Foto: Windi Listianingsih
Pemenuhan daging untuk masyarakat harus memperhatikan suplai daging lokal
Cetak biru harus tetap dilanjutkan secara konsisten dan tidak diubah setiap ganti pemimpin.
“Emas Merah” itu tak lagi menggugah antuasiasmepelaku usaha. Dulu, ungkap Didiek Purwanto, Ketua Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), nenek moyang kita menganggap sapi potong adalah emas merah karena saking berharga dan bergengsinya. “Tapi kini masyarakat takut untuk beternak. Penyebabnya, kita tidak menata usaha peternakan kita dengan baik, konsisten, dan berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang kita miliki,” ujarnya kepada AGRINA. Bagaimana nasib usaha peternakan sapi potong di Tanah Air?
Tekanan Kuat
Didiek menjelaskan, bisnis sapi potong sepanjang 2022 tidak lebih bagus dari tahun sebelumnya. Pada 2021 peternak menghadapi pandemi Covid-19 yang membuat pembatasan lalu lintas orang sehingga berpengaruh pada turunnya permintaan daging. Sementara pada awal Mei 2022, muncul penyakit mulut dan kuku (PMK) di Jawa Timur dengan penyebaran amat cepat sehingga banyak sapi tidak terobati dengan baik.
Pemerintah tidak siap mengendalikan karena PMK baru muncul lagi setelah 30 tahun hilang dari Indonesia. “Kondisi ini menyebabkan banyak sekali sapi yang mengalami kematian, terutama sapi-sapi lokal dari peternakan rakyat. Sapi yang hidup banyak dijual dan dipotong peternak karena mereka trauma. Dampaknya terjadi kekacauan karena banyak sekali sapi yang dipotong mendadak sementara permintaan daging rendah akibat pandemi,” ungkap Direktur Utama PT Karunia Alam Sentosa Abadi itu.
Tak disangka saat PMK mulai turun, muncul penyakit cacar kulit atau lumpy skin disease (LSD) yang ikut menghantui peternak. Vektor yang cukup banyak membuat penyebarannya luas dan para stakeholder tidak siap, termasuk ketidaksiapan vaksin. “Tahun ini industri sapi potong menghadapi tekanan kuat. Apalagi, permintaan daging turun sebagai dampak penurunan laju ekonomi pasca-Covid-19. Memang pemerintah sudah berusaha memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi ekonomi tidak serta-merta tumbuh begitu saja,” ucap Didiek.
Sarjono, peternak sapi di Lampung Tengah, Lampung menggambarkan bisnis sapi potong tahun ini.Selepas penurunan daya beli karena pandemi, bisnis sempat bergairah lalu terganggu PMK. Menurut Ketua Kelompok Limousin itu, harga sapi di Lampung membaik sejak Februari 2022 dan memuncak di lebaran haji 2022. Harga melejit karena stok kurang akibat sapi di Pulau Jawa banyak terkena PMK.
“Itu harga paling fenomenal sepanjang sejarah. Sampai Idul Adha, melejit Rp55 ribu – Rp57 ribu/kg hidup untuk kategori sapi lokal. Habis lebaran haji kena PMK, wabah masuk ke Lampung secara umum, harga langsung nyungsep ke Rp42 ribu/kg, nggak ada yang beli,” bebernya.
Perlu 3-4 bulan pemulihan. “Satu bulan terakhir ini baru pemulihan,baik yang pelihara maupun sapinya,baru merangkaklah. Harga sudah mulai beranjak ke Rp47 ribu – Rp48 ribu/kg. Hari ini posisi Rp49 ribu/kg hidup sapi lokal di peternak. Sedangkan, sapi impor lebih tinggi, Rp53 ribu – Rp54 ribu/kg bobot hidup. ”Lebih mahal itu karena dagingnya keluar, persentasenya tembus. Lebih menguntungkanlah daripada yang lokal,” ulas Sarjono (7/3).
Idul Adha
Bisnis sapi potong secara umum, ulas Parsum, peternak di Boyolali, Jawa Tengah, tidak relevan tanpa punya lahan hijauan yang luas. “Untuk kebutuhan rutin, gemukin sapi, jual ke pejagal, hitungan sudah nggak masuk, untung tipiskarena sekarang bakalan sudah mahal, biaya pakan semua naik. Harga di jagal cenderung naiknya nggak signifikan. Beternak nggak punya lahan luas sudah nggak masuk. Kecuali, jualnya hanya momen Idul Adha,” paparnya.
Beternak sapi termasuk usaha padat modal. Parsum merinci, biaya pakan sekitar Rp24 ribu/ekor/hari dan upah karyawan Rp30 ribu/hari. Untuk pelihara 10 ekor sapi, menghasikan biaya pakan Rp7,5 jutaan/bulan. ”Kalau kita pelihara untuk Idul Adha, paling nggak keluar uangRp90-an juta. Itu baru 10 sapi. Makanya kalau nggak main di Idul Adha, kita nggak bisa survive (bertahan). Puncaknya penjualan itu Idul Adha,” lanjutnya.
Kondisi peternak sekarang ini, kata pria yang 16 tahun beternak sapi potong itu, bagai hidup segan mati tak mau karena tersandung banyak hal. ”Dinamika ekonomi yang tidak jelas, regulasi yang kayak gitulah, dan penyakit tambah banyak,” urainya.
Wibowo, peternak di Jawa Timur mengakui, bisnis sapi potong semakin berat. ”Kalau dari awal peternak itu tujuannya untung, nggak bakal jadi. Ternak itu menurut saya dasarnya passion (hasrat), menikmati proses dan menyalurkan hobisehinggamengelola peternakan ini nggak terasa berat. Dengan sendirinya kita bakal menemukan formula dan cara seefisien mungkin agar meraih keuntungan. Saya yakin peternak yang bertahan pasti yang mempunyai passion,” jelasnya.
Jika untuk komersial semata, urai Wibowo, agak berat karena hanya mengandalkan pakan jadi tanpa mencari alternatif pakan lainnya. ”Apalagi skala industri, pasti pakai bahan-bahan jadi semua, dicampur semua. Itu mungkin berat ya ke depannya dengan adanya kenaikan harga pakan yang lumayandan isu impor (daging) besar-besaran. Di Jawa Timur dan Jawa Barat,perusahaan sapi banyak yang sudah gulung tikar,” kata pria yang menyasar segmen Idul Fitri, Idul Adha, dan Nataru itu.
Suhadi, Ketua Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera (KPT-MS) di Lampung Tengah berpandangan lain. ”Tren bisnis sapi potong nggak pernah turun walau kemarin sempat ada harga turun ‘kan karena ada penyakit. Kalau nggak ada penyakit, trennya tetap stabil,” katanya.
Suhadi menilai, peredaran daging impor berpengaruh kecil karena masyarakat lebih suka daging segar (fresh) daripada beku. ”Nggak ada pengaruh karena di tingkat lokal, masyarakat kita masih senang yang fresh. Kita (KPT-MS) bikin yang beku aja jarang laku, makanya kadang stok yang beku banyak. Tapi yang fresh begitu dipajang, cepat habis,” sahutnya.
Berbagai Faktor
Dayan Antoni P. Adiningrat, Direktur Utama PT Santosa Agrindo (Santori) mengatakan, bisnis sapi potong secara umum tidak lagi semegah dulu. Pertama, karena faktor kebijakan pemerintah. Meski ada program swasembada daging tapi gaungnya berkurang. Orientasinya saat ini juga beda, lebih pada ketersediaan dan keterjangkauan.
“Margin keuntungannya makin tergerus. Market size-nya berkurang sekitar 30%-40%. Indikatornya adalah jumlah importasi sapi bakalan, jumlah pemotongan di RPH, dan omzet penjualan daging segar di supermarket, yang berkurang sebanyak itu,” ungkapnya.
Hal itu tak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menjadi disinsentif bagi pelaku usaha penggemukan sapi. Misalnya, sambung Dayan, impor daging kerbau India untuk mendukung ketersediaan dan keterjangkauan konsumen. Daging kerbau ini menggantikan sebagian daging sapi lokal di pasar-pasar tradisional. Kuota impornya 100 ribu ton. Belum lagi impor daging Brasil dengan kuota yang sama.
Menurut Didiek, banyak faktor yang mempengaruhi bisnis sapi potong. Termasuk, dampak perang Rusia-Ukraina, terutama pasokan bahan baku pakan terganggu dan harganya naik. Peternak mencari posisi aman dengan mengosongkan kandang karena khawatir terkena PMK dan LSD yang makin mewabah.
“Daging kerbau beku India, daging sapi beku Brasil masuk ke pasar tradisional sehingga suplai daging jadi ramai,harga tertekan. Sebab di satu sisi permintaan rendah, di sisi lain suplai meningkat karena bertemunya daging beku impor dengan daging sapi lokal yang sebagian dipotong karena sakit,” bukanya. Karena itu, pemerintah harus memperhitungkan daya beli masyarakat secara detail dan tidak cuma berkaca pada angka statistik belaka.
Aturan impor daging, Sarjono menanggapi, semestinya hanya untuk keadaan darurat dengan sebaran di kota. “Ini ‘kan merembet ke pasar-pasar becek, pelosok Lampung juga masuk. Akibatnya, orang nggak ngerti itu daging kerbau apa sapi, dioplos. Kalau momen lebaran, bolehlah. Tapi kalau terus-terusan dengan dalih supaya Indonesia harga dagingnya murah, opo yo ketemu? Standar ganda itu namanya,” sesal dia.
Terlebih, harga pokok produksi (HPP) sapi potong naik terus. “Kita ini peternak lokal yang sudah lama masuk ke usaha peternakan. Kalau pemerintah minta harga daging nggak boleh tinggi, sedangkan HPP sapi saja sudah tinggi ya harus gimana? Buat apa juga jadi peternak?” kritik pemilik Setiaki Grup itu.
Parsum membuktikan naiknya harga pakan karena populasi sapi turun terimbas PMK.Bahan pakan seperti polar, bungkil sawit, dan kopra banyak diekspor sebab permintaan lokal turun. “Ketika diekspor, harga bahan baku lokal ikut naik. Efek sekunder di sapi juga ADG (kenaikan rata-rata bobot harian) nggak sehebat sebelum PMK. Dulu ngejar ADG sapi 1,2-1,3 kg gampang, sekarang ngejar 1 kg aja sudah alhamdulillah,” ulasnya.
Wibowo menambahkan, harga pakan naik tajam karena pandemi, anomali cuaca, penyakit, dan lainnya. Bahan baku seperti ampas tahu, slemper jagung, dan kulit kedelai yang dulu tidak berharga, kini dimasukkan dalam perhitungan laba/rugi sehingga harganya naik. ”Sekarang biaya pakan meningkat 25%, tapi harga daging sepertinya tidak ada peningkatan dan kena isu impor daging. Ini kayaknya harga sapi juga turun,” prediksinya.
Gapuspindo pernah menyarankan pemberian label asal daging yang dijual di pasaran. Seperti di Malaysia, ada label daging kerbau beku India, daging sapi beku Brasil, daging sapi beku Australia, dan daging sapi lokal segar. Harapannya, konsumen teredukasi dan bisa memilih. Oplosan daging impor dan daging lokal membuat harga daging impor ditarik ke atas, sedangkan daging lokal turun ke bawah yang merugikan peternak lokal dan konsumen. “Ini harus menjadi perhatian pemerintah. Perlu penataan dan instrumen yang tidak merugikan peternakan rakyat,” tekannya.
Menurut Didiek, Badan Pangan Nasional harus lebih memperhatikan sapi lokal yang dikembangkan di dalam negeri dan bukan fokus pada daging impor buat memenuhi kebutuhan lebaran. “Jika itu yang dilakukan, maka tak ubahnya seperti pemadam kebakaran. Melihat prediksi lonjakan permintaan daging menjelang lebaran, saya yakin tidak akan terjadi gejolak harga. Kondisi sekarang saja jumlah sapi yang dipotong di RPH (rumah potong hewan) turun hingga 40%. Itu menunjukkan daya beli masyarakat jauh menurun. Atau, bisa jadi masyarakat tidak lagi concern mengonsumsi daging karena kebutuhan lain yang lebih vital tidak terpenuhi,” terangnya.
Penataan dan Pemetaan
Agar “emas merah” ini merona lagi, Didiek menilai, yang mendasar dan penting adalah penataan kembali dan pemetaan industri sapi nasional. “Perlu cetak biru industri sapi kita ke depan. Bagaimana sebetulnya struktur populasi sapi di Indonesia. Tidak saja menghitung jumlah sapi, tetapi ada gambaran berapa sapi jantan, betina/indukan, pedet jantan dan pedet betina, dan lainnya. Dengan begitu kita tahu berapa kemampuan pasokan dari sapi lokal untuk menyuplai kebutuhan daging nasional,” paparnya.
Termasuk, menjalankan program yang membuat orang tertarik beternak sapi, mengoptimalkan daerah-daerah potensial untuk pengembangan sapi. “Potensi kita untuk mengembangkan peternakan besar sekali. Terdapat daerah-daerah sepi penduduk yang memiliki banyak sumber pakan. Ini harus kita kembangkan. Sebab budidaya sapi sistem pastoral paling murah biayanya,” ulasnya.
Cetak biru juga meliputi perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan melibatkan para ahli. Jangan sampai seperti Filipina,alpa mengembangkan peternakannya karena terpacu memenuhi kebutuhan daging. “Pemerintahnya jor-joran impor daging beku dari berbagai negara. Tidak saja peternakan sapi rakyat menurun, feedlot (perusahaan penggemukan) juga berhenti. Akibatnya, terjadi ketergantungan sepenuhnya terhadap impor daging beku,” tegasnya.
Walau terjadi pergantian pemimpin, Didiek menekankan, cetak biru ini harus tetap dilanjutkan secara konsisten dan tidak diubah setiap ganti pemimpin. “Saya yakin jika dari dulu kita memiliki cetak biru yang baik, ibarat GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) peternakan sapi Indonesia dan konsisten dijalankan, tentu kondisinya akan jauh lebih baik dari sekarang,” tukasnya.
Totok Setyarto, Direktur PT Nufeed International Indonesia menjelaskan, perbaikan mutu genetik dan pelestarian plasma nutfah harus dilakukan pemerintah. “Jangan masyarakat atau peternak yang pingin bisnis dibebani hal-hal seperti itu. Peternak ‘kan berbisnis bagaimana menghasilkan pendapatan, keuntungan,” sarannya.
Melihat lansekap Indonesia, ucap Totok, idealnya kita punya farm khusus pembibitan di negara lain buat impor bakalan ke dalam negeri didukung sinergi kebijakan antarkementerian. Itu lebih efektif dari sisi biaya daripada mendirikan pembibitan di sini. Atau, kolaborasi membuat pembibitan di peternakan sapi perah. Sebagian bibit yang dihasilkan dibuat induk dan sisanya dijadikan sapi potong jantan.
”Di luar negeri sudah ke sana jalannya karena tetap lebih murah breeding (pembibitan) di dairy (sapi perah) dibandingkan pelihara sapi untuk breeding,” urainya. Cara inilah yang dilakukan Santori dalam menjalankan bisnis sapi premium, Wagyu (Lihat:Kisah Daging Wagyu dari Lampung, halaman 22).
Kemudian, pemerintah membuat aturan yang mendukung peternak lokal, semisal mempermudah impor bibit sesuai kebutuhan peternak atau mempercepat impor vaksin saat darurat tanpa prosedur berbelit. ”Pemerintah lebih fleksibel, mengikuti kebutuhan pasar,” sarannya.
Didiek menambahkan, pemerintah juga mendorong integrasi sapi dengan sawit dan menjadi keputusan strategis agar populasi cepat berkembang. Jika perlu, hadirkan PP dan Perpres biar percepatannya optimal.
“Jika masih belum cukup, baru impor. Impornya pun harus ditata karena tidak ada nilai tambah yang diperoleh. Berbeda jika impor sapi bakalan, ada 4 bulan atau 120 hari pemeliharaan sapi yang membutuhkan sumber daya lokal sehingga memberi nilai tambah yang besar. Ada pakan lokal, penggunaan tenaga kerja, transportasi dan sebagainya yang diperoleh,” tandasnya.
Windi Listianingsih, Peni Sari Palupi, Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)