Sabtu, 4 Maret 2023

UDANG : Strategi Menghadapi Persaingan Global

UDANG : Strategi Menghadapi Persaingan Global

Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Presiden Jokowi dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono (kiri-kanan), tambak BUBK Kebumen diharapkan menjadi percontohan tambak udang modern di Indonesia

Tidak cukup sekadar menebar dan panen, pembudidaya harus memperhatikan data lokal dan global.
 
 
Mengebutnya produksi udang di Ekuador dan India sangat mempengaruhi peta perdagangan dan produksi udang global, khususnya Indonesia. Perlu strategi jitu agar Indonesia tetap memiliki posisi pasar kuat di negara tujuan ekspor.
 
 
Produksi Disalip
 
Haris Muhtadi, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) menjelaskan, beberapa tahun terakhir terjadi fenomena peningkatan produksi udang di beberapa negara. Produksi udang tahun lalu yang diperkirakan naik pesat ternyata mengalami kesimbangan baru. “Di tahun 2023 diasumsikan akan ada penurunan sekitar 1% secara global, di Asia penurunan 4%, di Ekuador dan beberapa negara penghasil udang di Amerika Latin terjadi penurunan 2%,” ulasnya pada seminar “Shrimp Outlook 2023: Kondisi Industri Udang di Tahun 2022 dan Solusi untuk Tahun 2023”.
 
Cepat atau lambat, lanjutnya, Asia akan disalip Amerika Latin dalam memproduksi udang. Sebelumnya Thailand menjadi kiblat budidaya udang vaname. Namun setelah wabah penyakit early mortality syndrome (EMS), produksi udangnya tak lagi melebihi 300 ribu ton/tahun dari sebelumnya menembus 600 ribu ton setahun.
 
“Sesuatu yang harus kita syukuri karena ketika kita ditabrak oleh EMS, kita hanya turun sedikit, bahkan kembali recovery (pulih) dan normal lagi. Sementara, Thailand ketika ditabrak oleh tsunami yang namanya EMS atau AHPND, dia turun drastis, kemudian tidak seperti KO gitu, nggak mampu bangkit lagi,” ungkap Direktur Pemasaran CJ Feed Indonesia itu.
 
Saat ini kiblat baru budidaya udang di Vietnam dilihat dari sisi pemasaran dan produksi yang naik signifikan, 15%. Di sisi suplai, negara-negara Amerika Latin meningkat produksinya. Dalam 2 tahun terakhir, terjadi kenaikan 88% di Ekuador, Venezuela 63%, dan Meksiko 60%. Pun negara-negara Timur Tengah sebagai pemain baru ikut naik produksinya sekitar 30% karena peran teknologi. Ia memprediksi, produksi si bongkok di Timur Tengah akan menguat karena kepemilikan modal yang mumpuni.
 
Sementara, produksi udang Indonesia nyaris tidak ada pertumbuhan. Dari sisi konsumsi pakan, ulas Haris, ”Pada tahun 2022 konsumsi nasional hasil anggota GPMT (Gabungan Produsen Makanan Ternak) adalah 444 ribu ton. Estimasi tahun 2003 adalah 448 ribu ton. Kita bisa bayangkan kalau konsumsi nasional pakan udang kurang dari setengah juta, maka kita bisa membuat tabulasi tentang kira-kira produksi udang nasional berapa.”
 
 
Merusak Keseimbangan
 
Kehadiran pemain baru, khususnya Ekuador dalam industri udang dunia tentu mempengaruhi bahkan “merusak keseimbangan dan kenyamanan” posisi Indonesia. ”Kita punya market Amerika yang nyaman, diganggu oleh dia (Ekuador) karena kedekatan. Ketika China ditutup dan mereka mengalihkan marketnya dari RRC ke negara-negara barat dan itu merupakan playing ground kita dan kita diganggu oleh mereka, nah ini mau tidak mau harus kita antisipasi,” ucap Haris.
 
Sebab perlahan tapi pasti, pasar dan pemasaran mereka akan lebih bagus. Apalagi, biaya produksinya lebih rendah sehingga harga lebih kompetitif dan lebih memenuhi persyaratan pasar dengan sertifikasi, keberlanjutan, dan ketelusuran. Karena itu, pelaku industri udang harus menerima kondisi new normal dengan harga baru yang lebih rendah.
 
”Sehingga, harus ekstra hati-hati sebagai anggota SCI untuk menemukan efisiensi yang tepat, tepat dalam hal FCR (feed conversion ratio), tepat dalam hal survival rate, tepat dalam hal memilih size berapa kita akan panen dengan melihat cuaca di market,” terangnya.
 
Dengan begitu, peran perusahaan penyedia teknologi berbasis data digital semakin dibutuhkan. Pembudidaya akan semakin tergantung dengan ketersediaan data karena menjadi strategi kapan waktu menebar, panen, dan sebagainya. Dulu pembudidaya bisa menebar udang dan panen kapanpun karena harga selalu bagus. Cukup menjaga tambak agar tidak terkena penyakit. ”Suatu saat, itu tidak cukup. Kita harus mengantisipasi market dan sebagainya. Asosiasi-asosiasi  pembudidaya harus ekstra hati-hati dengan cara memperhatikan data global maupun data lokal,” cetus lulusan FPIK Universitas Dipenogoro itu.
 
Sertifikasi juga akan menjadi kewajiban karena tuntutan pasar. ”Hari ini pun sudah harus bersiap-siap memasuki era di mana sertifikasi sudah menjadi kewajiban. Era di mana Itu bukan lagi voluntary tapi mandatory,” pesannya.
 
Tentu saja pembudidaya harus bekerja sama dengan pengolah dan pembeli untuk memproduksi produk yang sesuai dengan market tertentu, seperti olahan tertentu, jenis udang segar tertentu yang harganya di atas harga rata-rata komoditas. “Kita fokus pada speciality bukan lagi komoditi,” tandas Haris.
 
 
Penyakit dan Kawasan Tambak Terintegrasi
 
Di sisi penyakit, Sidrotun Naim, ahli penyakit udang memprediksi, tren penyakit EMS atau AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease) bakal menurun. Sebaliknya, penyakit white spot (WSSV) dan myo (IMNV) justru meningkat. ”Itu (WSSV dan IMNV) mulai geser di DOC (day of culture) kecil,itu sebenarnya sudah terdeteksi, memang dia belum terlihat gejala klinis whitespotdengan mionya. Tetapi ketika dicek dini, itu sudah menunjukkan positif,” bukanya.
 
Saat menemukan udang positif WSSV, Naim menyarankan pembudidaya melakukan penanganan yang cocok sesuai karakteristik kolam karena setiap kolam punya ciri khas masing-masing. Di samping itu, serangan WSSV biasanya bukan pertama kaliterjadi. “Misalnya dulu pas kena white spot, ‘kan ada yang penanganannya dengan probiotik, ada yang penanganannya dengan mineral. Tertentu itu ‘kan beda-beda karena di satu daerah itu ada yang kendalanya di mineral, ada yang kendalanya di hal lain,” paparnya.
 
Ia juga mengajurkan, benur wajib dicek sebelum ditebar ke kolam. Ketika ditemukan positif salah satu penyakit, sebaiknya benur tidak digunakan. “Kalau benur belum terlalu mahal ya. Artinya belum terlalu tekor,mendingdiganti,” ulasnya. Lalu, selalu tes penyakit udang selama masa budidaya. Termasuk, udang liar, kepiting, hingga pakan alami. Pengecekan AHPND bisa di DOC 10-20 sedangkan penyakit lainnya pada DOC 20, 30, hingga 55.
 
Sementara di sisi budidaya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membuat kawasan tambak udang terintegrasi hulu-hilir. Pada Kamis, 3 Maret 2023, Presiden Jokowi meresmikan tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah. Tambak udang ramah lingkungan ini pun ditetapkan menjadi percontohan pembangunan tambak udang modern di Indonesia. ”Kita harapkan ini akan menjadi sebuah contoh yang baik bagi budidaya udang vaname yang memerlukan kebersihan air, yang memerlukan betul-betul manajemen detail," ujar Presiden Jokowi.
 
Tambak seluas 60 ha ini memiliki 149 petak kolam budidaya dengan produktivitas awalnya sebesar 40 ton/ha/tahun. Tambak BUBK Kebumen juga dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), water intake, hingga laboratorium. Untuk membangun BUBK Kebumen menghabiskan dana APBN mencapai Rp175 miliar dengan melibatkan tenaga kerja sejak pembangunan sebanyak 150 orang.
 
Selanjutnya, pembangunan tambak budidaya udang modern ramah lingkungan rencananya dilakukan di Sumba Timur, NTT seluas 1.800 ha. "Ini sudah didesain perencanaannya, selesai, ini di-copy dibuat di sana. Kita harapkan itu akan menjadi sebuah kawasan yang terintegrasi dan tambak udangnya, ada industri pakannya, ada industri turunan dari udang-udang yang dipanen," pungkas Presiden.
 
 
 
Windi Listianingsih, Sabrina Yuniawati

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain