Foto: Dok. Pribadi
Parsum, jerami fermentasi untuk menekan biaya
Memilih momen berjualan, mengefisienkan bahan baku pakan, hingga berkorporasi menjadi pilihan yang bisa dimanfaatkan dengan baik.
Meski kondisi sangat berat, para peternak hebat ini tidak putus semangat membesarkan usaha sapi potong yang menopang kehidupannya dan peternak sekitar. Apa rahasianya?
Memilih Pasar
Parsum memilih segmen bisnis penggemukan untuk pasar hari raya kurban. Menurut peternak asli Boyolali, Jawa Tengah itu, keuntungan bersih jualan sapi kurban sekitar Rp3 juta – Rp5 juta/ekor dengan waktu pelihara minimal 6 bulan. Harga sapi di peternak bisa mencapai Rp50 ribu – Rp60 ribu/kg dan bobot sapi rata-rata yang diminta 350-450 kg/ekor. ”Margin Idul Adha rata-rata Rp3 juta – Rp5 juta bersih/ekor sapi asal sehat, sesuai target bobotnya,” ucapnya.
Parsum tidak punya lahan untuk menanam hijauan. Semua kebutuhan pakan dipenuhi dengan membeli jerami yang difermentasi untuk menekan biaya pakan harian. ”Saya mainnya Idul Adha ‘kan jangka panjang, jadi sapi nggak terlalu saya push. Habis Idul Fitri baru saya kasih hijauan biar sapinya lebih gemuk maksimal. Sehari-hari saya pakai jerami fermentasi karena harus nekan cost,” urai Sarjana Peternakan IPB University ini.
Untuk menjaga kesehatan sapi, ia memperhatikan biosekuriti kandang dan kesehatan ternak. Saat wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) mulai melanda tahun lalu, setidaknya Parsum masih untung Rp2,5 juta. ”Kemarin alhamdulillah, yang penting balik modal sudah cukup. Masih ada sisa Rp2,5 juta di kandang,” katanya. Selain usaha penggemukan, ia juga kadang berdagang sapi bakalan, jualan pakan konsentrat, dan memproduksi baju bertema peternakan untuk kehidupan sehari-hari. ”Kalau trading itu relatif. Kalau ada proyek ya banyak, kalau nggak ada ya nikmati kehidupan di kandang,” katanya santai.
Di Jember, Jawa Timur, Wibowo memulai usaha penggemukan sapi untuk membidik pasar Idul Fitri, Idul Adha, serta sesekali natal dan tahun baru. Pasalnya, pada dua hari raya itu harga sapi naik 5%-10%. Ini salah satu strategi Wibowo menghadapi beratnya tekanan iklim usaha sapi potong.
Pria kelahiran 2 Mei 1979 itu juga melakukan efisiensi biaya produksi dengan menanam rumput gajah sebagai hijauan pakan, mengoptimalkan tenaga kerja, serta memanfaatkan limbah pertanian seperti kulit kedelai, ampas tahu, dan katul untuk racikan pakan. Di samping gizinya bisa disesuaikan keinginan, biaya pakan juga bisa ditekan. ”Saya murni pakai limbah pertanian. Jadi dari tahun-tahun kemarin naiknya (biaya pakan) bisa 25%. Yang murni pakai konsentrat dan bahan jadi seperti bungkil kedelai, mungkin lebih banyak lagi naiknya,” urainya.
Sejak beternak sapi potong pada 2008, Wibowo mengamati sisa pakan sapi yang tak habis termakan. Ia pun membeli beberapa ekor kambing untuk diberi sisa pakan sapi. Ternyata kambing tersebut mau memakannya. Kambingnya saat ini sudah beranak-pinak. ”Akhirnya betina-betina untuk regenerasi indukan. Jantannya yang sudah dewasa saya jual untuk kurban,” tukasnya. Lalu, kotoran sapi dan kambing dijadikan pupuk untuk nutrisi rumput gajah dan tanaman padi di belakang kandang.
Korporasi
Suhadi, peternak di Tanjungsari, Lampung Selatan, Lampung berhasil menyejahterakan para peternak di wilayahnya dengan berkorporasi. Korporasi itu terbentuk dalam wadah koperasi dengan nama Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera (KPT-MS). Pada 2022 koperasi ini meraih untung hingga Rp93 juta yang dibagikan ke seluruh anggota. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan merata dengan melihat indeks transaksi setiap anggota.
”Membagi keuntungan yang adil. Adil ‘kan nggak harus rata, jadi kita ada namanya indeks transaksi. Jadi, yang amal perbuatannya baik, dia akan mendapat (hasil) baik juga,” kata Ketua KPT-MS itu. Artinya, anggota yang aktif transaksi di koperasi akan mendapat bagi hasil lebih besar daripada yang pasif.
KPT Maju Sejahtera punya usaha pembesaran sapi, penjualan daging, abon, pupuk kompos, hingga warung sembako. Sapi yang dibesarkan KPT-MS dijual di pasar tradisional wilayah Lampung untuk momen Idul Fitri dan Idul Adha. Bobot sapi untuk Idul Fitri sekitar 500 kg/ekor sedangkan saat idul Adha 250-300 kg/ekor.
Suhadi memperkirakan permintaan sapi di Idul Fitri 2023 bisa turun karena ada penyakit cacar kulit (LSD) dan PMK. Namun, sapi-sapi di KPT-MS terjamin kesehatannya dan sudah divaksin. Saat musim PMK tahun lalu, sapi yang dipelihara bebas PMK karena pemberlakuan biosekuriti ketat, tidak berkegiatan di kandang, tidak mengambil sapi dari luar wilayah, dan penambahan vitamin, mineral, konsentrat. ”Yang utama adalah vaksin dan pakan kita tingkatkan,” jelasnya. Sebab itulah, KPT-MS berani promosi sapi jualan sehat, bervaksin, menggunakan barcode di telinga, dan terdata dengan baik.
Untuk mengatasi harga bahan pakan yang melonjak, lanjut Suhadi, pihaknya mengembangkan hijauan pakan berupa rumput pakchong dan indigofera seluas 30 ha dari target 100 ha. ”Kita nanam sendiri. Hasilnya lebih bagus dibandingkan bungkil sawit. Kita beli bungkil sawit harganya sudah Rp2.500, Indigofera hanya ketemu di angka Rp600/kg,” terangnya. Apalagi, penanaman Indigofera juga mudah. Saat ini KPT-MS tengah membuat 100 ribu persemaian Indigofera menggunakan polibag.
Suhadi menyarankan peternak rakyat skala kecil untuk berkelompok dengan orientasi bisnis seperti koperasi. Sebab, kemampuan setiap orang terbatas. Dengan menggabungkan kemampuan dan keahlian berbeda-beda dalam wadah koperasi, peternak punya kekuatan lebih untuk akses pasar, modal, dan lainnya.
”Intinya kalau kita pengen kuat, peternak rakyat harus berkorporasi, wajib. Kalau nggak berkorporasi, jual satu ekor katakan Rp10 juta pasti akan ditawar habis-habisan sama blantik karena merasa peternak butuh modal. Kalau berkorporasi, jualnya lebih banyak, harganya akan lebih bagus, dan kita punya daya tawar dibanding sendiri-sendiri,” pungkasnya.
Windi Listianingsih