Minggu, 4 September 2022

Bergegas Mengejar Target Besar 2024

Bergegas Mengejar Target Besar 2024

Foto: Dok. Kementerian Kelautan dan Perikanan
Penetapan masterplan kawasan pertambakan potensial di Indonesia mendorong pengembangan investasi oleh swasta

Dibutuhkan masterplan kawasan pertambakan potensial di Indonesia didukung regulasi daerah yang kondusif agar swasta minat berinvestasi.
 
 
Pemerintah ngebut mengejar target ekspor udang senilai US$8 miliar pada 2024 dengan membuat Crash Program, Program Kerja Nasional Peningkatan Produksi Industri Udang tahun 2022-2024. Bagaimana program ini mendorong stakeholder bergerak bersama dengan cepat?
 
 
Crash Program
 
Target peningkatan nilai ekspor udang 2024 telah digaungkan sejak 2019. Namun, ungkap Mohamad Rahmat Mulianda, Asdep Pengembangan Perikanan Budidaya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), terjadi stagnasi kegiatan budidaya karena pandemi sehingga kegiatan yang seharusnya dipacu sejak awal mengalami keterlambatan dan tidak berjalan optimal.
 
Peningkatan ekspor tidak mungkin tanpa dukungan suplai bahan baku atau peningkatan produksi. “Ketika pandemi sudah mereda, kita harus membuat percepatan pencapaian target, percepatan untuk memproduksi dan peningkatan ekspor,” ulasnya.
 
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, Kemenko Marves menginisiasi Crash Program sebagai akselerasi peningkatan produksi dan ekspor udang dengan jangka cepat. “Jadi, ini harus menjadi faktor pengungkit kegiatan produksi dan ekspor udang selama 2-3 tahun ke depan sesuai target yang definitif harus kita upayakan,” terangnya kepada AGRINA (31/8).
 
Crash Program terdiri dari 10 bidang yang melibatkan kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT PLN, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
 
Bidang tersebut meliputi bidang perencanaan, monitoring, dan evaluasi; pengembangan kawasan tambak berkelanjutan; dukungan infrastruktur produksi; pengembangan input produksi; tata kelola dan kelembagaan; hilirisasi produksi dan pemasaran; hingga bidang pengembangan riset, pelatihan, dan penyuluhan.
 
Rahmat menuturkan, seluruh bidang berjalan paralel sejak inisiasi di awal 2022 meski baru resmi diluncurkan September ini. “Karena waktunya juga tidak lama,jadi semuanya harus bergerak sama-sama sejak T1(tahun pertama), bersinergi dari unsur hulu sampai hilir,” tukasnya.
 
Di hulu misalnya, menyelesaikan kepastian dan integrasi tata ruang darat dan laut. Selama ini korelasi tata ruang darat dan laut tidak sama sehingga aktivitas tambak sering kalah dengan aktivitas di hulu, seperti pencemaran dari industri masuk ke tambak udang. Ada pula konflik pemanfaatan tata ruang antara budidaya dengan pertambangan atau pariwisata. Lalu, rencana pengembangan sentra induk udang unggul di Bali.
 
Hilirisasi berupa peningkatan nilai tambah dengan memacu penguatan unit pengolahan ikan (UPI) di sentra industri udang. “Bagaimana meningkatkan standardisasi produk, masalah traceability-nya, sertifikasi, dan sebagainya. Jadi, kita upayakan di hilir pun peningkatan daya saingnya semakin baik,” urai Rahmat.
 
UPI lokal diharapkan bisa meningkatkan kualitas dan kapasitasnya untuk menghasilkan produk setara ekspor skala regional. Selain itu, penetrasi pasar udang nontradisional seperti Eropa yang serapannya masih sangat rendah dan Timur Tengah.
 
 
Bottleneck
 
Dalam menjalankan Crash Program, Rahmat mengaku, ada bottleneck (kemacetan) yang perlu segera diselesaikan. Salah satunya infrastruktur pendukung berupa saluran irigasi tambak. Irigasi di kawasan pertambakan belum sebagus irigasi persawahan. Kemenko Marves meminta Kemen-PUPR memberikan perhatian yang sama antara irigasi pertambakan dengan irigasi persawahan.
 
“Irigasi mutlak jadi urat nadi pertambakan rakyat. Kalau tambak industri, mereka bisa nyedot air dari laut. Kalau tambak rakyat, itu tergantung pada air pasang surut yang akhirnya tergantung irigasi yang ada. Jadi, kita akan menjadikan POKLINA (Kelompok Pengelola Irigasi Perikanan) jadi bagian dari komisi irigasi di setiap provinsi yang ada pertambakan. Selama ini POKLINA itu tidak jadi bagian komisi irigasi, hanya kelompok petani air saja. Kalau irigasi sudah bagus, akan memacu produktivitas tambak-tambak rakyat,” paparnya mendetail.
 
Sementara, tambak swasta didukung dengan perizinan yang kondusif. Rahmat mengungkap, perizinan juga menjadi handicap (rintangan) karena jumlahnya terlalu banyak ditambah ada penegakan hukum yang kurang pas sehingga petambak takut menjalankan usahanya.
 
Perizinan tengah disederhanakan melalui online single submission (OSS) dan dalam tahap penyempurnaan di BKPM. “Harapannya, bisa memacu semangat dan iklim investasi tambak udang dengan kemudahan perizinan dan juga penegakan hukumnya bersifat restorative justice. Pemerintah berusaha kuat untuk segera terimplementasi,” serunya.
 
Rujukan panduan perizinan ini akan segera dirilis agar tidak multitafsir di lapangan, khususnya oleh aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah (pemda). “Perizinan yang baru ini sudah rinci, jelas, tidak multitafsir. Nanti di OSS-nya pun akan mengikuti sistem perizinan ini,” sahutnya lagi.
 
Adanya “migrasi” sebagian peneliti KKP ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menjadi tantangan karena butuh kesepahaman dalam penetrasi kebijakan antarlembaga. “Sebaiknya peneliti pun melihat maunya pasar seperti apa, maunya konsumen seperti apa. Apa yang menjadi persoalan di lapangan harus dilihat sehingga penelitian itu langsung menjawab persoalan yang ada saat ini,” sarannya.
 
 
Masterplan
 
Agar target kenaikan ekspor 2024 tercapai dengan baik, Rahmat berharap KKP menggerakkan iklim dunia usaha dengan mendorong seluruh pemda berpartisipasi dalam program pertambakan udang. Maka, KKP perlu memprioritaskan pembuatan rencana induk (masterplan) kawasan pertambakan potensial di Indonesia. “Itu tidak ada yang bisa melakukan kecuali KKP,” tandasnya.
 
Masterplan tersebut secara ekonomi memiliki skala yang memadai untuk referensi kegiatan pertambakan di hulu dan hilir. “Nanti tinggal ditawarkan pada investasi swasta mengembangkan kawasan tersebut,” timpal Sarjana Perikanan lulusan IPB University ini. Kemudian, pemda harus mendukung pengembangan masterplan dengan regulasi daerah, seperti kemudahan investasi dan retribusi.
 
Pemerintah juga harus menyediakan infrastruktur pendukung seperti jalan raya, listrik, dan air di kawasan tambak. “Kalau kita petakan sudah lengkap, bagaimana infrastruktur pendukungnya untuk masuk kawasan pertambakan. Jangan sampai dibangun kawasan pertambakan, aksesibilitasnya susah, jalannya lumpur semua, susah listriknya. Kita akan koordinasikan dengan pihak KKP, ESDM, PLN, PUPR untuk bersama-sama memprioritaskan hal tersebut,” lanjut Rahmat.
 
Teruntuk para pelaku usaha, ia berpesan, “Yakin bahwa pemerintah memberikan pelayananyang optimal untuk perizinan, iklim yang kondusif untuk investasi, memberi kemudahan dari sisi layanan kredit, penegakan aturan. Kita akan mendekati dari restorative justice jadi tidak perlu kekhawatiran berlebih terkait penegakan hukum as long as aturan dipenuhi, tenang saja.”
 
 
Blue Economy
 
Rahmat percaya target produksi udang 2 juta ton bisa dicapai. “Ekuador yang panjang pantainya seperlima dari kita, bisa 1 juta ton kok. Saya yakin, komitmen semua pihak, kerja sama semua institusi, dan juga keterlibatan semua stakeholder, tidak hanya pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan unsur masyarakat, insyaallah bisa dilakukan,” tukasnya.
 
Menanggapi kemajuan pencapaiantarget produksi udang, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pihaknya terus mengejar revitalisasi lahan tambak. “Itu yang kita lakukan semaksimal mungkin, mudah-mudahan bisa tercapai di 2024 akhir.  Tahun ini kita bikin modernisasi dan revitalisasi,” ucapnya.
 
Mengikuti isu keberlanjutan lingkungan yang kian menguat di kancah global, KKP berkomitmen melaksanakan blue economy (ekonomi biru) melalui pengembangan budidaya perikanan darat, pesisir, dan laut dengan produk perikanan unggul, seperti udang, kepiting, lobster, dan rumput laut. “Blue economy salah satunya untuk menjaga keberlangsungan pangan karena yang diutamakan adalah menjaga ekologi. Kalau ekologinya kuat, ekonominya akan sustain,” ujar Trenggono kepada AGRINA (22/8).
 
Di sisi pelaku usaha, Joseph Pangalila, Vice Chairman of Marine & Fisheries Kadin Indonesia menjelaskan, Kadin telah melakukan MoU program blue economy bidang kelautan dan perikanan dengan KKP. Joseph juga mengusulkan 6 hal untuk budidaya udang berkelanjutan terintegrasi.
 
Pertama, aplikasi teknologi Internet of Things (IoT) untuk efisiensi bisnis dan daya saing. “Nantinya ada aplikasi yang mengintegrasikan air dan memonitoring pakan, biosekuriti, weather station, fences, dan manajemen alat-alat yang komprehensif,” terangnya pada Musyawarah Nasional Shrimp Club Indonesia (Munas SCI) ke-5, Rabu (24/8).
 
Pola ini yang dilakukan startup perikanan, semisal JALA Tech, startup teknologi budidaya udang berbasis IoT. Liris Maduningtyas, CEO dan Cofounder JALA Tech mengatakan, “Kita berfokus pada digitalisasi budidaya udang nasional. Sejak 2019 kita launcing JALA apps, kita juga sangat-sangat intens untuk revolusi shrimp farming 4.0. Kita launcing aplikasi jadi petambak bisa input data.”
 
Kedua, sambung Joseph, mengurangi penggunaan energi fosil dengan energi baru yang berkelanjutan seperti solar photovoltaic (PV) system atau tenaga angin. “Sekarang sudah banyak yang pakai solar PV terutama di pabrik-pabrik,” katanya. Ketiga, alternatif input dengan lebih sedikit jejak karbon (carbon footprint), yaitu jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. “Jangan sampai input kita untuk membesarkan udang dari hal-hal yang tidak sustain,” jelasnya.
 
Keempat, manajemen kualitas air yang canggih. Kelima, kombinasi budidaya udang dengan tanam mangrove. Sebab, Indonesia juga ditandai sebagai penghasil deforestasi mangrove yang sangat besar. “Pemerintah sudah menargetkan green forestasy di mangrove itu 600 ribu ha. Nanam mangrove ini juga bisa menghasilkan uang. Kita bisa menjual national terrestrial carbon sink,” ucapnya.
 
Terakhir, kolaborasidengan pembudidaya udang tradisional. “Mengimplementasikan blue economy dalam industri udang tidak hanya menekankan pertumbuhan sustainability untuk investor tapi juga menciptakan pengaruh yang kuat kepada lingkungan yang lebih baik dan meningkatkan mata pencaharian penduduk lokal,” pungkasnya.
 
 
 
 
 
Windi Listianingsih dan Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain