“Agustus 2000, persis puncaknya krisis, sering saya katakan banyak sekali ‘kebakaran’ yang harus segera dipadamkan supaya kita bisa meletakkan pondasi untuk membangun. Salah satu kebakaran itu adalah mengenai chicken leg quarter,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.
Mengapa persoalan paha ayam dianggap salah satu yang penting sehingga perlu segera ditangani bagai sebuah kebakaran?
Sebelum paha ayam utuh (chicken leg quarter/CLQ) masuk pada 2000, sebenarnya industri ayam kita sudah hampir collapse akibat krisis ekonomi dan keuangan sejak 1997. Barangkali tinggal 30% dari kapasitas produksi. Dalam kondisi begitu, akan diadu dengan CLQ impor yang harganya sangat murah. Jika CLQ benar-benar masuk, maka hilanglah sejarah industri ternak ayam kita yang telah menjadi industri modern dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian kita.
Karena itu kita putuskan untuk melarang impor CLQ. Melarang itu mudah tapi mempertahankan untuk melarang tidaklah mudah. Kita harus berhadapan dengan importir di Indonesia serta eksportir dan pejabat negara asal CLQ. Kita tahu itu tidak mudah, tapi kita bertekad harus menolaknya. Kita harus memberi argumentasi dan diplomasi yang canggih agar penolakan itu tidak memberikan dampak yang lebih luas dalam hubunga ekonomi dan politik dengan negera pengekspor.
Apa argumentasi yang kita gunakan pada saat itu?
Argumentasi pertama adalah unfair trade. Kita mempertanyakan kenapa bahan buangan di sana diekspor ke sini? Jika mereka mau mengekspor CLQ dan sayap ayam, kita minta mereka mau mengimpor dada ayam. Mereka mengelak dengan alasan kita tidak bisa memenuhi persyaratan teknis. Padahal saat itu, 2000—2001, kita mengekspor ayam ke luar negeri termasuk ke Jepang. Sedangkan mereka tidak bisa masuk ke Jepang. Berarti secara teknis, higienis dan persyaratan lainnya, kemampuan kita lebih baik daripada mereka.
Argumentasi kedua, persoalan halal. Saya katakan, hasil evaluasi kita sangat meragukan proses halal di sana. Itu pun disebabkan oleh pernyataan para pengusaha di negara eksportir sendiri yang mengatakan, “Berapa sertifikat halal yang kau butuhkan, saya bisa dapatkan.” Itu berarti sertifikat halal bukan suatu hal yang serius dilaksanakan di sana.
Selain itu, ayam utuh bisa dilihat sertifikasinya, tapi sulit untuk CLQ dan sayap yang sudah campur dari mana-mana. Walaupun saya nonmuslim, saya harus melindungi saudara-saudara saya yang muslim sehingga saya lebih berani dan yakin mengatakan barang tidak halal tidak bisa masuk ke Indonesia. Hal ini sesuai dengan kesepakatan di WTO. Oleh karena itu kita minta overall review terhadap proses halal di sana tapi mereka tidak mau.
Argumentasi ketiga, memanfaatkan nilai-nilai luhur mereka terhadap kemanusiaan, kemiskinan, kelaparan, dan keinginan membantu negara-negara terbelakang. Apakah yang sering mereka dengung-dengungkan itu hanya akan menjadi janji kosong? Mereka sudah mendapat minyak dan emas, sekarang mau juga paha ayam. Jadi, jangan segan-segan sekalipun harus menggunakan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang berdiplomasi untuk kepentingan kita. Kita percaya ketiga argumentasi itu sangat bagus dan kuat. Oleh karena itu kita bisa berdiplomasi dengan keyakinan kuat.
Selain itu, cara apa lagi yang dilakukan?
Secara formal itulah tiga argumentasi kita. Namun di luar formal official kita gunakan cara lain dengan memanfaatkan beda kepentingan di antara pengusaha di sana. Yang mau mengekspor CLQ hanya satu perusahaan besar, tapi dia bisa mempengaruhi pemerintahnya dan berupaya mempengaruhi pemerintah kita. Dan itu sudah berlangsung sejak lama maka kita harus melakukan hal yang sama. Di sisi lain kita juga punya banyak teman di sana dan itu harus dimanfaatkan. Hal semacam itu disebut diplomasi pintu belakang.
Apa itu diplomasi pintu belakang?
Di sana ada juga perusahaan besar yang berkepentingan untuk berkembangnya industri peternakan ayam di Indonesia. Misalnya, produsen dan eksportir grand parent stocks (GPS), jagung, kedelai, obat-obatan. Kita katakan kepada mereka, kita impor begitu besar kebutuhan peternakan dari mereka tapi dipaksa menerima CLQ. Kalau CLQ diterima, hancurlah industri perunggasan Indonesia dan tidak akan mengimpor kebutuhan peternakan lagi dari mereka. Hal itu disampaikan kepada beberapa gubernur, senator, dan pengusaha. Kita bilang, “If you want to help yourself, then you have to help us.”
Melalui diplomasi pintu belakang, kita berhasil menghubungi senator, gubernur, pengusaha, dan pihak lainnya. Kita katakan, “This is a tiny things for you but this is giant for us.” Jawab mereka, “We’ll do our best.” Selain itu, melalui organisasi gereja disampaikan juga bahwa khotbah mereka bagus-bagus, tapi beberapa pengusaha kalian memperlakukan peternak kita secara tidak adil, kenapa kalian diam saja?
Jadi intinya, sambil berhadapan secara formal dan itu harus, juga harus dengan baik masuk melalui pintu belakang. Diplomasi pintu belakang ini juga mereka bikin di sini. Jika tidak berhasil ke Menteri Perdagangan, datangi Menteri Keuangan, selanjutnya ke Wakil Presiden, Presiden, Ketua MPR, dan lainnya. Jika tidak berhasil juga, mereka organize demonstrasi. Di sisi lain di dalam negeri kita juga harus kembangkan kerjasama dan kekompakan sehingga bisa saling membantu dalam bentuk Indonesia Incorporated.
Akhirnya kita berhasil menolak impor CLQ. Paling tidak, sampai saya meninggalkan Deptan tidak ada lagi diskusi ataupun keinginan untuk memasukkan CLQ ke Indonesia. Keberhasilan itu disebabkan pertama, mereka sebagai negara besar tidak mau diminta review mengenai kehalalan oleh Indonesia. Kedua, diplomasi pintu belakang sangat menentukan sekali karena tekanannya sangat kuat.
Untung Jaya