Sabtu, 4 Maret 2023

Kisah Daging Wagyu dari Lampung

Kisah Daging Wagyu dari Lampung

Foto: Santori
Daging sapi Wagyu dibanderol mahal karena kandungan lemaknya

Tampil di piring para pemimpin negara G20 saat gala dinner di Bali tahun lalu semakin mengangkat gengsi Wagyu dengan marbling-nya sebagai ikon eating quality.
 
 
Di kalangan penikmat daging sapi, Wagyu menempati kasta tertinggi karena menawarkan tekstur yang empuk, juicy, gurih, dan wangi. Hampir setiap rumah makan steik (steak house) pasti menyediakan menu berbahan Wagyu.
 
Tak hanya memanjakan lidah, juga menaikkan gengsi si penikmat lantaran harganya tidak ramah di kocek kalangan menengah ke bawah. Harga Wagyu premium (tenderloin, sirloin, rib eye) produksi lokal berkisar Rp600 ribu-Rp700 ribu, sementara yang impor Rp1 jutaan per kg. Bahkan di salah satu restoran bergengsi di Jakarta, untuk menikmati menu steik sirloin yang bisa disantap 2 orang, pelanggan harus merogoh kocek hingga Rp5 juta.
 
Lantas, bagaimana gambaran bisnis daging Wagyu di Indonesia? Berikut penuturan Dayan Antoni P. Adiningrat, Direktur Utama PT Santosa Agrindo (Santori), satu-satunya produsen daging Wagyu yang terintegrasi di Indonesia.
 
 
Fokus ke Wagyu
 
Santori berbisnis daging sapi secara terintegrasi sejak 1995 dengan tiga 3 peternakan, 2 di Lampung dan 1 di Probolinggo, Jatim. Anak usaha PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk.  (JAPFA) ini memiliki kapasitas penggemukan 150 ribu ekor, pembiakan Wagyu 10 ribu ekor, dan rumah potong hewan (RPH) modern 24 ribu ekor/tahun.
 
Menurut pria yang berkarier di Santori sejak 2004 itu, dalam 3 tahun terakhir kondisi bisnis sapi potong di Tanah Air tidak semegah dulu. Margin keuntungan makin tergerus karena berkurangnya pangsa pasar akibat kebijakan pemerintah yang menjadi disinsentif bagi pelaku usaha penggemukan sapi. Karena alasan tersebut, Santori memfokuskan diri membidik ceruk pasar premium dengan mengembangkan sapi Wagyu sejak dari pembiakan hingga pengolahan.
 
“Pertumbuhan market-nya hanya 5%-10%, tidak gede, tapi gengsinya gede buat JAPFA,” cetusnya sembari tersenyum.Apalagi, sampai sekarang baru ada Santori sebagai pemain tunggal Wagyu di dalam negeri. Saingannya terutama produk impor dari Australia.
 
Wagyu asalnya dari China lalu banyak berkembang di Jepang, Australia, dan Amerika. Peternakan Wagyu milik Santori mulai dirintis tahun 2007 dengan mendatangkan betina afkir dari Australia. Setelah menimbang daya adaptasinya yang cukup baik di daerah tropis, Santori mulai pembiakan pada 2011. Populasi indukannya terus berkembang dan mencapai puncak pada 2015,sebanyak 8.000 ekor.
 
Namun, bisnis pembiakan butuh investasi besar dan pengembaliannya lama. Bisnis segmen ini biasanya dapat subsidi dari segmen penggemukan. Untuk memproduksi seekor sapi Wagyu siap potong, perlu waktu 3 tahun. “Lama penggemukannya sampai 1 tahun, sampai 400 hari, bahkan 420 hari karena rata-rata kenaikan bobot badan hariannya (ADG) hanya 0,8-1 kg. Target bobot potongnya 620 kg. Sementara, penggemukan Brahman Cross (BX) hanya 3-4 bulan dengan ADG bisa 1,5 kg,” ulasnya.
 
Dayan mengungkap, ada 3 strategi untuk mendapatkan bakalan Wagyu. Pertama, memproduksi sendiri dengan menyilangkaninduk betina Brangus (persilangan Brahman dan Angus) dan jantan Wagyu. Jantannya berupa semen impor. Perkawinan silang melalui inseminasi buatan ini menghasilkan keturunan pertama (F1) dengan 50% genetik Wagyu. Dagingnya sudah memenuhi syarat diklaim sebagai daging Wagyu. Sifat kualitas daging termasuk tingkat perlemakannya (marbling) diturunkan dari induk jantan.
 
Kedua, bekerja sama dengan produsen F1 dari Australia untuk mengimpor bakalan F1dan selanjutnya digemukkan. Tidak perlu investasi induk betina sehingga perputaran modal lebih cepat. Ketiga, menggandeng peternakan sapi perah dalam negeri untuk dijadikan induk betina. Peternak sapi perah mendapatkan susu, sementara Santori memperoleh pedet yang lebih murah bermodal semen impor.
 
Dengan tiga cara tersebut, diharapkan populasinya meningkat secara signifikan dalam 3 hingga 5 tahun mendatang. Target produksinya 5.000 ekor/tahun atau kurang lebih 400 ekor/bulan yang dipotong. Sapi siap potong disembelih dan diolah di RPH modern milik sendiri di Serang, Banten.
 
 
Dari Premium hingga Terjangkau
 
Marblingyang menjadi keunggulan Wagyu, dibedakan skornya menjadi 1-12. “Dengan silangan F1, kita tidak bermain dalam skor marbling yang tinggi. Skor 3 ke bawah tidak kita hitung dan kita jadikan olahan. Kita main di 4–7, rata-rata 5. Di Jepang, skor 10 ke atas. Kita nggak main di situ karena harganya terlalu tinggi dan sejujurnya konsentrasi lemaknya terlalu tinggi. Di Jepang sendiri hanya 20% yang makan,” ungkap Dayan.
 
Mengusung brand Tokusen, Santori memasarkan produknya. “Bicara pasar prime cut seperti sirloin dengan marbling yang tinggi itu relatif tidak ada naik-turun karena benar-benar untuk kelas atas. Bahkan,pandemi Covid dan inflasi tidak akan mengganggu. Bali termasuk market terbesar setelah Jakarta. Sewaktu pandemi Covid, pasar hancur karena pariwisatanya terganggu. Saat ini telah pulih bahkan kekurangan. Apalagi setelah daging kita dipakai untuk acara gala dinner G20, permintaan tinggi lagi,” beber Dayan bangga.
 
Dalam gelaran berskala internasional tersebut, William Wongso, Chef kenamaan Indonesia, menampilkan tema masakan Nusantara. Saat itu ia menyajikan Wagyu berbumbu rendang.  Hanya untuk santapan dinner saja dibutuhkan 100 kg Wagyu paling mahal. Belum termasuk acara makan yang lain.
 
Selain melayani pasar premium, Santori menggarap pasar menengah dengan memproduksi Wagyu yang lebih terjangkau. Caranya, mengolah daging Wagyu tanpa marbling dan marbling di bawah 4 dengan campuran lemak Wagyu. Harganya sekitar Rp300 ribu/kg.
 
Olahan lain (Blue Label) dibuat dari daging sapi impor dicampur lemak Wagyu agar lebih gurih. Daging ini dibanderol Rp180 ribu-Rp190ribu/kg.
 
 
 
 
 
Peni Sari Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain