Foto: Faralinda Sari
Sapi yang terkena LSD memiliki nodul-nodul di kulit tubuhnya
Vaksinasi menjadi hal yang paling efektif untuk mengendalikan LSD.
Peternak sapi potong baru sedikit bernapas kini harus kembali waspada. Selepas merasakan dahsyatnya serangan penyakit kuku dan mulut (PMK), gantian penyakit cacar kulit (lumpy skin disease, LSD) yang kini mewabah. Dari Provinsi Riau menyeberang sampai ke Pulau Jawa. Apa yang harus disiapkan untuk menghadapinya?
Kejadian Pertama
Menurut Yuli Setiani Pancawati, dokter hewan dari MSD Animal Health, LSD pertama kali terdeteksi di Zambia pada 1929. Ratusan tahun berlalu dan ribuan kilometer terlewati, penyakit ini menyebar dengan cepat di Timur Tengah pada 2012, kemudian masuk ke Eropa pada 2015, dan saat ini tengah mewabah di Asia, termasuk Indonesia.
”LSD ini dianggap sangat serius, sangat merugikan bagi peternak. Menurut data berbagai sumber, mengakibatkan penurunan produksi susu, dari segi kualitas performa ternak juga tidak baik, dan akan berlangsung lama untuk recovery-nya. Bahkan betul, ada infertility, aborsi,” buka Yuli pada webinar “Badai FMD Belum Selesai, LSD Sudah Menyebar”. Kerugian lainnya yaitu pembatasan perpindahan sapi dan perdagangan.
Di Asia, Faralinda Sari, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Provinsi Riau menjelaskan, LSD dilaporkan ada di China dan India pada 2019, Buthan dan Thailand pada Maret 2021. Laporan terakhir terjadi wabah LSD di Kamboja dan Malaysia pada Juni 2021.
LSD merupakan penyakit baru di Indonesia. Riau menjadi provinsi pertama yang melaporkan kasus ini melalui iSIKHNAS pada 9 Februari 2022 karena temuan dugaan LSD pada 18 ternak sakit di Kabupaten Indragiri Hulu. Sehari berikutnya, ditemukan lagi dugaan LSD pada seekor ternak sakit di Kabupaten Pelalawan pada 10 Februari 2022.
Untuk mendapat kepastian, Dinas PKH Prov. Riau mengirim 28 sampel dugaan LSD ke dua lab di Balai Veteriner Bukit Tinggi, Sumbar dan BB Litvet Bogor, Jabar. “Hasil lab dari semua sampel yang kami kirim, 28 sampel itu positif LSD,” ucapnya. Hasil uji lab yang diterima pada 14 dan 16 Februari itu dilaporkan ke kepala daerah. “Hal ini juga langsung ditindaklanjuti dengan pembuatan status Provinsi Riau terhadap penyakit LSD. (Kemudian) Ini ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Pertanian tanggal 2 Maret 2022 tentang Penetapan Daerah Wabah LSD di Propinsi Riau,” sambungnya.
LSD disebabkan oleh Lumpy Skin Disease Virus(LSDV), virus dari famili posporide. Kasus morbiditasnya lebih rendah dibanding PMK karena hanya 10%-45%. Sehingga, tidak semua ternak sekandang akan tertular LSD. Tingkat kematian juga sangat rendah, 1%-5% dan masa inkubasinya 2-5 minggu. ”Untuk masa penyembuhan memang sangat lama, bisa sampai 6 bulan dan itu masih ada sisa, masih terlihat. Namun penyakit ini tidak bersifat carrier seperti PMK,” ulas Faralinda.
Gejala klinis LSD yaitu demam tinggi, penurunan produk susu dan berat badan, depresi. Lalu, terdapat nodul-nodul berdiameter 2-5 cm di kulit, terutama pada bagian kepala, leher, ambing, alat kelamin dan jaringan sukutan dalam waktu 24 jam setelah demam.
Penularan
Menurut data Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS), sapi yang terdampak LSD per 16 Maret 2023 sebanyak 9.425 ekor. Serangan tertinggi ada di Jawa Tengah sebanyak 6.226 ekor, diikuti Yogyakarta 1.842 ekor, Jawa Timur 621 ekor, dan Jawa Barat 602 ekor. Sementara itu, sapi terkena PMK sebanyak 16.391 ekor dengan penyebaran tertinggi di Jawa Timur 6.225 ekor, lalu Sulawesi Tengah 3.958 ekor, Jawa Tengah 3.468 ekor, dan Jawa Barat 1.211 ekor.
Arif Wicaksono, Koordinator Substansi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan, Kementerian Pertanian menuturkan, LSD merupakan penyakit lintas batas yang wajib dilaporkan ke OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia). ”Virusnya stabil dan bertahan dengan baik di lingkungan. Sulit dieradikasi tanpa vaksinasi,” jelasnya.
Penularan LSD dengan penyebaran jarak pendek dan jarak jauh melalui vektor lalat pengisap darah, nyamuk Aedes aegypti, serangga caplak, sapi terinfeksi, dan jarum suntik. Penyebaran jarak jauh terjadi melalui kendaraan yang melakukan pemindahan sapi terinfeksi ke daerah lain.
Yuli menambahkan, penularan LSD yang efektif melalui vektor. ”Itu lebih efektif menularkan daripada penularan kontak langsung. Dan bila kita tanya kapan, ini bisa terjadi pada setiap waktu. Namun pada musim-musim tertentu ketika vektor berkembang lebih banyak, di situ mungkin kita perlu waspada,” paparnya.
Ada pula penularan nonvektor secara langsung dan tak langsung. Faralinda menuturkan, penularan secara langsung melalui sekresi tubuh terkena sapi tertular baik berupa air liur, cairan dari hidung dan mata, air susu, serta semen. Kemudian, intraurin yaitu sapi yang baru lahir dari ternak yang terkena LSD akan tertular LSD. Sedangkan, penularan tak langsung bisa melalui jarum suntik dan yang terbawa oleh petugas (formit).
Pengendalian
Arif menerangkan, pengendalian LSD terbagi 3 zona, yaitu zona tertular, zona kontrol, dan zona tertular. Penanganan di zona tertular dengan pemusnahan terbatas, vaksinasi, pembersihan dan disinfeksi, pengendalian lalu lintas, vaksinasi darurat, pengendalian vektor, serveilanse, serta komunikasi-informasi-edukasi. ”Vaksin dilakukan untuk semua daerah, baik zona tertular, zona kontrol, zona surveilans. Memang semua zona itu harus divaksinasi. Untuk Jawa bisa dikatakan semua harus divaksinasi,” tukasnya.
Dua vaksin yang didistribusikan pemerintah, yaitu Mevac untuk Riau, Aceh, Jawa Timur; dan Lumpyivac untuk Aceh Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kedua vaksin ini sudah teregistrasi sehingga para pelaku usaha dan peternak bisa membeli secara bebas. Aplikasinya dengan injeksi subkutan di leher dengan dosis 1 ml/ekor atau sesuai ketentuan produsen. Vaksinasi dilakukan 2-6 jam setelah botol dibuka.
Sapi di Riau, ungkap Faralinda menggunakan vaksin live attuaned monolog dengan dosis 1 ml. Protokol vaksinasi ada 5, yaitu ternak yang divaksin adalah ternak yang tidak menunjukkan gejala klinis, ternak semua umur divaksinasi, anak sapi dari induk yang divaksinasi atau terinfeksi divaksinasi pada umur 3-4 bulan, anak sapi dari induk yang tidak divaksinasi bisa divaksin di umur berapa saja, dan kerbau divaksinasi dengan dosis sama dengan sapi.
Yuli menambahkan, menurut FAO (Food and Agriculture Organization), tidak ada negara yang sukses mengendalikan LSD tanpa vaksinasi. Pun European Food Standards Agency menyampaikan, vaksinasi pada sapi atau ternak menjadi hal yang paling efektif dilakukan untuk mengendalikan LSD. ”Vaksin yang direkomendasikan dan banyak jurnal yang mendukung penggunaannya adalah tipe vaksin homolog,” timpalnya.
Pencegahan
Sarjono, Ketua Kelompok Limousin di Lampung Tengah, Lampung mengatakan, para peternak sudah diedukasi tentang LSD dan cara menghadapinya. Hanya saja vaksinnya belum diberikan. ”Obat-obatan, tetek bengek sudah siap. Cuma yang vaksin itu kayaknya belum keluar,” ujarnya. Saat ini Sarjono dan kelompoknya melakukan pencegahan dengan menjaga kebersihan lingkungan dan memperketat lalu lintas ternak ke luar daerah.
”LSD hingga detik masih aman. Nggak pengaruh,” kata Suhadi, Ketua Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera (KPT-MAS) di Lampung Tengah. Ia menerapkan biosekuriti ketat, tidak mengambil ternak dari luar daerah, apalagi daerah yang terinfeksi. ”Jadi saat mau digemukkan, hanya ambil di lokasi sekitar. Tapi kalau misalkan sampai terjadi kita ambil keluar, pertama sapi tersebut sudah ada penambahan yang menyatakan bahwa vaksin tersebut sudah vaksin,” lanjut peternak yang sapinya tidak terkena wabah PMK itu.
Parsum, peternak di Boyolali, Jawa Tengah menerapkan hal serupa. ”Asal di kandang kita bersih, disinfektan, biosekuriti kita kuatin, kesehatan sapi imunnya kita jaga, saya kasih probiotik, vitamin A; D; E, semprot disinfektan tetap rutin dilakukan, itu insyaallah (aman),” pungkasnya.
Windi Listianingsih, Brenda Andriana