Foto: - WINDI LISTIANINGSIH
Pengembangan bahan baku pakan lokal menjadi upaya pemerintah mengatasi kenaikan harga global
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Kondisi pandemi Covid-19 ditambah kekeringan ekstrem yang terjadi di negara produsen protein nabati utama hingga konflik perang Rusia dan Ukraina berdampak signifikan pada stabilitas pasokan dan harga bahan pakan perikanan budidaya (akuakultur) di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dalam dua tahun terakhir harga bahan baku pakan akuakultur, seperti bungkil kedelai (soy bean meal – SBM), terus menanjak. Kenaikan harga bahan baku pakan membuat biaya produksi akuakultur turut membengkak. Sementara, daya beli konsumen produk perikanan budidaya belum sepenuhnya pulih akibat pandemi. Selain itu, konsumen global juga semakin menuntut bahan baku pakan yang berkelanjutan untuk memproduksi ikan.
Hal inilah yang melandasi Dewan Ekspor Kedelai Amerika Serikat (USSEC), Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengadakan Indonesia Aquafeed Conference (IAC) 2022.
Ujang Komarudin, Direktur Pakan dan Obat Ikan, DJPB KKP menjelaskan, tantangan terbesar yang kini dihadapi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan nasional di tengah kondisi penurunan lingkungan dan perubahan iklim. Kondisi tersebut tentu berdampak pada menurunnya produktivitas akuakultur. “Mari bersama-sama kita menciptakan perkembangan pangan kontinu,” ucap Ujang dalam sambutannya mewakili Dirjen Perikanan Budidaya, TB Haeru Rahayu, di Jakarta (20/7).
Menanggapi fluktuasi harga bahan baku pakan global, Ujang menyatakan, pemerintah mendorong pengembangan bahan pakan berbahan baku lokal, seperti tanaman Indigofera. “Kenaikan harga bahan baku pakan memang sesuatu yang sulit dihindari. Upaya kita bagaimana mencari bahan baku lokal. Kedua, inovasi dalam hal formulasi (pakan). Sekarang ini kita puas dengan FCR 1,2 atau 1. Ke depannya seharusnya bisa lebih rendah lagi sehingga akan ada efisiensi sehingga lingkungan dan pembudidaya diuntungkan,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Jasmine Osinski, Atase Pertanian Departemen Pertanian Amerika (USDA) menuturkan, akuakultur Indonesia mengalami peningkat 5% setiap tahun. Selain itu, perekonomian Indonesia pun naik secara bertahap.
“Sebanyak 70% ekspor udang Indonesia berakhir di piring warga Amerika Serikat. Berdasarkan berbagai survei, warga AS ketika makan di resto atau tempat makan lainnya, mereka akan lebih memilih makanan seperti ikan dan kerang. Maka dari itu, mari lebih banyak menghasil produk akuakultur berkualitas untuk konsumen dunia,” pungkasnya.
IAC 2022 berlangsung pada 20-21 Juli 2022 dengan menyajikan seminar inovasi dan teknologi di bidang pakan akuakultur yang disampaikan oleh pembicara ahil dari dalam dan luar negeri. Di antaranya, Henry Wong – PT Alltech Biotechnology Indonesia membahas survei pakan akuakultur dan mikotoksin serta implikasinya terhadap Industri pakan Indonesia.
Kemudian, Nguyen Van Tien – PT Evonik Indonesia memaparkan tentang solusi digital dan big data untuk manajemen kualitas bahan baku pakan di produsen pakan, serta Lukas Manomaitis - USSEC menyampaikan tentang tantangan keberlanjutan masa depan untuk pasokan bahan pakan global.
Dr. Dominique Bureau dari University of Guelph yang memaparkan mengenai formulasi pakan akuakultur di tengah ketidakstabilan harga komoditas. Dr. Allen Davis dari University of Auburn menjelaskan berbagai aplikasi enzim dalam produk pakan akuakultur.
Dr. Ichsan Ahmad Fauzi dari IPB University menerangkan tentang penggunaan bahan aditif dalam pakan akuakultur. Dr. Mian Riaz dari Texas A&M University menjelaskan tentang pemilihan bahan dan kontrol kepadatan dalam produksi pakan. Menutup presentasi seminar hari pertama, Jesse Mitchell dari Wenger membahas perihal peningkatan kualitas pakan dengan teknologi manufaktur canggih.
Windi Listianingsih