Selasa, 19 April 2022

Industri Hilir Sawit Tetap Tumbuh Di Tengah Pandemi

Industri Hilir Sawit Tetap Tumbuh Di Tengah Pandemi

Foto: ist.


Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Pelaku industri hilir kelapa sawit dalam negeri optimis produksi dan permintaan akan tumbuh di tahun ini. Permintaan ini bersumber dari pulihnya kegiatan perekonomian masyarakat di tengah pandemi.

“Tahun ini, konsumsi sawit di sektor makanan akan tumbuh 3,8% dibandingkan 2021. Faktor pendorong berasal dari mobilitas masyarakat yang semakin tinggi setelah redanya Covid-19. Bisnis juga sudah membaik,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), (18/4).


Konsumsi minyak sawit untuk segmen makanan di tahun ini diperkirakan 7,2 juta ton atau tumbuh 3,8% dari 2021 sebesar 6,94 juta ton. Pemakaian sawit di segmen makanan tahun ini terdiri dari 882 ribu ton untuk margarin, 850 ribu ton untuk shortening&specialities fats, 1,2 juta ton untuk minyak goreng curah, 2,29 juta ton untuk curah, dan 1,91 juta ton untuk industri.

Sahat menyebut, persoalan kelangkaan minyak goreng ini perlu diantisipasi di masa depan agar tidak lagi terulang. Salah satu penyebabnya adalah minyak goreng tidak termasuk 10 komoditi pangan nasional. “Seharusnya minyak goreng masuk ke dalam komoditi pangan nasional yang didukung aturan jelas,” ungkapnya.


Persoalan lain adalah pemerintah tidak konsisten dalam pelarangan minyak goreng curah. Sahat menguraikan seharusnya minyak goreng curah sudah dilarang semenjak 2022. Tetapi kebijakan larangan minyakg goreng curah dihapuskan. Kementerian Perdagangan setelah itu mengeluarkan Permendag Nomor 72/2021 yang memperbolehkan minyak goreng curah untuk jalan terus.

Di sektor biodiesel, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) tetap berkomitmen mendukung mandatori biodiesel bauran 30% atau B30 sesuai regulasi pemerintah. Pada 2021, jumlah alokasi penyaluran B30 sebesar 10.257.952 Kl. Selanjutnya alokasi penyaluran tahun ini sebesar 10.151.018 Kl.
Untuk kebutuhan domestik maka besaran volume dan wilayah pasokan mengikuti aturan Keputusan Menteri ESDM Nomor 150/2021. “Jadi kebijakan biodiesel ini berdasarkan kepada regulasi dan aturan yang ditetapkan pemerintah,” tutur Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI.


Ia mengatakan produsen biodiesel ibarat tukang jahit yang menerima jasa. Tidak ada insentif dan subsidi yang diterima produsen biodiesel karena biodiesel dibeli dengan harga keekonomian. Besaran harga indeks biodiesel diatur oleh Peraturan Menteri ESDM. Konsistensi program biodiesel berdampak positif kepada iklim investasi. Paulus menuturkan pembangunan pabrik biodiesel terus meningkat sampai tahun ini, jumlah kapasitas terpasang produksi biodiesel mencapai 16,6 juta Kl.


“Sudah ada 2 sampai 3 investor yang berminat untuk membangun pabrik biodiesel baru,” kata Paulus.


Sementara itu, Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN mengatakan, pasar ekspor oleokimia terus meningkat sepanjang lima tahun terakhir. Pada 2019, volume ekspor oleokimia mencapai 3,22 juta ton dengan nilai US$ 2,04 miliar. Volume ekspor kembali naik menjadi 3,77 juta ton dengan nilai US$2,77 miliar pada 2020. Sepanjang 2021, volume ekspor tumbuh menjadi 4,2 juta ton dan nilainya US$4,4 miliar.


“Pada 2022, ekspor ditargetkan naik menjadi 4,4 juta-4,7 juta ton. Nilai ekspornya diperkirakan menjadi US$ 4,7 miliar,” jelasnya.
Negara tujuan utama pasar ekspor oleokimia adalah Tiongkok, India, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Kendati demikian, kata Rapolo, produk oleokimia Indonesia menghadapi tuduhan subsidi dari India. Itu sebabnya, asosiasi bersama pemerintah berupaya menjawab isu ini supaya Indonesia tidak kehilangan pasar ekspor oleokimia di India.


“Jika Indonesia kalah akan kehilangan potensi pasar oleokimia di India mencapai Rp 8 triliun,” urainya.


Di Eropa, tuduhan dumping juga dialamatkan kepada produk oleokimia Indonesia. Saat ini, dikatakan Rapolo, asosiasi berupaya menjawab tuduhan tersebut di World Trade Organization (WTO) sampai 2024. APOLIN juga menggandeng kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.


Rapolo juga menuturkan industri oleokimia meminta komitmen pemerintah terkait harga dan alokasi gas. Dalam PERPRES No. 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi bahwa industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang mendapatkan harga gas sebesar US$6 per MMBTU.
Tetapi, ada persoalan berkaitan kepatuhan pemasok gas untuk memberikan harga sesuai Perpres 121/2020. Menurut Rapolo, pasokan gas yang diberikan harga senilai US$6 per MMBTU hanya sebesar 80% dari total kebutuhan. Sisanya 20% pasokan gas dijual sesuai harga komersil di luar aturan.

“Pasokan gas ini sangat penting bagi daya saing industri oleokimia. Kami harapkan pemerintah dapat menyelesaikan persoalan harga gas ini,” tandasnya.

Try Surya A


 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain