Foto: Windi Listianingsih
Eddy Martono, GAPKI membantu pemerintah menggenjot PSR
LEMBANG (AGRINA-ONLINE.COM). Kinerja dan peran penting industri kelapa sawit nasional ke depan mendapat berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Tidak hanya tantangan berupa hambatan dagang secara langsung dan tidak langsung dari negara pesaing, hambatan di dalam negeri juga tidak kalah pelik. Demikian ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono saat memberikan sambutan kunci dalam acara workshop wartawan, Rabu (23/8/23).
Dari tiga hambatan terbesar di industri kelapa sawit Indonesia, ungkap Eddy, salah satunya masalah produksi yang stagnan bahkan cenderung menurun di tengah peningkatan konsumsi, khususnya untuk pangan dan oleokimia. “Sangat penting untuk industri kelapa sawit Indonesia meningkatkan produktivitas melalui program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat),” tegasnya.
Menurut Eddy, PSR harus dilakukan seluruh pelaku usaha sawit baik perusahaan maupun petani, mengingat gap antara produktivitas petani dan perusahaan masih besar. ”PSR belum berjalan mulus. GAPKI bersama pemerintah terus membantu pemerintah menggenjot PSR supaya bisa cepat. Jangan sampai ujung-ujungnya yang dikorbankan adalah devisa,” jelasnya.
Karena itu, pola kemitraan dalam mendorong PSR dan memperbaiki tata kelola sawit petani juga menjadi perhatian khusus perusahaan sawit yang tergabung sebagai anggota GAPKI.
Apalagi, tahun ini Indonesia juga dihadang fenomena El Nino yang berpotensi menurunkan produksi sawit. ”Tahun ini sudah pasti ada keterlambatan kematangan buah. Dampaknya itu di tahun depan karena kita tidak bisa memupuk di tahun ini. Kalau El Nino seperti 2015, itu dampaknya bisa sampai 2 tahun terhadap produksi,” ulas Eddy.
Di samping itu, meningkatnya eskalasi konflik antara masyarakat dan perusahaan dalam beberapa bulan terakhir juga perlu menjadi perhatian penting. Kebijakan kewajiban pembangunan kebun masyarakat (FPKM) sebesar 20% menyebabkan multitafsir di kalangan masyarakat. Sehingga, mengakibatkan maraknya masalah keamanan berusaha dampak tuntutan sekelompok masyarakat atas kebijakan tersebut.
Menurut Eddy, berdasarkan Permentan No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, semestinya FPKM tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah bermitra dan sudah mempunyai hak tanah sebelum tahun 2007.
Persoalan lainnya yang cukup rumit dihadapi industri sawit adalah banyak kebun kelapa sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan. Saat ini telah dikeluarkan 13 SK Menteri LHK yang menyebutkan ada 2.321 unit usaha dengan luasan 1.907 ribu ha yang diidentifikasikan sebagai kawasan hutan.
Perusahaan tersebut kalau sudah mempunyai perizinan di bidang kehutanan, akan mengikuti penyelesaian pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). Sedangkan perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak sesuai dengan tata ruang, akan mengikuti penyelesaian pasal 110B dan diharuskan membayar denda serta hanya boleh beroperasi dalam satu siklus saja.
Eddy mengatakan, ketidakpastian sikap pemerintah terhadap produk yang dihasilkan, yakni berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Serifikat Hak Milik (SHM) di tengah maraknya konflik perusahaan dan masyarakat dikhawatirkan dapat berdampak pada iklim investasi industri kelapa sawit.
Meski begitu, di tengah hambatan dagang yang harus dihadapi, industri kelapa sawit nasional tetap memberikan peran yang sangat penting, terutama dalam penerimaan devisa negara. Pada tahun 2022 industri kelapa sawit menghasilkan devisa sebesar US$39,07 miliar atau sekitar Rp600 triliun sebagai pencapaian ekspor tertinggi kelapa sawit sepanjang sejarah.
Windi Listianingsih