Foto: Dok. Info Sawit
Dukungan seluruh stakeholder perkuat kemitraan petani kelapa sawit
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM) - Kemitraan perkebunan merupakan bagian dari strategi bisnis guna mencapai keberhasilan bersama melalui bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan petani kelapa sawit merupakan pola kemitraan usaha.
Untuk membangun kebun kelapa sawit yang berkelanjutan, petani membutuhkan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendorong penguatan kelembagaan petani sawit.
Selain itu, dukungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga diperlukan untuk membangun kelembagaan, dan kemitraan yang sejajar. Kemudian juga perbankan yang memiliki peran penting untuk bantuan permodalan.
Edi Wibowo, Direktur Penyauran Dana BPDPKS mengatakan, “Program BPDPKS sesuai Perpres 61 Tahun 2015 Jo. Perpres 66 Tahun 2018, diantaranya mendukung pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi/kemitraan, peremajaan, sarana dan prasarana, pemenuhan kebutuhan pangan, ilirisasi industri perkebunan kelapa sawi, penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.” Harapannya, program tersebut mampu meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, dan menyerap kelebihan Crude Palm Oil (CPO) di pasar untuk stabilisasi harga.
Lebih lanjut, tutur Edi, untuk tujuan penyelenggaraan program kemitraan berbasis karakteristik usaha, diantaranya bisa memberikan jaminan pasar bagi Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Pekebun swadaya, memberikan akses petani swadaya untuk memperoleh bibit dan pupuk berkualitas.
Kemudian, memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS, memberikan bimbingan teknis peningkatan mutu TBS Pekebun swadaya sesuai standar industri kelapa sawit, memberikan bimbingan teknis pola usaha tani/ berkebun yang baik (Good Agriculture Practices) dan berkelanjutan, dan terdapat peningkatan nilai tambah produk sawit, untuk peningkatan kesejahteraan pekebun.
Untuk Program Kemitraan untuk pemberdayaan Pekebun dalam penanganan dampak Covid-19, kata Edi, pihaknya telah melakukan seperti produksi Sabun Cair dan Hand Sanitzer mendukung upaya pencegahan Covid-19 di berbagai daerah. Lantas, produksi virgin oil dan produk turunannya sebagai makanan sehat dan personal care product yang terjangkau oleh masyarakat luas, serta pemanfaatan malam batik berbasis sawit.
“Pembuatan bahan bakar dari biomasa sawit untuk keperluan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan energi tingkat pedesaan), dan pengelolaan lahan sawit untuk tanaman tumpang sari dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan pangan tingkat pedesaan),” terang Edi pada FGD Sawit Berkelanjutan Vol 9, bertajuk “Peran BPDPKS dalam Memperkuat Kemitraan Pekebun Kelapa Sawit Indonesia” (29/7).
Sementara dikatakan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, sejatinya kemitraan pertama muncul semenjak adanya bantuan Bank Dunia, pada 1970-an dikembangkan P3RSU (UPP) dan selanjutnya dibentuk program Nucleus Estate Smallholder (NES) kemudian berlanjut dengan pengembangan proyek seri Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit.
Kata Mukti, pola kemitraan dan dasar hukum hingga saat ini yakni, Program PIR dengan perusahaan inti PTP (NES, PIR Khusus dan PIR Lokal), Pola PIR-Trans dengan Perusahaan Swasta dan BUMN sebagai inti, Pola PIR KKPA, Revitalisasi Perkebunan, Peremajaan Sawit Rakyat.
“PIR sukses mengubah komposisi luas lahan sawit yang dimiliki oleh Rakyat, dari hanya 6.175 Ha ditahun 1980 menjadi 5.958.502 Ha ditahun 2019 di Indonesia merujuk Statistik Kelapa Sawit Indonesia,” catat Mukti.
Selama ini tutur Mukti, pihaknya tetap mendukung program kemitraan, bentuk dukungan itu berupa, pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yangmelibatkan seluruh Cabang GAPKI, kemudian, menjadi Anggota Pokja Penguatan Data dan Peningkatan Kapasitas Pekebun – Kemenko Perekonomian.
Lantas, aktif dalam koordinasi rutin untuk percepatan PSR dengan Kantor Menko Perekonomian, Ditjenbun, BPDPKS dan lainnya. “Serta mengawal dan meng-update secara rutin Percepatan PSR anggota GAPKI melalui Rapat Pusat & Cabang GAPKI,” kata Mukti.
Tidak hanya itu, kata Mukti, GAPKI pusat maupun cabang memiliki peran masing-masing, peran GAPKI pusat diantaranya, pengikatan perjanjian kemitraan / MoU dengan petani plasma disaksikan oleh penyelenggara negara seperti, Deputi Kemenko Perekonomian, Dirut BPDP-KS, DitjenbunKetua Umum GAPKI dan Ketua Umum APKASINDO.
Teramasuk, memberikan masukan kepada Pemerintah terkait kebijakan penyederhanaan proses pengajuan dan pembiayaan PercepatanPSR, serta bekerja sama dengan Asosiasi Petani/Pekebun dalampercepatan PSR.
Untuk peran GAPKI Cabang meliputi, melakukan assessment terkait potensi lahan dan petani PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan pemetaan terkait potensi lahan PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan FGD dan sosialisasi terkait Percepatan PSR bersama dengan Pemangku Kepentingan yang ada di Propinsi, serta memberikan data Laporan Progres PSR di tiap Propinsi.
Bagi petani, pengembangan perkebunan kelapa sawit masih saja menghadapi kendala. Namun yang perlu adalah bagaimana mendorong kemitraan dengan cepat dan terukur dari manfaat kemitraan tersebut.
Dikatakan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, secara nyata kemitraan memang sangat dibutuhkan pekebun sawit. Terlebih khusus untuk petani swadaya yakni petani yang kelola sendiri, mayoritas petani swadaya juga belum bermitra dengan perusahaan.
Sedangkan pekebun plasma, umumnya sudah mempunyai orang tua asuh yakni perusahaan inti.
Persoalan yang dialami pekebun swadaya adalah produktivitas tanaman rendah. Hal ini karena banyak pekebun swadaya yang menggunakan bibit tidak sesuai (tidak unggul), SDM petani juga pengetahuannya rendah, tidak mendapat pendampingan dari pemerintah.
Termasuk anggaran dari pemerintah juga minim untuk memberikan pendampingan kepada pekebun swadaya. Kelembagaan petani juga tidak ada, sehingga menyulitkan untuk pendampingan dan kemitraan. “Banyak petani juga tidak mau berorganisasi, karena ada trauma dalam berorganisasi.
“Kenapa petani tidak mau bermitra? Karena kerap petani disalahkan,” katanya.
Bahkan Darto menilai, petani kini sudah mengerti dan paham situasi. Mereka juga sudah bisa menghitung resiko keputusan bermitra atau tidak bermitra. Kadang yang dialami pekebun, harga TBS dari PKS kerap berbeda jauh dengan yang tidak bermitra. Dengan demikian, petani melihat resiko ekonomi.
Sebab itu Darto, berharap, ada kebijakan yang menjadi payung di lapangan dalam kemitraan. Perlu langkah revolusioner pemerintah untuk mengatasi masalah kemitraan. Pendataan dan pendampingan harus dilakukan.
Galuh Ilmia Cahyaningtyas