Foto: Dok. Fuad A.
Bisnis lele marinasi “meledak” saat pandemi
“Lele itu pasarnya nggak habis-habis deh,” seru Donny Pasaribu.
Bisnis lele marinasi alias lele berbumbu siap masak semakin marak. Berbagai kemasan lele marinasi ini aktif dijajakan via lapak daring baik dengan merek, seperti Lele Bumbu, Less Go, Rosalina, SimbioZen, maupun curah alias tanpa merek. Dengan margin keuntungan berkisar 20%-40%, kue bisnis lele marinasi semakin lezat dinikmati.
Tren Lele Marinasi
Menurut Donny Pasaribu, pendiri Simbiofish, startup agribisnis lele terintegrasi, bisnis lele marinasi sudah cukup lama eksis. Namun, kehadiran Covid-19 diiringi pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat permintaan lele marinasi semakin tinggi.
“Sejak pandemi meningkat drastis permintaannya karena orang malas pergi keluar. (Permintaan) hampir 200% melonjak, dari orang yang biasanya kadang-kadang aja beli, terus sekarang sampai habis terus,” jelasnya.
Simbiofish mulai memproduksi lele bumbu kuning berlabel SimbioZen pada Desember 2019 sebelum Corona merebak. Penjualannya lewat lapak daring dan reseller.
Selain itu, juga memasarkan lele segar untuk pecel lele dan olahan. Donny menambahkan, permintaan lele untuk bahan baku marinasi dan fillet cukup signifikan. Dari 1 ton lele yang diproduksi setiap hari, sekitar 10% atau 100 kg dijual untuk kebutuhan lele bumbu dan fillet.
“Mitra kita banyak. Ada mitra yang hanya ambil lele segar, mitra jadi reseller: kita bikin, mereka jual. Jadi, mitra beli lele segar dari kita terus mereka bikin sendiri,” katanya. Para mitra memodivikasi lele marinasi dengan aneka sambal, seperti sambal matah, sambal arsik, sambal andaliman, atau dengan bumbu lain, misalnya lele asap.
Saripudin, pemilik Rosalina OS Frozen Food di Depok, Jabar, mengungkap hal serupa. Penjualan lele marinasi di lapak daring dan aplikasi pesan singkat laris-manis.
“Awal kita jualan online itu ayam segar yang malah lebih laris. Ada customer (pelanggan) nyoba lele sama nila bumbu, banyak yang suka. Responnya baik, positif. Yang awalnya pesan sekilo jadi 2 kg, disampaiin ke teman-temannya,” ulasnya.
Mulanya pria yang membuka usaha pemotongan ayam ini jualan ayam dan ikan segar secara ofline. “Sejak pandemi Corona banyak orang PSBB. Nah, kami coba layani langganan pakai online. Idenya dari istri, ‘kan memang senang masak. Jadi biar praktis, kita jual yang praktis (berbumbu),” imbuhnya yang memulai usaha daring Februari lalu.
Setiap hari Saripudin menghabiskan 30–50 kg lele untuk dijual segar, marinasi, dan matang. “Lele baik segar maupun bumbu banyak diminati. Lele segar per hari bisa rata-rata 15 kg, lele bumbu sama 15 kg/hari,” tutur pria kelahiran 23 November 1982 itu.
Sedikit berbeda kisah Fuad Arffan, CEO CV Vatra Mandiri Agro. Produsen lele dan Lele Bumbu di Depok ini mulanya membuat fillet lele karena bekerja sama dengan restoran sushi di Jakarta sebagai penyuplai pada Maret lalu. Corona melanda, pembelian fillet lele terpaksa dibatalkan karena resto yang sebanyak 100 cabang itu tutup.
Memutar otak buat menyalurkan dagangan, Fuad dan H. Usman, sang ayah, menawarkan ke rekan lewat aplikasi pesan singkat. “Akhirnya dijual lewat Wa group (WhatsApp). Ternyata responnya bagus, berminat. Ah, enak ni tinggal goreng. Jadi, ada fillet nggak bumbu, fillet berbumbu,” terang Usman.
Melihat respon pasar yang menggembirakan, Fuad meneruskan kreasi olahan dengan membuat lele marinasi bermerk Lele Bumbu.
Saluran penjualan diperluas melalui lapak daring dan reseller yang mencapai 500 orang di Jabotabek. “Pemasaran lebih ke marketplace (lapak daring) saat ini dan reseller di Bogor, Tangsel, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Jakarta,” terangnya.
Penjualan online juga memudahkan masyarakat yang ingin makan lele saat kondisi pandemi. Dalam sehari, Vatra memproses 150-250 kg lele menjadi aneka olahan lele, seperti fillet, lele bumbu, dan nugget lele.
Margin Tinggi di Setiap Kreasi
Laba bisnis lele marinasi juga menggiurkan. “Lebih besar keuntungan kalau sudah diolah,” buka Saripudin. Pasalnya, ia membeli lele Rp20 ribu–Rp23 ribu/kg. Diolah sebagai lele marinasi, harga jualnya jadi Rp35 ribu/kg dan Rp18 ribu/0,5 kg. “Lele bumbu dibuang ujung moncongnya. Kepala tergantung permintaan customer. Kalau minta dipotong kepala, kita potong,” jelasnya.
Sementara, ia menjual lele segar yang telah dibersihkan Rp27 ribu/kg dan Rp14 ribu/0,5 kg. Lele ini berisi 7–10 ekor/kg. Lalu, menu lele sambal ijo dan mangut lele isi 6 ekor/pak harganya Rp45 ribu. “Lele matang dijualnya per 6 gram,” imbuh suami Ade Rosalina itu yang menerima pesanan lele untuk katering.
Pemasaran lele marinasi juga hampir tidak ada kendala. Apalagi, Saripudin mengolah lele dalam kondisi segar sesuai order. “Pas ada pesanan baru kita potong lelenya. Kalau pesanan buat besok, sore sudah pada masuk,” ucapnya.
Pesanan yang masuk sebelum jam 12 siang dikirim di hari yang sama. Sedangkan, pesanan di atas jam 12 dikirim esok hari. Permintaan yang paling banyak adalah lele bumbu isi 10 ekor/kg sedangkan lele segar isi 7–8 ekor/kg.
Fuad membenarkan. “Margin keuntungan mengolah lele kisaran 20%–40%,” serunya. Vatra punya 7 jenis varian olahan lele. Yaitu, lele bumbu tanpa kepala isi 4 Rp22 ribu/pak, lele bumbu tanpa kepala isi 8 Rp32 ribu/pak, fillet skinless boneless (tanpa kulit dan duri) Rp27ribu/pak berat 300 g, fillet boneless (tanpa duri) berbumbu Rp27ribu/pak berat 300 g, fillet butterfly bumbu isi 4 Rp27 ribu/pak, nugget lele Rp22 ribu/pak, dan lele asap yang tengah dalam tahap pengembangan.
“Yang paling diminati pasar lele tanpa kepala bumbu isi 8 karena praktis. Lalu, fillet butterfly karena baru di masyarakat dan fillet skinless boneless karena praktis untuk bayi maupun diolah,” imbuh pria kelahiran 16 Juli 1992 itu yang menyebut akan meluncurkan produk olahan berupa lele asap, sate lele, dan kerupuk kulit lele. Fuad menyebut kendala pemasarannya ialah belum ada jaminan permintaan dan belum ada sistem kontrak.
Sedangkan, Donny mengaku, Simbiofish tertarik bikin lele marinasi karena permintaannya besar dan nilai tambah tinggi. “Jadi, nilai tambahnya jauh cuma ngerjainnya harus bersihin dulu. Tapi, dihitung-hitung masih jauh lebih untung. Kisaran harga Rp35 ribu/kg untuk isi 7–8 dan 10 ekor per kg. Kalau isi 4 kita jual Rp22 ribu, itu setengah kilo jatuhnya,” kupas Master lulusan Universitas Indonesia itu.
Ia mengatakan, penjualan lele bumbu tidak ada kendala. “Semenjak PSBB orang agak ngurangin jajan, mulai masak di rumah. Nah, dari situlah permintaan bumbu kuning naik karena hitungannya lebih murah, Rp35 ribu bisa dapat 8 jadi per ekornya Rp4 ribu. Di online juga sudah banyak pembeli. Sama reseller kita juga banyak, mereka jual ke tetangga dan katanya habis terus. Lele itu pasarnya nggak habis-habis deh,” ulasnya semringah.
Sesuai GAP
Untuk menjaga kualitas dan kesegaran, lele marinasi diolah lansung dari kolam yang menerapkan cara budidaya sesuai Good Aquaculture Practice (GAP).
Lele Bumbu milik Vatra misalnya, berasal dari kolam sendiri yang sepenuhnya menggunakan pakan pelet dan pengelolaan air dengan tandon inlet-outlet. “Air kita memakai 2 sistem. Sistem fisika dengan beberapa kali pengendapan dan sistem biologi dengan ditanami eceng gondok,” terang Usman, perintis Vatra.
Donny pun menjamin kualitas lele yang dihasilkan memenuhi GAP dengan memakai benih unggul, pakan pelet, dan manajemen air.
“Pakan full pelet. Itu wajib untuk mitra kita. Paling pakan alternatif sayuran pasar yang sudah nggak dipakai, yang cacat sedikit dibuang, itu boleh dipakai. Di luar itu nggak boleh. Ayam tiren, limbah pabrik, limbah katering nggak kita bolehin,” tegasnya.
Saripudin yang tidak punya kolam, memastikan kualitas lele dengan membeli langsung di lokasi budidaya. “Kita pilih sendiri lelenya yang kualitasnya bagus. Karena banyak lele yang panjang tapi kurus. Kita pilih yang bagus, yang dagingnya tebal. Tubuhnya panjang tapi berisi,” jelasnya.
Selain itu, dengan memilih sendiri, Saripudin mendapatkan ukuran lele yang diinginkan secara merata. “Karena kalau kita nggak pilih, nanti kirimnya acak. Yang kecil dan besar masuk,” tandasnya.
Windi Listianingsih