Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Budidaya udang di kolam air tawar lebih hemat biaya
Benur vaname salinitas rendah lebih tahan serangan virus dan bakteri.
Budidaya udang vaname dikolam air tawar kian berkembang di Lampung.Selain biaya produksi lebih rendah dibandingkan budidaya udang tepi pantai, juga tidak ada penyakit yang menghantui petambak. Apalagi, sudah tersedia benur vaname salinitas nol.
Air Tawar
Mahfud Pranoto, pembudidaya di Desa Bandan Hurip, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan merintis budidaya udang dikolam air tawar berdinding plastik HDPE dan berlantai mulsa sejak November 2020.
Sebelumnya, ia membudidayakan vaname dengan menyewa tambak ukuran 1.200 m2 di Pantai Timur Lampung, persisnya di Desa Brundung Kecamatan Pematang Pasir, Lampung Timur untuk jangka waktu 3 tahun. Namun, baru 2 siklus berjalan tidak dilanjutkan karena gagal akibatdiserang penyakit.
“Pada siklus pertama berhasil panen. Namun pada siklus kedua kena virus myo dan ketiga udang diserang WSSV sehingga tidak sampai panen. Akibatnya, saya mengalami kerugian hingga Rp100 juta-an,” kenangnya ketika diwawancarai AGRINA.
Bukan Mahfud namanya jika patah arang. Ia tetap ngotot berusaha di tambak udang. Tak lama setelah gagal, ia mendapat informasi di Palas sudah ada petambak yang budidaya vaname di kolam air tawar dengan lokasi jauh dari pantai.
Lantas, Mahfud membuat kolam udang pada seperempat ha lahan sawah. Kolam pertama luasnya 900 m2 dan kolam kedua 1.200 m2. Agar air kolam tidak merembes keluar maka pematangdilapisi HDPE dan lantainya dengan mulsa.
Pada siklus pertama ia membeli air laut sebanyak 7 tangki volume 5 ton/tangki hingga tinggi air 40 cm dengan salinitas 5 ppt. Kolam satu diisi 80 ribu benur dan kolam dua 130 ribu benur salinitas tinggi hingga akhirnya gagal karena pada DOC (day of culture) 45, udang mati massal.
Di siklus kedua hingga selanjutnya, ia menggunakan air tawar murni dari sumur bor. Setiap kolam dilengkapi 4 unit kincir. Penebaran benur salinitas 0 ppt dan berhasil panen size 12–25 g/ekor.
Tahap Budidaya
Mengenai persiapan lahan, urai Mahfud, dimulai dari pembersihan lahan, pemberian kapur aktif powder 50 ppm, dilanjutkan pengisian air hingga tingi 50 cm, pemberian POC 30 ppm, dan asupan mineral 1 ppm.
Pada DOC 1 – 15, pakan pabrikan dicampur vitamin khusus. Setelah tebar benur, aplikasi 1 ppm dolomit setiap 5 hari sekali dan pemberian probiotik untuk mengontrol plankton. Probiotik dikultur dengan bahan baku tetes tebu, minyak ikan, dan vitamin lalu difermentasi dengan bakteri.Pergantian air setiap 3 hari sekali dengan volume 3 – 5 cm.
Pada budidaya udang air asin,kontrol mineral dan parameter air lainnya dilakukan lebih sering. Di kolam air tawar,kontrol mineral cukup seminggu sebelum bulan purnamasaat sebagian besar udang bakal moulting. Jika telat aplikasi mineral maka udang gagal moulting.
Pada DOC 16 – 25 selain pakan pabrikan, dilanjutkan aplikasi probiotik secara berkala, penambahan kaptan (kapur pertanian) 5 ppm dan air secara bertahap hingga 80 cm. Mulai sifon per 5 hari sekali dan aplikasi mikroba hasil kultur secara berkaladi DOC 25 – 30.
Pada DOC 30 – 35 aplikasi mineral yang sudah dikombinasi dan samplingawal di DOC 35. Saat DOC 35 – 45 aplikasi mineral yang sudah kombinasi dan kaptan lebih intens. Lakukan panen parsial pada DOC 60 dan panen total di DOC 100.
Plus-minus
Dari pengalaman Mahfud yang mencapai 7 siklus budidaya, nilai kelulusan hidup (SR) udang air tawar rata-rata 70% atau lebih rendah dari udang tambak pantai sistem intensif. Padat tebar benur juga lebih rendah, 100 ekor/m2. Tapi, nilai konversi pakan (FCR) berimbang, 1,3. Waktu pemeliharaan hampir sama, sekitar 60 – 100 hari.
Dari sisi biaya produksi, ia menyatakan, lebih rendah karena lebih hemat. Serangan penyakit juga bisa diminimalisir. Hingga siklus ketujuh belum pernah terserang penyakit, seperti myo, WSSV, WFD, dan AHPND yang banyak muncul di tambak pantai. Masa persiapan lebih cepat, cukup 3 hari, sementara di tambak air asin minimal 7 hari.
Kendati begitu, udang air tawar juga punya kelemahan. Yaitu, perlu penambahan mineral secara rutin dan benur salinitas nol harganya lebih mahal 30%. Apalagi, di musim hujan aplikasi mineral harus lebih banyak agar saat udang moulting tidak terjadi softcell.
Bedanya pada budidaya udang air asin, petambak was-was ketika hujan turun dan segera melakukan berbagai upaya agar tidak terjadi goncangan parameter air, seperti pH, suhu, salinitas. Pada budidaya udang air tawar jikapun hujan di siang hari, lebih adaptif perubahan suhu dan pH. Hanya, ia mengakui, musim hujan suhu air rendah sehingga nafsu makan udang juga turun.
Bagi petambak pemula, Mahfud mengingatkan, kunci sukses budidaya udang air tawar adalah benur. Benur harus berasal dari hatchery yang memproduksi benur salinitas nol dengan DOC 9-10. “Sebab saya pernah coba benur biasa dan benur gelondongan sama-sama menemui kegagalan,” bukanya.
Yang menarik dari kolam air tawar yaitu udang aman dikonsumsi warga yang alergi udang. “Walau dikonsumsi dalam jumlah banyak, permukaan kulit warga yang alergi tidak bakal gatal atau bentol-bentol. Sudah banyak kita buktikan kepada warga sekitar tambak,” jelas Mahfud.
Air limbah juga dinanti petani karena menyuburkan padi. Sehingga, mengurangi pemakaian pupuk dan berujung pada penurunan biaya produksi padi sawah.
Cegah Penyakit
Di tempat terpisah, Edi Sofyan, pemilik Hatchery Opye di Desa Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan menyebutkan, ia memproduksi benur salinitas nol sebagai terobosan bahwa benur vaname bisa hidup di salinitas 0 ppt. Pada tahap awal ia menguji coba di hatchery sampai PL 10. Setelah berhasil, baru dicoba di tambak.
Edi memproduksi benur salinitas nol sejak 2020. Awalnya benur dikirim ke tambak di Palas, lalu diikuti daerah lain. Kini permintaan benur untuk budidaya air tawar sudah banyak, antara lain dari Pesisir Barat hingga Medan, Indramayu, dan Kalimantan. Setiap bulan Edi memproduksi sekitar 1 juta – 1,5 juta benur salinitas 0 ppt.
“Benur vaname bersalinitas rendah lebih tahan terhadap serangan penyakit yang disebabkan virus dan bakteri, seperti WSSV dan lain-lain. Apalagi, makin lama serangan penyakit udang makin banyak,” tutur Edi yang pengalaman bekerja di berbagai hatchery sejak 1993.
Pemeliharaan benur salinitas rendah tak jauh berbeda dengan hatchery air laut. Hanya dalam operasional hatchery, induk dan pembesaran larva dibedakan lokasinya guna memenuhi syarat yang ditetapkan badan karantina ikan guna mendapatkan sertifikat CKIP (Cara Karantina Ikan yang Baik).
Menurut Edi, stadia nauplii 5-6 hingga zoea 1-3 prosesnya pemeliharaannya sama dengan benur salinitas tinggi. Mulai PL 1 sampai selanjutnya salinitas diturunkan 4 ppt hingga jadi 0 ppt.
Penurunannya tidak sekaligus, tapi 2 kali di pagi dan malamhari, masing-masing 2 ppt,menggunakan air tawar dari gunung. Dengan salinitas air laut di Kalianda 32 ppt maka selama 8 – 9 hari penurunan pada PL 9 – 10 sudah 0 ppt atau air tawar dan benur siap dikirim ke tambak.
“Tetapi dalam prosesnya ditunggu 2-3 hari guna memastikan kondisi benur normal dan tidak ada kematian dan sebelum panen tetap dilakukan kontrol kualitas. Sebelum ditebar dilihat dulu naupliinya guna memastikan tak ada yang mengendap di bawah,” urainya.
Untuk pakan, di stadia larva dari zoea 1 sampai mysis 3, selain pakan buatan juga diberikan plankton skeletonema yang lebih dulu dikultur. “Namun sejak ada artemia hidup dari I&V BIO, digunakan artemia instar karena lebih mudah, pengiriman setiap hari, bebas kontaminasi dan bebas vibrio,” tutupnya.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)