Foto: DOK. PIPIT CANDRA
Kentang bioteknologi tingkatkan produksi dan pendapatan petani
Bioteknologi diklaim dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Hawar daun termasuk penyakit utama dalam budidaya kentang. Penyakit yang disebabkan cendawan Phytophthora infestans ini dapat mengurangi hasil panen sekitar 50% hingga 100% alias gagal panen. Selama ini petani banyak bergantung pada aplikasi fungsida dalam mengurangi dampaknya.
Karena itu para peneliti pertanian mengembangkan bioteknologi untuk mengendalikan penyakit hawar daun, mengurangi pencemaran lingkungan karena penggunaan pestisida yang berlebih, meningkatkan kualitas, mengurangi biaya pestisida, meningkatkan hasil panen, dan meningkatkan pendapatan petani.
Sinergitas, Hasilkan Kualitas
Menurut Muhammad Herman, Wakil Koordinator Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH), proyek penelitian kentang tahan hawar daun melibatkan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) dengan lembaga peneliti dari dalam negeri dan luar negeri pada 2003-2021. Tiga pihak yang terlibat dalam proyek, Universitas Cornell dan Universitas Wisconsin di Amerika Serikat, BB Biogen dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung.
Penelitian itu didanai United States Agency for International Development (USAID) pada 2006 melalui proyek Agricultural Biotechnology Support Project Phase II (ABSP II). “Kolaborasi penelitian dilakukan pada 2006 hingga 2021. Prosesnyapanjang dalam mengembangkan kentang PRG dan telah mendapatkan izin untuk komersialisasi pada 12 Juli 2021,” katanya saat webinar “Manfaat Adopsi Tanaman Biotek Bagi Petani”digelar IndoBIC Biotrop bulan lalu.
Herman menjelaskan, perakitan tanaman kentang produk rekayasa genetik (PRG) tahan penyakit hawar daun dilakukan dengan menyisipkan gen RB yang diisolasi dari tanaman kentang liar dan menghasilkan kentang PRG varietas Katahdin SP951. “Varietas Katahdin merupakan kentang transgenik dikembangkan oleh Universitas Wisconsin yang memiliki kandungan gen RB. Gen RB merupakan gen tahan terhadap penyakit hawar daun. Hasil dari PRG Katahdin SP951 akan disilangkan dengan kentang varietas lokal seperti granola dan atlantik. Kedua varietas tersebut paling diminati petani lokal,” terangnya.
Penelitian selanjutnya dilakukan pada 2006 untuk membandingkan kentang nonbiotek dengan persilangan kentang granola dan PRG Katahdin SP951 di lokasi penelitian Pasir Sarongge, Cianjur; Lembang dan Pangalengan, Kab. Bandung, ketiganya di Jawa Barat dan Banjarnegara, Jawa Tengah.Ternyata tanaman kentang nonbiotek mati, sedangkan persilangan biotek tumbuh subur. “Hasil persilangan varietas granola dengan PRG Katahdin SP951 dan varietas atlantik dengan PRG Katahdin SP951 tanamannya terlihat baik, subur, dan potensi hasil lebih tinggi dibandingkan nonbiotek,” ungkap Doktor Patologi Tumbuhan, Universitas Georgia, AS tersebut.
Irit Pestisida
Masih menurut Herman, studi Balitsa 2006-2015 menunjukkan, dalam satu kali budidaya ketang granola, petani melakukan penyemprotan fungisida 10-20 kali untuk mengendalikan penyakit hawar daun melakukan penyemprotan fungisida 10-20 kali. Hasil penelitian Balitsa, tanaman kentang PRG pada 45-50 Hari Setelah Tanam (HST) tumbuh baik tanpa penyemprotan fungisida, kentang non biotek pada umur yang sama harus melakukan penyemprotan 10 kali. Jadi, penanaman kentang tahan penyakit hawar daun diklaim dapat menghemat biaya penyemprotan kurang lebih 50%-80% atau Rp4,09 juta-Rp6,9 juta/ha
Hasil panen kentang granola biotek berkisar 32,44 ton/ha pada lahan tidak disemprot fungisida, sedangkan yang di lahan tanpa fungisida menghasilkan sekitar 35,8 ton/ha.Selisihnya cukup tipis. Hasil granola nonbiotek berkisar 7,96 ton/ha pada lahan tidak disemprot pestisida, sementara yang disemprot pestisida hasilnya 11,6 ton/ha. “Ini akan sangat menguntungkan petani karena dapat mengurangi penggunaan pestisida bahkan tanpa perlu disemprot. Harapannya bisa mengurangi penggunaan fungisida sampai 90%-100%,” ulas Herman.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 330 terbit Desember 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.