif. Proteksi tarif awalnya banyak menolong tapi akhirnya para penyelundup makin pintar, maka dia bikinlah “separuh nyolong”, mengimpor 10 dilaporkan 5, sehingga setengahnya bebas tarif. Jeleknya lagi, kita nggak tahu banyaknya gula yang masuk. Oleh karena itu kita sampai pada kesimpulan tidak cukup tarif. Kedua, larangan impor pada musim giling supaya harga gula di tingkat petani tidak turun. Agar proteksi ini berjalan, importir harus bisa dikontrol. Bersama Ibu Rini, Menperindag kala itu, diatur dari importir bebas menjadi importir terbatas, yaitu pabrik gula yang bekerjasama dengan petani, yaitu PTPN 9, 10, 11, dan RNI.

Tarif dan larangan impor itu membuat harga internasional tinggi tapi belum tentu pada tingkat pabrik. Oleh karenanya, dibuat juga sistem dana talangan. Dana talangan itu bukan disiapkan oleh pemerintah tapi disiapkan oleh pengusaha yang bekerjasama dengan organisasi petani. Pengusaha berjanji akan membeli melalui lelang, minimum dengan harga kesepakatan. Bila harga di atasnya, maka selisih margin dibagi antara pengusaha dan petani. Ini merupakan institusi baru yang belum pernah ada,  murni hasil reformasi dengan semangat tolong menolong.

 

Setelah proteksi, promosi apa yang diprogramkan?

Promosi bertujuan meningkatkan produktivitas untuk menekan harga pokok dan meningkatkan daya saing. Promosi dilakukan dengan program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional. Pertama, membongkar ratoon secara bertahap karena kala itu ada ratoon yang sudah sampai 15 kali sehingga tebunya hanya sebesar jari kelingking. Idealnya ratoon digunakan 3—4 kali. Kedua, menggunakan bibit unggul baru. Dan ketiga, memperbaiki pengairan.

Untuk melaksanakan program tersebut, pemerintah menyediakan dana bantuan yang dibagikan kepada petani secara bergulir. Selain itu, juga disediakan kredit dalam bentuk Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang bunganya disubsidi pemerintah dan subsidi harga pupuk. Dengan begitu diharapkan produktivitas, produksi, dan rendemen gula naik. Hasilnya, memang naik, selang empat tahun kebijakan itu diterapkan produksi gula nasional meningkat 0,5 juta ton menjadi 2 juta ton pada 2004. Padahal dalam periode itu terjadi El Nino ringan pada 2001 dan 2003.

 

Apakah kebijakan proteksi dan promosi itu masih relevan sekarang?

Memang ada perubahan asumsi. Sewaktu kebijakan itu dirumuskan, salah satu asumsi dasarnya harga internasional lebih rendah daripada dalam negeri. Sekarang keadaannya lain. Tahun ini harga internasional sudah naik dan cenderung naik terus. Hal itu disebabkan naiknya harga BBM dan adanya tekanan pengurangan subsidi gula di Eropa oleh WTO. Bila kondisinya begitu, proteksi barangkali tidak terlalu krusial, tapi kita harus hati-hati, siapa tahu ini tidak berlangsung lama. Oleh karena itu, jangan buru-buru mempreteli proteksi paling tidak sampai 2007.

 

Harga gula internasional dan dalam negeri yang tinggi membuat petani dan pabrik gula ibarat mendapatkan durian runtuh. Durian runtuh itu harus digunakan secara bijaksana, sebab belum tentu kondisi ini berlangsung lama. Gunakanlah itu untuk meningkatkan produktivitas agar meningkatkan daya saing. Jika nanti harga turun lagi, kita sudah mampu bersaing dengan siapapun karena produktivitasnya sudah tinggi. Dan pabrik gula harus memanfaatkan keuntungan yang ada ini untuk merehabilitasi pabriknya yang sudah diundur karena tidak ada duit. Dengan demikian, perbaikan di on farm juga diikuti perbaikan di pabrik sehingga rendemen akan naik lagi. Biaya produksi akan turun sehingga membuat kita kuat bersaing dalam perdagangan internasional.

Untung Jaya

 

(Miliki artikel-artikel yang lain di Edisi XIV)

     

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain