Foto: Dok. Agrina
Data produksi hingga panen udang bisa tercatat dan terpantau dengan baik dengan menerapkan digitalisasi
Digitalisasi bisa digunakan untuk pemetaan penyakit sehingga menjadi sistem peringatan dini.
Selain dukungan program percepatan peningkatan produksi udang nasional, teknologi digital mengambil peran penting dalam mewujudkan budidaya udang yang berkelanjutan dan mengejar target kenaikan produksi 2 juta ton pada 2024. Bagaimana aplikasinya di lapang?
Shrimp Farming4.0
Menurut Liris Maduningtyas, CEO dan Cofounder JALA Tech, stratup teknologi budidaya udang, digitalisasi memudahkan untuk mengamati perkembangan budidaya udang secara online.
“JALA berdiri sejak 2018 dan salah satu pionir digitalisasi untuk industri udang indonesia. Bagaimana petambak-petambak udang Indonesia bisa input data-data budidaya ke aplikasi untuk monitoring tambaknya secara online. Sejak 2019 kita launching JALA apps, kita juga sangat-sangat intens untuk revolusi shrimp farming 4.0,” ujar Liris pada Musyawarah Nasional Shrimp Club Indonesia (Munas SCI) di Surabaya, Jawa Timur (24/8).
Saat ini ada 15 ribu pengguna yang sudah terdaftar dalam aplikasi JALA. “Petambak-petambak juga semangat sekali, semua juga berubah, revolusi industri lebih ke digital. Selama ini kita monitor lebih dari 9.000 ton udang setiap bulan, 10-30 ton produksi udang tiap bulannya, 500 ton lebih panen udang tiap bulan lewat JALA aplikasi. Impact-nya ke 306 petani skala kecil, 529 kolam di bawah manajemen yang berkelanjutan,” terang penerima penghargaan Forbes 30 Under 30 Asia pada 2021 itu.
Dalam pembahasan gambaran budidaya udang tahun 2021 dan 2022, Liris mengambil data tambak semiintensif dengan padat tebar kurang dari 100 ekor/m2, tambak intensif berkepadatan tebar 100-200 ekor/m2, dan tambak super intensif dengan kepadatan di atas 200 ekor/m2.
Rerata pengguna JALA yang membudidayakan udang secara intensif sekitar 44%, sistem super intensif 21,4%, dan semiintensif 34,6%. “Rata-rata days of cultivation (waktu budidaya) petambak Indonesia itu 83-84 hari. Kalau semiintensif 74 hari, super intensif 81 hari. Paling tinggi ini intensif, itu yang 84 hari,” jelas perempuan bertubuh mungil itu.
Berdasarkan kebiasaan, sambungnya, petambak Indonesia memulai siklus budidaya udang pada 2021 sekitar bulan Mei dan Oktober. Produksi udang drop di bulan Agustus karena terjadi musim mediding sehingga petambak memilih memanen udang dan menghindari penebaran benur untuk mencegah kematian. “Harvest-nya paling banyak itu bulan Agustus. Dari Januari 2021 sampai Juni 2022, yang paling terlihat (siklus budidaya) itu di Oktober 2021,” urainya.
Berdasarkan tren produtivitas, tambak super intensif kebanyakan menghasilkan udang sekitar 19 ton/ha dengan produksi terbaik atau top 10% sebesar 37 ton/ha.
“Selaras dengan apa yang Pak Menteri (Kelautan dan Perikanan) bilang, bisa sampai 40 ton/ha. Itu top 10% petambak super intensif,” lanjutnya. Dalam Munas SCI, Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono menyatakan, produktivitas tambak udang yang ada di Indonesia saat ini masih berkisar 0,6 ton/ha. “Namun dengan kerja keras, diharap terus bisa ditingkatkan menjadi 40 ton/ha,” terang Trenggono untuk mengejar target produksi udang 2 juta ton di tahun 2024.
Liris menambahkan, ada yang menarik dari produksi udang sistem intensif. Top 10% produksi tambak udang intesif pengguna JALA mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari tambak super intensif, sekitar 25 ton/ha. Sementara, rerata produktivitas budidaya udang sistem intensif sebesar 9-10 ton/ha.
Early Warning System
Membahas masalah penyakit, perempuan kelahiran 13 Januari 1992 itu menuturkan, produktivitas tambak udang yang terkena Enterocytozoon Hepatopeanei (EHP) sekitar 2 ton/ha. Sedangkan, udang yang terserang Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) rata-rata produktivitasnya 3,5-4 ton/ha.
“Top 10% (produktivitas) cuma 12 ton/ha. Nanti kalau ada petambak yang bisa survive sama AHPND, bisa sharing (berbagi) dengan teman petambak lain,” ulasnya. Udang yang terjangkit penyakit myo (Infectious Myonecrosis Virus, IMNV), produktivitasnya masih lebih tinggi, 10 ton/ha dengan produktivitas terbaik bisa 20 ton/ha.
Rata-rata angka kelulusan hidup (SR, survival rate) tambak udang yang terdata oleh JALA yaitu 62% untuk tambak super intensi, 82% pada tambak instensif, dan 72% di tambak semi intensif. Saat terserang penyakit, SR turun menjadi 30% untuk udang yang terkena AHPND. SR udang yang terserang myo masih bisa mencapai 70%, EHP 54%, dan white spot 55%. Liris menjabarkan, “Ini menunjukkan bahwa adanya penyakit lumayan membuat drop.”
Nilai konversi pakan (feed conversion ratio, FCR) udang juga cukup baik dengan rataan 1,5. “Tapi (FCR) super intensif malah rata-rata 1,7, meskipun top 10% bisa 1,2. Sementara, (FCR) intensif 1,5 rata-rata,” ungkapnya.
Mengupas pertumbuhan bobot harian (average daily gain, ADG), rataannya 0,2 g/hari untuk hampir semua tambak super intensif, intensif, dan semiintensif. Walaupun, ada pula performa tambak terbaik yang bisa mencapai 0,35–0,37 g/hari bahkan sampai 0,5-0,6 g/hari.
“Yang menarik kalau kena AHPND dibanding penyakit lain itu ADG-nya 0,3 g/hari atau lebih tinggi dibanding penyakit lain yang lebih rendah,” papar Sarjana Teknik UGM itu.
Keseluruhan data produksi hingga panen tersebut dengan mudah tercatat, terkoleksi, dan tertelusur melalui teknologi digitalisasi. “Kita juga memonitor beberapa sampel yang ada di Indonesia.
Harapannya, menjadi early warning system (sistem peringatan dini) kita ke depannya bahwa digitalisasi bisa digunakan untuk pemetaan. Jadi, semua bisa siaga dan saling bekerja sama.
Seperti penyakit udang, itu biasanya JALA memberikan informasi dan ke komunitas. Jadi, awareness dan early warning system terhadap penyakit, kita bangun bareng-bareng antara petambak dan industri digital,” tandasnya.
Dari sisi pasar, ungkap Liris, dari tahun 2019 ke 2022 harga udang masih stabil. “Memang naik-turun tapi paling stabil. Untuk 2022 size 70 ke besar itu harganya turun agak drastis. Artinya, harga udang itu yang turun malah size-size besar. Ini juga bisa menjadi awareness apakah kita mesti shifting ke size-size 90-100 yang jadi demand lagi banyak di situ,” jelasnya.
Karena itu, ia menyarankan petambak untuk panen di size kecil dulu karena harganya sedang bagus. “Nanti kalau harga size besar sudah bagus lagi, baru panen pas besar. Nah trik-trik seperti ini ‘kan bisa kita atasi,” ucapnya menyebut fluktuasi harga dapat diamati di platform JALA sehingga petambak bisa memperkirakan size udang yang mau dipanen.
Windi Listianingsih dan Try Surya Anditya