Foto: Dok. Agrina
Ekspor sawit harus bebas hambatan
Masa “bullish” minyak sawit tampaknya berakhir. Bagaimana prospek komoditas andalan Indonesia ini tahun depan yang dibayangi ancaman resesi?
Tahun ini para pelaku usaha kelapa sawit di Tanah Air benar-benar mencecap nikmatnya harga tertinggi sepanjang masa. Namun di sisi lain mereka juga mengalami dampak kurang menguntungkan yang berkepanjangan akibat larangan ekspor. Padahal larangan ini hanya berlaku selama 23 hari, 28 April sampai 22 Mei.
Berkah Bagi Indonesia
Pasar dengan permintaan yang kuat (bullish) tentu menguntungkan bagi Indonesia, sang produsen dan konsumen terbesar minyak sawit di dunia. Menurut Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), volume ekspor kita selama periode Januari-Juli 2022 lebih kecil ketimbang periode yang sama 2021, yakni 19 juta ton menjadi 15 juta ton atau turun 22%.
Kabar terbaru dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan, ekspor Agustus 2022 melonjak 60,2% sebesar 1,629 juta ton, dari 2,705 juta ton menjadi 4,334 juta ton. Kenaikan ekspor tertinggi berupa olahan crude palm oil (CPO), dari 1,923 juta ton menjadi 2,971 juta ton.
Menurut Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI, lonjakan ekspor ini karena pemerintah memberikan relaksasi berupa zero levy (pungutan ekspor nol) yang diperpanjang sampai Oktober 2022, dan rencananya Kemenko Perekonomian akan memperpanjang sampai akhir tahun.
“Karena harga internasional bagus, nilai ekspor meningkat, Januari-Agustus 2021 senilai US$23,4 miliar menjadi US$25,9 miliar pada periode yang sama 2022 artinya naik 11%,” ungkap Tungkot pada webinar “Minyak Goreng Sudah Terkendali, Masihkah DMO Sawit Dibutuhkan?” yang digelar Forum Jurnalis Sawit (16/9).
Tak hanya para produsen dan eksportir CPO beserta turunannya, para petani pun ikut kebagian berkah kinclongnya harga minyak sawit internasional. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dalam diskusi virtual “Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Goreng Bagi Petani Swadaya” (1/8) menunjukkan grafik harga TBS petani di Aceh hingga Papua Barat pada periode Januari-Juni 2022. Kisarannya Rp2.600-Rp3.900/kg.
Ketika pelaku usaha tengah menikmati rezeki nomplok, para konsumen minyak goreng di dalam negeri justru menjerit lantaran harga minyak goreng ikut terkatrol dua kali lipat, dari Rp12 ribu-Rp14 ribu hingga Rp25 ribuan/l. Hal yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Pemerintah pun meluncurkan sejumlah kebijakan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak goreng sawit di dalam negeri.
Pemerintah menambah kebijakan di luar bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) yang sudah berlaku. Tungkot mencatat ada enam kebijakan lainnya, yakni harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu/l; Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO); BK ditambah peningkatan PE; BK dan PE ditambah bantuan minyak goreng curah; pelarangan ekspor; pencabutan larangan ekspor, DMO dan DPO jilid 2, penghapusan subsidi minyak goreng curah; dan terakhir DMO, DPO, dan PE menjadi nol (lihat skema).
Kebijakan yang berubah-ubah selama satu semester 2022 tersebut cukup menyulitkan pelaku usaha dan tidak segera menyelesaikan masalah utama, yakni tersedianya minyak goreng dalam jumlah cukup dan terjangkau. Bahkan ketika DMO dan DPO mulai diberlakukan, pasar malah mengalami kelangkaan minyak goreng yang ekstrem.
DMO Bikin Seret Ekspor
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI melihat kebijakan DMO sebagai instrumen untuk menjamin ketersediaan minyak goreng di dalam negeri tapi di sisi lain malah menjadi penghambat ekspor. “Kompleksitas kebijakan DMO ini karena menuntut ada traceability compliance (bukti penyaluran produk CPO untuk kebutuhan domestik dengan harga sesuai ketetapan pemerintah, Red).
Untuk mendapatkan izin ekspor sangat dipengaruhi distribusi minyak goreng. Padahal kinerja distribusi minyak goreng sampai ke konsumen bukan tanggung jawab eksportir. Saya tetap punya pendapat, mekanisme subsidi terhadap 2,6 juta ton minyak goreng curah adalah yang terbaik dan bisa berkelanjutan (sustain),” bahasnya pada diskusi virtual itu.
Senada dengan Joko, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan, “Profil bisnis industri sawit kita adalah 35% produk untuk pasar domestik, 65% untuk ekspor. Kalau ada gangguan ekspor ya selesai, nggak ada ekspor ya tutup. Ekspor itu harus no barrier. Mekanisme DMO ribet. Pengalaman, Juni-Agustus kita terseok untuk ekspor karena perlu surveyor segala yang memverifikasi DMO yang sudah dilaksanakan. Dari DMO dikalibrasi ke PE. Dari PE cari pembeli keluar negeri, cari kapal. Kapal datang, pelabuhan penuh, bayar demurage. Jadi, DMO dan DPO dihapus saja, ganti dengan BK dan PE. Toh, minyak goreng sudah melimpah, bahkan bisa mencapai harga di bawah Rp14 ribu.”
Dr. Eugenia Mardanugraha, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyatakan, pembatasan ekspor sudah pasti menghambat pertumbuhan ekonomi. “Penelitian kami, penghentian ekspor 28 Apr-22 Mei itu mengurangi pertumbuhan ekonomi kuartal dua sebesar 3%. Pertumbuhan ekonomi kuartal dua harusnya bisa 8,44%. Akibat kebijakan itu hanya 5,44%. Indonesia rugi!” serunya dalam webinar Jurnalis Sawit. Tungkot menimpali, Indonesia kehilangan US$5 miliar akibat stop ekspor.
Untuk menjaga ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng curah, menurut Sahat, sebaiknya diserahkan ke pemerintah karena termasuk 11 komoditas pangan strategis. Dalam hal ini, ketersediaan minyak goreng menjadi salah satu tugas Badan Pangan Nasional.
Sementara distribusinya yang mencapai 17 ribu titik ke seluruh Indonesia menjadi tugas BULOG dan ID Food. Harga minyak goreng Rp14 ribu/lbisa dicapai bilaharga CPO bahan bakunya Rp8.900-Rp9.100/kg. Bila lebih dari itu, bisa diberikan subsidi ke distributor, yaitu BULOG dan ID Food. Produsen menjual ke distributor dengan harga sesuai keekonomian.
Pelarangan ekspor dan ketidaklancaran ekspor pascapelarangan berimbas sampai ke petani. “Pendapatan kami petani, baik plasma maupun swadaya sebelum pelarangan ekspor rata-rata Rp2,5 juta/ha/bulan. Ini hasil penelitian Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Riau dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Setelah pelarangan Rp200 ribu-Rp250 ribu/bulan/ha sudah alhamdulillah,” curhat Gulat.
Doktor alumnus IPB University tersebut menuntut keadilan bagi para petani. Ketika berhitung pajak ekspor, pemerintah mengacu ke harga CPO internasional. Sementara ketika menetapkan harga TBS petani, pemerintah mengggunakan harga CPO dalam negeri versi KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) yang nilainya 60% lebih rendah sebagai acuan. Walhasil, harga TBS petani selalu lebih rendah dari yang seharusnya.
Situasi Membaik
Seiring berjalannya waktu, pelaku usaha mau tidak mau beradaptasi dengan regulasi DMO dan DPO yang masih berlaku sampai naskah ini diturunkan. Penghapusan PE berjalan sejak Juli 2022 dan diwacanakan sampai akhir tahun.
“Ekspor kita sekarang alhamdulillah sudah meningkat, bisa dikatakan kembali seperti 2021, rata-rata 2,5 juta-3,5 juta ton per bulan. Agustus malah 4,334 jutaton lebih. Itu artinya pasar tidak menurun. Memang harga turun karena ada sentimen negatif, yaitu stok kita dan Malaysia meningkat. Stok minyak nabati lain juga oke. Dilihat secara supply – demand, suplainya cukup besar sehingga harga praktis stagnan. Harga berkisar US$1.000-1.200 di Rotterdam atau dalam ringgit 3.000-4.000 per ton,” tutur Eddy Martono Rustamadji, Sekjen GAPKI di kantornya (27/9).
Eddy menambahkan, volume CPO di tangki timbun sudah menipis, sempat mencapai 7 juta ton, Agustus tinggal sekitar 4juta ton. Ketika diminta pendapatnya tentang prediksi harga CPO yang sekitar 2.500 ringgit setara US$535 akhir tahun ini, dia tidak sepakat.
“Prediksi bisa benar, bisa tidak. Kami sendiri meyakini sampai akhir tahun masih seperti sekarang, tidak terjadi penurunan drastis. Justru yang menjadi tanda tanya 2023. Apakah 2023 akan terjadi resesi dunia seperti yang dikhawatirkan Bank Dunia? Jika Perang Ukraina belum selesai, kemungkinan akan terjadi penurunan permintaan,” lanjut Komisaris Utama PT Mega Karya Nusa, perusahaan perkebunan di Kabupaten Lamandau, Kalteng ini.
Kalaupun tahun depan terjadi penurunan permintaan, imbuh alumnus S1 Faperta UPN Yogyakarta dan S2 Ekonomi Universitas Indonesia ini, sawit punya keunggulan bisa dijadikan biodiesel.
“Tingkatkan saja campuran biodiesel dari B30 menjadi B40. Di satu sisi pemerintah hemat devisa dari berkurangnya impor solar dan di sisi lain pelaku usaha bisa terserap produksinya. Saya masih optimis, produksi ini tetap berjalan walaupun akan terjadi penurunan harga. Permintaan dunia pasti tetap berjalan karena minyak nabati merupakan kebutuhan pokok, baik pangan maupun nonpangan. Harga turun akan ada solusi,” ujar bapak yang sudah berkiprah di bisnis sawit sejak 1988 tersebut.
Antisipasi Resesi dan Usulan Kebijakan
Mempertimbangkan prediksi resesi global tahun depan, semua pelaku usaha dan ekonom yang terlibat di persawitan berharap pemerintah segera mencabut DMO dan DPO. Rossanto Dwi Handoyo, ekonom Universitas Airlangga dalam diskusi virtual “Ancaman Resesi, Peningkatan Ekspor Nonmigas dan Dampak Penerapan Kebijakan Ekspor CPO” yang digelar Forum Jurnalis Sawit, Senin 3 Oktober 2022, meminta pemerintah mewujudkan penyusunan platform Neraca Komoditas (NK).
NK bisa menjadi acuan data dan informasi yang mampu menjabarkan situasi konsumsi dan produksi suatu komoditas berskala nasional seperti CPO sekaligus sebagai data dan informasi proyeksi pengembangan industri nasional. Menurut Rossanto, melalui NK tersebut nantinya dengan mudah diketahui seberapa besar kebutuhan CPO dalam negeri untuk minyak goreng hingga target ekspor. Jadi berbagai regulasi pro dan kontra seperti DMO dan DPO bisa dihindari.
“Kebijakan sebagai upaya transparansi ini bermanfaat memberikan kepastian waktu bagi eksportir sawit, mendorong penyederhanaan tata niaga kelapa sawit di Indonesia yang kini masih terkesan tumpang tindih,” kata Rossantosembari menambahkan penyusunan NK perlu dikebut.
Tungkot menjelaskan, industri sawit bakal menghadapi dampak resesi ekonomi global dan inflasi (stagflasi) mulai akhir tahun ini hingga 2024. Resesi menurunkan permintaan minyak sawit global sehingga akan ditransmisikan pada penurunan harga CPO dunia. Disisi lain,kenaikan harga energi dunia dan bahan baku pupuk kimia ikut mendongkrak biaya produksi sawitdi kebun. Sekitar 40%-60%biaya produksi sawit adalah pupuk dan pemupukan.
“Perlu dilakukan subsitusi sumber pupuk anorganik dengan pupuk organik dan atau biofertilizer yang tersedia melimpah di kebun. Pengelolaan kebun juga harus dinamis tergantung pada perubahan lingkungan strategis. Pada level nasional peningkatan mandatori biodiesel B30 menjadi B40 dapat mengurangi kenaikan biaya energi,” tuntas Tungkot.
Peni Sari Palupi, Windi Listianingsih