Jumat, 24 Desember 2021

Menakar Peluang "Emas Cair" Tahun Depan

Menakar Peluang

Foto: DOK. AGRINA
Sawit mengalami zaman keemasan

Senyum para pelaku industri sawit terus mengembang sepanjang tahun ini karena harga CPO bertengger di atas US$1.000. Bertahan berapa lamakah?

 

Tahun ini komoditas kelapa sawit benar-benar mengalami zaman keemasan. Minyak sawit ibarat emas cair. Harga jual minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) global berayun di kisaran paling rendah CIF Rotterdam US$962,5 (14 Juni 2021) dan paling tinggi US$1.450 (19 Oktober 2021) per ton. Sampai naskah ini diturunkan, harga harian CPO 1-10 Desember 2021 masih bertahan di angka US$1.290-US$1.345 per ton. Sementara di tingkat petani Indonesia, harga tandan buah segar (TBS) bisa menjejak angka Rp3.000-an/kg.

 

Zaman keemasan ini membahagiakan seluruh rantai pasok minyak sawit mulai dari petani, para pekerja di perkebunan, produsen benih, eksportir produk sawit, hingga negara. Semuanya mendapat berkah. Pertanyaannya, mengapa terjadi harga yang ekstrem itu dan sampai kapan akan bertahan? Di sinilah para analis kondang lokal dan internasional memaparkan buah pikirnya dalam gelaran tahunan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2021 & 2022 Price Outlook yang dihelat secara virtual 1-2 Desember 2021.

 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, gelaran prestisius yang dihadiri 1.000 orang lebih dari 27 negara ini menghadirkan dream team speakers, yaitu Togar Sitanggang, Dorab E. Mistry, Thomas Mielke, dan James Fry. Belum lagi pembicara yang mewakili tiga pasar besar dunia dan Indonesia khususnya, China, India, dan Pakistan.

 

Harga berkisar US$1.000 – US$1.250

Togar Sitanggang, Waketum GAPKI IIImengatakan, “Ada sejumlah alasan mengenai perkembangan sawit Indonesia dan harga CPO yang mencapai tertinggi sepanjang masa dan saat ini masih melayang-layang sangat tinggi.”

 

Dari sisi suplai, ia pernah memperkirakan produksi Indonesia akan terangkat pada Oktober 2021 lalu menurun saat November dan Desember, seperti pola biasanya. Namun, ternyata produksi abnormal rendah dari Juli–September berlanjut sampai November, bahkan Desember.

 

Produksi CPO dalam jangka pendek dipengaruhi rendahnya harga pada 2018-2019 sehingga perusahaan besar dan petani menunda pemupukan, bahkan tidak memupuksama sekali. Musim kemarau 2019 menimbulkan dampak ganda pada produksi sawit Indonesia menjadi sangat tidak normal. Tahun ini tidak terjadi bulan-bulan produksi puncak.

 

Dalam jangka angka menengah, suplai 2022 Indonesia diawali dengan stok tipis. Dan kuartal pertama biasanya produksi paling rendah sepanjang tahun. Dan dalam jangka panjang, produksi Indonesia dipengaruhi produktivitas petani yang kini menguasai 40% kebun sawit nasional. Produkivitas rata-rata mereka sangat rendah dan belum terangkat melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

 

Karena itu, “Saya melihat produksi Indonesia akan berkurang sekitar 1% tahun ini dibandingkan tahun lalu,” kata alumnus University of Southern California, Amerika Serikat itu. Dalam paparannya, produksi 2021 diperkirakan 51,058 juta ton (CPO 46,623 juta dan PKO 4,435 juta ton), berkurang 525 ribu ton (1,017%).

 

Meneropong 2022, dari sisi permintaan, Togar cukup optimistis dengan adanya pemulihan ekonomi. Permintaan oleokimia masih akan tumbuh meskipun tidak sebesar 2021. Mandatori biodiesel juga masih diimplementasikan pada level B30. Produksi CPO bakal naik hanya 3%, mencapai 48 juta ton. Pertumbuhan produksi maksimum 3% ini akan terjadi sampai 2025 dan setelah itu grafiknya mendatar.

 

Berdasarkan analisis Togar, “Harga akan tetap tinggi sampai akhir tahun dan mungkin akan berlanjut sampai akhir semester pertama 2022. CPO FOB Indonesia berkisarUS$1.000 – US$1.250/ton. Saya sangat yakin bakal di atas US$1.000, minimal sampai akhir pertengahan 2022. Mungkin bahkan berlanjut sampai akhir tahun. Jadi, sepanjang tahun depan akan berada di atas US$1.000,” papar General Manager PT Musim Mas yang aktif di GIMNI, Aprobi, dan DMSI ini.

 

Menurun pada Semester Dua

James Fry, Ketua LMC Internasional memperlihatkan korelasi Oceanic Nino Index (ONI) dengan pola produksi sawit Indonesia dan Malaysia sejak 2009-2021. ONI merupakan parameter utama yang digunakan NOAA untuk menyesuaikankejadian fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina. ONI positif sampai di atas +0,5 berarti terjadi El Nino.Sebaliknya,ONI di bawah -0,5 berarti La Nina eksis. Grafik pola produksi sawit ditumpuk dengan pola ONI.

 

“Hasilnya menarik. Saat ini kita sedang dalam periode La Nina panjang, ONI naik, produksi sawit Indonesia naik. ONI turun, produksi turun dengan panduan siklus 2012. Saya berkesimpulan tiga tahun berturut-turut, 2020-2022, tidak ada pertumbuhan produksi sawit di Asia Tenggara. Ini salah satu alasan mengapa harga minyak sawit sangat tinggi karena kondisi Malaysia yang sangat kekurangan tenaga kerja,” ungkap Fry.  

 

Alasan lainnya, minyak nabati lain tidak mampu menutup kekurangan suplai. Kanada dilanda kekeringan hebat sehingga produksi kanolanya sangat anjlok. Minyak bunga matahari Laut Hitam pun hanya pulih setara produksi 2019. Pun minyak kedelai sebagai minyak nomor dua dunia juga gagal memenuhi kebutuhan. Argentina sang eksportir terbesar diterpa kekeringan dan sungainya terlalu dangkal untuk dilewati kapal.

 

Amerika Serikat dan Brasil berproduksi bagus tetapi China sebagai konsumen utama tak banyak impor. Biasanya negeri tirai bambu ini impor kedelai lalu menggerusnya. Minyaknya untuk konsumsi manusia, bungkilnya dijadikan pakan ternak terutama babi. Namun, pada awal 2021 peternakan babinya diamuk penyakit African Swine Fever dan Covid-19 melanda. Jika semua digabung, terbatasnya produksi minyak sawit, rapeseed, minyak kedelai, dan implementasi mandatori biodiesel, akhirnya suplai minyak sawit global tertekan.

 

Analisis asal Inggris itu menyimpulkan, dengan suplai sawit dan rapeseed oil yang seret, penggunaan bungkil kedelai terbatas, produksi kedelai tidak optimal, dan sudah ada sinyal harga tinggi menekan permintaan pangan, maka hanya ada dua faktor yang memoderasi harga CPO sampai pertengahan 2022. Yaitu, kenaikan suku bungadan keraguan AS sebagai pengguna biodiesel utama. Pada paruh kedua 2022 suplai minyak sawit dan “soft oil” kembali membaik sehingga harga menurun.

 

 

Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 330 terbit Desember 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain