Foto: Try Surya Anditya
Fase starter menggunakan pakan berprotein 20% untuk membantu awal masa awal pertumbuhan
Itik hibrida memiliki ketahanan yang baik terhadap penyakit. Umur 40 hari sudah bisa dipanen dengan bobot 2 kg.
Ragam jenis kuliner bebek atau itik makin menjamur di pasaran. Bukan hanya kelas restoran, tapi lapak-lapak di pinggir jalan dan gerobakan juga enyajikan beragam pilihan bagi konsumen. Sajian menu bebek pun bervariasi tidak sekadar bebek goreng. Maraknya jenis kuliner ini turut mendongkrak produksi di sisi hulu. Dari sini pun, beternak bebek dinilai menjadi ladang usaha baru yang menjanjikan.
Sebelumnya, menu bebek di rumah makan masih banyak yang memanfaatkan bebek afkir. Setelah ada introduksi bibit pedaging unggul seperti itik hibrida, budidaya khusus itik pedaging jadi meningkat. Albert, Technical Consultant & Marketing Putra Perkasa Genetika (PPG) mengamini, semenjak ada terobosan dalam perkawinan silang antara itik lokal dengan itik peking, tren permintaan bibit itik hibrida selalu positif.
Hal ini terukur dari penjualan DOD (Day Old Duckling) perusahaannya yang menyentuh 400 ribu ekor per bulan. Ia mengulas, pada awal mula PPG berdiri, penjualan DOD hanya di kisaran 6.000ekor per bulan pada 2013.
Hal serupa dikatakan Agung Suganda. Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH),Kementerian Pertanian. Menurutnya, itik pedaging merupakan salah satu komoditas yang akan terus dikembangkan di Indonesia lantaran makin hari konsumsi dagingnya meningkat dan mampu mengangkat ekonomi masyarakat.
Data Kementerian Pertanianmenunjukkan, produksi itik nasional pada 2020 mencapai 48.245.164 ekor. Kemudian pada 2021, jumlahnya meningkat menjadi 50.311.991 ekor. Populasi terbanyak berada di Jawa Barat sebesar 9,9 juta ekor, Jawa Timur 6,6 juta ekor, Jawa Tengah 5,5 juta ekor, dan Sulawesi Selatan 5,2 juta ekor.
Menangkap Peluang
Besarnya peluang laba dari budidaya itik menarik minat peternak-peternak baru untuk memberanikan diri memulai usaha. Salah satunya, Muhamad Saugi, pemilik Indonesia Urban Poultry, peternakan itik hibrida di daerah Tangerang Selatan, Banten,yang baru berjalan sekitar tiga tahun. Sebelum menjadi peternak itik, Syaugi berkecimpung di bidang penerbitan dan periklanan. Ia pun tengah bertani hidroponik di daerah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurut Syaugi, ternak pembesaran itik hibrida tidak terlalu sulit. Poin pentingnya adalah pemenuhan aspek nutrisi pakan, ketersediaan air minum, dan kandang yang sehat. Meskipun tidak memiliki latar belakang peternakan, pria lulusan Fisip Universitas Parahyangan, Bandung ini, mencari ilmu dengan bertanya pada ahli serta membaca jurnal-jurnal penelitian.
“Awalnya ingin beternak bebek peking tapi bibitnya sulit didapat. Akhirnya memutuskan itik hibrida. Setelah dipelajari itik hibrida pasanya stabil untuk semua kalangan masyarakat. Modal awal sekitar Rp75 juta sudah termasuk biaya operasional satu periode. Insyaa Allah setahun hitungannya sudah balik modal,” bebernya saat dijumpai AGRINA, Senin (15/8).
Saat ini, ia tengah mengelola tiga kandang itik dengan kapasitas produksi sekitar 700 ekor per kandang. Dengan harga jual Rp27 ribu/kg, itik sudah bisa dipanen setelah perawatan selama kurang lebih 40 hari dengan bobot 2 kg/ekor dan mortalitas sekitar 5-10%.
Ayah dua anak itumenceritakan, permintaan itik konsumsi tetap stabil. Hanya saja, adanya pandemi covid-19 sempat membuat permintaan tersendat. Namun, tutupnya rumah-rumah makan dan pembatasan bermobilisasi justru membuat dirinya bertemu dengan pembeli langsung tanpa melalui pengepul.
“Tren bisnis bebek pedaging ini bagus. Low season (pasar sepi) itu hanya dua kali setahun. Pertama, menjelang dan setelah Idul Fitri. Kedua, saat Idul Adha karena banyak pengusana bebek madura yang mudik,” akunya.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 339 terbit September 2022 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.