Foto: Dok. Kementan
Rantai pasok benih diperketat agar dana pembelian benih petani tepat sasaran
Agar terus dapat memakmurkan pelaku usahanya dan menghasilkan devisa, segenap pemangku kepentingan kelapa sawit harus berupaya menekan dampak lingkungan dan menyediakan produk sawit yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan industri sawit berkelanjutan, pada 2014 Kementerian Pertanian didukung UNDP Indonesia membentuk Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI) yang menggandeng semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Forum ini berperan mengoordinasikan seluruh sektor dan inisiatif-inisiatif yang berfokus pada kelapa sawit berkelanjutan.
Pada 2018, anggota FoKSBI menyepakati Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit Berkelanjutan yang akan memberikan solusi skala luas untuk produksi kelapa sawit Indonesia berkelanjutan.
Lintas Kementerian dan Lembaga
Pemerintah kemudian menerbitkan payung hukum pelaksanaan RAN itu dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2019. Beleid yang diteken Presiden Jokowi 22 November 2019 ini untuk mempercepat tercapainya perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Menurut Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan/Ketua Tim Pelaksana Sekretariat RAN Kelapa Sawit Berkelanjutan, inpres tersebut terdiri dari lima komponen, yaitu penguatan data; penguatan koordinasi dan infrastruktur; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; pengelolaan dan pemantauan lingkungan; tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; percepatan pelaksanaan sertifikasi ISPO dan akses pasar.
“Dari lima komponen itu dijabarkan menjadi 28 program kemudian 92 kegiatan dan hasilnya diharapkan ada 118 keluaran. Pelaksanaannya ditugaskan kepada 14 Kementerian/Lembaga beserta Gubernur dan bupati/walikota di 26 provinsi penghasil sawit,” urai Dedi.
Hal paling penting, lanjut dia, adalah perlunya peranserta segenap pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan lembaga swadaya masyakarat/organisasi masyarakat sipil.
Sumber pendanaan RAN Kelapa Sawit Berkelanjutan berasal dari APBN, APBD, yayasan nirlaba, perusahaan perkebunan kelapa sawit dan sumber-sumber lain yang sah.
Membidik Target 92,45 Juta Ton
Puspita Suryaningtyas, Koodinator Fungsional Hortikultura dan Perkebunan, Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyatakan, Inpres nomor 6 tahun 2019 merupakan salah satu landasan hukum dari Road Map Sawit 2019-2045, yaitu “Menjadikan Industri Kelapa Sawit Nasional yang Berkelanjutan sebagai Pilar Utama Pembangunan Ekonomi bagi Kesejahteraan Rakyat”.
Langkah-langkah untuk mencapai visi pengembangan komoditas sawit berkelanjutan adalah dengan peningkatan produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil-CPO) lewat peningkatan produktivitas dan efisiensi pengolahan pascapanen di Pabrik Kelapa Ssawit (PKS); pengembangan industri hilir sehingga menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, mensubtitusi impor dan dipromosikan di pasar ekspor; riset dan inovasi industri sawit sebagai industri pertumbuhan baru yang berkelanjutan; pengembangan ekosistem dan tata kelola industri sawit yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing; mengembangkan SDM industri sawit yang lebih kreatif.
“Dari langkah-langkah dan indikator, maka dikelompokkan menjadi tiga strategi utama, yaitu peningkatan produktivitas, pengembangan industri hilirisasi sawit dan terakhir penguatan ekosistem, tata kelola dan capacity building berkelanjutan. Target tahun 2045 produktivitas kelapa sawit mencapai 6,75 ton/ha setara 92,45 juta ton CPO dan Palm Kernel Oil (PKO),” ungkap Puspita.
Masalah yang menjadi kendala saat ini adalah produktivitas yang masih rendah hanya 3,6 ton CPO/ha, padahal potensinya mencapai 7,5 ton/ha. Rendahnya produktivitas tersebut lantaran penggunaan benih tidak sertifikat, tanaman sudah tua, dan tidak menerapkan praktik berkebun yang baik (Good Agriculture Practices-GAP).
Di sisi lain, PKS masih mengalami rendahnya efisiensi. Ekspor juga masih mengandalkan komoditas mentah, yaitu minyak mentah atau minyak yang dimurnikan sehingga meskipun menjadi produsen terbesar Indonesia tidak berdaulat menentukan harga.
Selain itu, status legalitas lahan pekebun sawit bermasalah, pencapaian sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) masih rendah. Padahal black campaign atau kampanye hitam sawit luar biasa sekali. Pekebun juga sulit mendapatkan hasil TBS untuk proses produksi karena dalam antrean di pabrik selalu berada di pihak paling belakang.
Cegah Benih Ilegal
Langkah lanjutan yang tengah diupayakan pemerintah adalah peningkatan produktivitas lewat penggunaan benih bersertifikat, peremajaan, penerapan GAP, pertanian presisi dan pendampingan kepada petani dan korporasi petani.
Untuk memperkuat penyediaan benih bersertifikat dan meminimalkan peredaran benih ilegal, produsen benih perlu mengajukan Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2BKS) kepada Dirjen Perkebunan, Kementan.
Saleh Mochtar, Direktur Perbenihan Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Kementan, menjelaskan, “Untuk memenuhi kebutuhan pekebunan kecil, yaitu perseorangan maksimal 1.000 kecambah dan kelompok tani 5.000 kecambah, produsen harus mengajukan SP2BKS ke Dirjenbun. Demikian pula untuk perkebunan besar di atas 200 ribu kecambah, produsen mengajukan ke Dirjenbun. Di bawah jumlah itu, permohonan diajukan ke dinas perkebunan provinsi/kabupaten.”
Pada 2011-2020 kecambah legal yang tersalur sebanyak 1,04 miliar butir atau setara peremajaan seluas 5,19 juta ha. Sampai Maret 2021 Ditjen Perkebunan telah menerbitkan SP2BKS dari 24 pemohon dengan volume kecambah yang disetujui 37.520.500 butir dan 2.809.500 butir teralokasi untuk produsen pembesaran/penangkaran.
Pengawasan mutu dan peredaran benih kelapa sawit memang sangat diperlukan karena benih merupakan segitigas emas faktor penentu keberhasilan peningkatan produktivitas bersama pupuk dan GAP. Untuk memastikan petani menanam benih sawit yang benar dan baik sehingga ketika memupuk dan menerapkan GAP produktivitas naik dan kesejahteraan petani meningkat.
“Melalui pengawasan rantai pasok benih dari produsen sampai ke petani, pemerintah ingin memberikan jaminan dana yang digunakan membangun kebun di antaranya untuk membeli benih, baik sumbernya dari BPDPKS, kredit bank atau modal sendiri tepat sasaran. PKS juga akan mendapat manfaat terbesar SNI benih sawit yang mensyaratkan rendemen lebih dari 23%,” imbuh Saleh.
Selain perbaikan di kebun, peningkatan efisiensi PKS diusahakan melalui penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Operating Procedures (SOP) untuk menghasilkan minyak sesuai spesifikasi industri hilir lanjutannya; pemanfaatan teknologi big data, artificial intelligent, internet of things. Untuk mengakomodasi preferensi konsumen global terhadap keamanan pangan, akan dilakukan pemisahan antara CPO food grade dan non food grade.
Humas Ditjen Perkebunan, Kementan