Foto: Dok. BPS
Potensi defisit beras
Fenomena El Nino moderat yang berbarengan IOD positif saat ini memperpanjang musim kemarau. Akibatnya, musim hujan pun telat, baru datang November. Amankah produksi beras nasional?
Produksi beras di Indonesia bisa dikatakan sangat dipengaruhi fenomena anomali iklim El Nino dan juga La Nina. Beberapa kali kejadian El Nino, baik kategori lemah, moderat, maupun kuat, selalu berimbas produksi beras turun.
El Nino yang mengusir awan hujan dari langit Indonesia menyebabkan kekeringan di lahan pertanian sehingga luas tanam dan luas panen menyusut. Contoh, data Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, akibat El Nino level kuat 2015 luas panen padi berkurang 497.097 ha atau luas tanam sebesar 514.913 ha.
Produksi Bakal Turun 5%
Kekhawatiran akan terjadinya penurunan produksi padi tahun ini disuarakan Prof. Dwi Andreas Santosa, MS, Guru Besar Faperta IPB University dalam suatu webinar 20 Juni silam. Mengacu hasil citra satelit dan data World Food Program, “Dampak El Nino lemah 2006 produksi padi turun 5,8%. Lalu, 2019 juga kategori lemah, produksi padi drop 7,7%. Saya agak khawatir El Nino tahun 2023 berlanjut efeknya sampai 2024 terhadap produksi padi kita. Perkiraan saya, tahun ini produksi padi kita akan turun paling tidak 5% atau kalau disetarakan beras sekitar 1,5 juta ton,” paparnya.
Sementara itu, Pantjar Simatupang, Profesor Emeritus dan mantan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) dalam Bimtek “Strategi Menjaga Produksi Padi di Masa El Nino”, 6 September menyebut, perkiraan penurunan produksi padi 2023 sebanyak 2,01%. Angka tersebut berbasis data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu Kerangka Sampel Area (KSA) hasil amatan Juli 2023. Sementara data Kementan Amerika (USDA), lanjut dia, memproyeksikan produksi kita minus 1,16%.
“Apakah ini mutlak terjadi? Tidak! Angka negatif ini bisa berubah kalau kita sungguh-sungguh melakukan tindakan-tindakan penanganan risiko. Meskipun berdasarkan hitungan produksi padi menurun, target minimum kita adalah tidak mengalami defisit beras,” tandas Pantjar.
Pasokan Langka, Harga Terus Menguat
Lebih jauh Dwi Andreas mengatakan, penurunan produksi padi hampir pasti mengerek harga padi dan beras di lapangan. Kecuali, pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang cepat dan strategis supaya turunnya produksi tidak sesuai dengan yang dia perkirakan.
“Sebenarnya ini menarik dan menguntungkan bagi sedulur-sedulur tani kami. Sejak Juli 2022 harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras di tingkat usaha tani mengalami kenaikan yang relatif tajam. Saat ini di jaringan tani kami harga GKP masih di kisaran Rp5.500-Rp6.000/kg,” ujar Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.
Perkembangan terkini, harga makin menguatmengindikasikan makin langkanya pasokan gabah di lapangan. “Harga GKP saat ini mencapai kisaran Rp6.700-Rp7.000/kg. Teman-teman penggilingan padi, baik kecil, besar, korporasi swasta mengalami penurunan pasokan GKP,” tutur Arief Prasetyo Adi, Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency-NFA) dalam rilis hasil sidak ke gudang PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) di Serang, Banten (12/9).
WPI yang memiliki total lima unit industri penggilingan padi di lima kota berkapasitas 1 juta ton gabah/tahun itu menghadapi seretnya pasokan gabah sebagai bahan baku. Kepada Arief, Tenang Sembiring, General Manager Kawasan Industri Terpadi WPI Serang mengakui, selama Agustus 2023 penyerapan GKP Wilmar Serang hanya 5% dari rerata realisasi produksi atau sekitar 200 ton per hari. “Semenjak minggu pertama Agustus 2023, kita hanya menyerap 1.750 ton gabah saja. Kita akan stop suplai beras karena tidak ada lagi stok gabah per hari ini, hanya ada stok 350 ton," bebernya.
Seretnya pasokan gabah dari lapangan sebenarnya biasa terjadi pada semester kedua, khususnya tiga bulan terakhir setiap tahun. Apalagi saat ini kita sedang mengalami El Nino moderat, produksi sampai awal 2024 terus menurun. Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2023, Senin (11/9), menampilkan datanya.
“Setiap bulan, jumlah konsumsi beras rata-rata 2,5 juta ton. Tahun 2022, Januari sampai Desember kita mengalami surplus 1,34 juta ton, tetapi memang pada September - Desember mengalami defisit. Kita memproduksi beras 7,8 juta ton, sementara konsumsi selama 5 bulan sebanyak 10,1 juta ton, terjadi defisit (produksi dikurangi konsumsi) sebesar -2,23 juta ton. Kami perkirakan September dan Oktober 2023 juga akan terjadi defisit beras yang akan berlanjut sampai Januari 2024,” ulas mantan Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas itu.
Menyusutnya pasokan dari lapangan mengerek harga GKP yang terus menguat pasti mengerek harga beras di pasaran. Sekadar contoh, harga beras IR di Food Station Tjipinang Jakarta, mengalami pergerakan seperti itu. Mulai Agustus 2022, harganya menyentuh di atas Rp10 ribu/kg. Dan terus naik sampai naskah ini diturunkan (13/9), harga bertengger di angka Rp13.257/kg. Di pedagang eceran sekitar perumahan Bogor, Jawa Barat dan Yogyakarta, harga beras medium bermain di kisaran Rp14 ribu-Rp15 ribu/kg.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 351 terbit September 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.