Jumat, 25 Agustus 2023

Indonesia Harus Bisa Kendalikan Harga Sawit Internasional

Indonesia Harus Bisa Kendalikan Harga Sawit Internasional

Foto: Windi Listianingsih
EUDR merupakan upaya UE mengendalikan harga sawit internasional

Lembang (AGRINA-ONLINE.COM). Penguasaan pasar keuangan sangat menentukan prospek dan masa depan industri kelapa sawit Indonesia. “Masa depan industri sawit Indonesia ditentukan oleh siapa yang mengendalikan harga sawit internasional,” ungkap Dr. Eugenia Mardanugraha, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia di workshop Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang diadakan di Lembang, Bandung, Jawa Barat (23/08/2023).
 
Eugenia menjelaskan, selama ini Uni Eropa (UE) terus melakukan berbagai cara untuk menghambat kemajuan sawit Indonesia. Sebab, UE menguasai Bursa Sawit, yaitu tempat di mana harga sawit dikendalikan.
 
“Indonesia masih mengacu pada harga internasional sawit Malaysia dan Rotterdam (Belanda). Itu mencerminkan Indonesia belum bisa mengendalikan harganya. Masa depan sawit ditentukan bagaimana Indonesia bisa mengendalikan harga itu,” tegasnya.
 
Karena itu, ia pun tidak heran dengan Eropean Union Deforestation Regulation (EUDR) atau Undang-undang Antideforestasi yang dikeluarkan UE. Menurut Eugenia, regulasi yang mencegah impor produk-produk pertanian dan hutan terkait deforestasi ilegal tersebut tidak lebih dari sekadar upaya UE menghambat kemajuan industri Indonesia, termasuk industri kelapa sawit.
 
“Dengan regulasi itu mereka berupaya mengendalikan harga sawit internasional,” katanya.
 
Ia pun menyarankan Indonesia untuk menguasai pasar keuangan. Pasalnya, upaya membangun industri sawit tidak cukup hanya dengan mengendalikan pasokan saja.
 
Semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, UE (Belanda) semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga. Oleh karena itu, sambungnya, Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri hingga dapat mengalahkan Belanda dan Malaysia.
 
Dampak signifikan yang bakal terjadi akibat penerapan regulasi itu di antaranya penurunan permintaan minyak sawit. Penurunan permintaan dapat menyebabkan penurunan harga sawit dan peningkatan harga minyak nabati lainnya.
 
Ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar minyak sawit pun bisa terpengaruh. Dampak berikutnya adalah penyesuaian pasokan. Jika permintaan UE menurun, produsen dan eksportir sawit Indonesia harus menyesuaikan produksi dan pasokan.
 
Mukhamad Faisol Amir dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS) juga mengakui tekanan UE terhadap sawit Indonesia. Minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang di keluarkandari energi terbarukan oleh UE. “Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel,” ungkapnya.
 
Faisol menuturkan, hal ini semakin menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan. “Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa,” ulasnya.
 
 
Penurunan Daya Saing
 
Di lain pihak, Dr. M. Fadhil Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI menyoroti daya saing minyak sawit di pasar global. Ada pergeseran permintaan sawit dari pasar ekspor ke pasar domestik. Ekspor cenderung stagnan bahkan negatif. ”Dari sisi ekspor mengalami stagnasi bahkan negatif dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2022 ketika ada larangan ekspor,” terangnya.
 
Sementara di pasar domestik, justru mengalami peningkatan kebutuhan terutama untuk biodiesel yang saat ini sudah menjalankan kebijakan B35. ”Konsumsi domestik kita lihat biodiesel yang meningkat tajam sementara yang lainnya relatif stabil, kecuali oleokimia karena tahun 2021, 2022 banyak digunakan untuk keperluan pandemi,” jelas Fadhil.
 
Di saat permintaan meningkat, suplai minyak sawit justru sedang tidak baik-baik saja. Fadhil membuka, peningkatan produktivitas minyak sawit terus turun sejak 2005 silam. ”Pertumbuhan produksi dari tahun 2015 ke 2020 hanya 3%. Tahun 2020-2025 kita perkirakan negatif pertumbuhannya. Karena ada gejala produktivitas mengalami stagnasi, tidak meningkat di satu sisi. Di sisi lain ada pembatasan perluasan area,” sambungnya.
 
Walau Indonesia mengalami penurunan daya saing, ulasnya, tapi harga sawit masih tetap kompetitif. Ada banyak tantangan dan hambatan dalam hal menjaga daya saing minyak sawit Indonesia dari sisi suplai dan permintaan.
 
Peningkatan produktivitas, terutama di petani rakyat menjadi kunci peningkatan daya saing dari sisi suplai. Karena itu, Fadhil menilai, program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan penggunaan teknologi yang lebih baik menjadi langkah yang sangat penting.
 
”Jadi, persoalannya bagaimana kita bisa melakukan peremajaan (PSR) ini lebih cepat lagi. Program GAPKI bagaimana kita bisa berkontribusi dalam peremajaan tanaman petani karena itu satu-satunya (kunci meningkatkan produtivitas),” tandasnya.
 
 
 
Windi Listianingsih

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain