Foto: Dok. Alisther
Kiri ke kanan: Dedi Budiman Hakim, Dadang, Asep Nugraha Ardiwinata (moderator), H. Mohammad Maksum
Aplikasi herbisida parakuat terbukti membantu petani meningkatkan produktivitas padi, jagung, sawit, karet, dan kakao. Parakuat juga berkontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Hal itu terungkap dalam seminar “Tinjauan Aspek Ekonomi, Kesehatan, Keamanan, dan Stewardship Herbisida Parakuat di Indonesia” yang digelar The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISSAAS) Indonesia Chapter (25/5). Seminar yang dihelat secaratatap muka di IICC Bogor dan virtual tersebut menghadirkan peneliti asal IPB University, USU, dan Unila. Tampil pula Ketua Aliansi Stewardship Herbisida Terbatas (ALISHTER) dan dua praktisi tanaman pangan dari Jawa Timur.
Muhammad Hatta, Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, yang memberikan pidato kunci, berharap, hasil-hasil penelitian dapat menggambarkan manfaat parakuat dalam sistem produksi pangan. Selain itu, karena parakuat termasuk pestisida terbatas pakai yang mensyaratkan pelatihan bagi para penggunanya, ia mendorong semua pihak, terutama para pemegang pendaftaran, untuk terus melatih para petani. Tujuannyaagar petani mengaplikasikan produk ini dengan aman.
Mulyadi Benteng, Ketua ALISHTER, mengatakan, sampai saat ini terdapat 50 perusahaan anggota. Sejak 2016-2020, pihaknya telah melaksanakan pelatihan di 187 kabupaten/kota dalam 28 provinsi dengan jumlah peserta 19.212 petani. Ditambah pelatihan oleh anggota sendiri-sendiri, total petani yang dilatih 831.045 orang. Tahun ini pelatihan mulai digelar pertengahan Juni dengan menerapkan protokol kesehatan.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan
Herbisida berbahan aktif parakuat dikorida ini masuk ke Indonesia sejak 1960-an. Parakuat menjadi pilihan logis bagi petani untuk mengendalikan gulma di lahan yang luas dan menghadapi kelangkaan tenaga kerja. Aplikasinyajuga mempersingkat waktu persiapan lahan padi dan jagung.Petani pun menikmati tingkat produktivitas lebih tinggi.
Kontribusi positif parakuat dikonfirmasi dengan hasil penelitian dari sisi ekonomi, kesehatan, dan sosial. Dr. Dedi Budiman Hakim, ekonom IPB University, memanfaatkan data penggunaan parakuat dari ALISHTER dan data BPS 2015-2019.
Di samping itu Budi mewawancarai 40-50 petani di Jatim, Riau, Sumut, Jambi, dan Kalteng. Jatim termasuk pengguna terbanyak parakuat dengan menyumbang penjualan 10,97% pada 2019. Berdasar kajiannya itu, aplikasi parakuatmeningkatkan produktivitas padi 1,82 ton, sawit 2,53 ton tandan buah segar, jagung 1,345 ton, kakao 0,14 ton, dan karet 0,3 ton per hektar.
“Penggunaan parakuatmeningkatkan nilai produksi kelima tanaman tersebut dari Rp57,2 triliun pada 2015 menjadi Rp72,6 triliun pada 2019. Kontribusi parakuat meningkat dari 5,9% pada 2015 menjadi 6% tahun 2019terhadap PDB lima komoditas yang nilainya Rp1.203 triliun. Sedangkan kontribusi parakuat terhadap PDB 2019 yang nilainya Rp15.833,9 triliun sebesar 0,46%. Hal ini menunjukkan parakuat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional,” beber alumnus George-August UniversitaetGottingen, Jerman, itu.
Prof. Nanik Sriyani, ahli gulma dari Faperta Unila memaparkan hasil kajiannya pada 2020 dan 2021 tentang efikasi tiga herbisida nonselektif, yaitu parakuat, glifosat, dan glufosinat pada jagung, padi, dan sawit. Aplikasi pada jagung dua kali, 7 hari sebelum tanam dan umur 30 hari. Aplikasi pada padi 7 hari sebelum tanam. Sedangkan aplikasi pada sawit sekali di kebun tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan. Semua penelitian berlokasi di Lampung.
Hasil penelitian alumnus S3 UniversityofWisconsin-Madison, Amerika Serikat ini menunjukkan, herbisida parakuat efektif mengendalikan berbagai jenis gulma di pertanaman yang diteliti tersebut. “Dalam beberapa kondisi, herbisida parakuat lebih unggul efikasinya dibandingkan herbisida nonselektif lainnya. Herbisida sistemik (glifosat) memberikan hasil gabah kering yang sedikit lebih rendah daripada herbisida kontak (parakuat dan glufosinat),” ulas Nanik.
Sementara studi Dr. dr. Juliandi Harahap dari Fakultas Kedokteran USU untuk melihat dampak parakuat terhadap kesehatan melibatkan 30 karyawan penyemprot pestisida dan 30 karyawan bagian lain di kebun sawit Labuhanbatu, Sumut. Penyemprot yang rata-rata telah bekerja 8,8 tahun mengaplikasikan pestisida, termasuk parakuat, selama 4-5 jam sehari.
Pemeriksaan darah lengkap, urin, fungsi paru, ginjal, hati, dan foto rontgen torakspada para penyemprot memperlihatkan angka-angka dalam batas normal. “Penggunaan pestisida sesuai rekomendasi dengan alat pelindung diri tidak berpengaruh terhadap kesehatan,” simpul Juliandi.
Prof. Dr. Dadang, M.Sc. dari Faperta IPB University dan timnya meneliti residu parakuat pada sampel segar biji padi, jagung, buah sawit, dan kakao. Penelitian dilakukan tahun lalu dengan mengoleksi sampel dari 12 kabupaten dalam 10 provinsi. Semua sampel itu diambil dari pertanaman yang diaplikasi parakuat pada umur berbeda.
“Hasil analisis kami, residu parakuat tidak terdeteksi atau berada di bawah batas deteksi pada limit of detection 0,0151 ppm. Jadi, penggunaan parakuat sesuai rekomendasi tidak menimbulkan masalah keamanan pangan pada komoditas yang dianalisis,” tandas alumnus Tokyo University of Agriculture, Jepang, yang menjabat Sekjen ISSAAS Indonesia Chapter itu.
Bisa Jadi Modal Swasembada Beras
H. Mohammad Maksum, praktisi yang juga mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jatim 1998-2008 mengungkap sejarah penggunaan parakuatdi daerahnya. Waktu itu para petani padi resah karena produksi musim kemarau satu (MK I) yang tanam pada Februari – Mei selalu rendah, padahal daerah lain justru tinggi.Biang keladinya adalah pembusukan jerami di dalam tanah yang membuat tanah berbau menyengat (asem-asem). Akar padi tidak tumbuh sempurna, tanaman pun pendek.
Setelah kenal parakuat, usai panen petani langsung menyemprotkanherbisida ini ke jerami yang tersisa. Lahandibiarkan 3-4 hari sampai jerami kering. Setelah itu, barulah lahan dibajaklalu diglebek. Lahannya subur, lebih irit pupuk kimia.Indeks pertanaman pun meningkat karena persiapan lahan lebih cepat.
“Produktivitas MK I naik dari 4 ton menjadi rata-rata di atas 6,2 ton/ha. Pengetahuan itu kemudianmenyebar dari petani ke petani lain dan sales parakuat berkeliling ke Jatim sehingga penggunaan parakuat meluas. Luas pertanaman pun bertambah dari yang tadinya 25% menjadi 37% atau 870 ribu ha. Kalau yang 870 ribu ha ini ditangani dengan gerakan parakuat supaya produksinya naik 1,2 ton/ha, cari swasembada beras dari sini sudah bisa. Gampang lho dan nyatanya bisa,” tandas Ketua Himpunan Penangkar Pedagang Benih Jatim itu.***